Hukum  

Mengapa Polisi Jadi Sasaran Aksi Terorisme?

BOM KAMPUNG MELAYU. Diperintahkan untuk amaliyah di daerah masing- masing untuk menunjukkan eksistensi ISIS. (foto: ANTARA)

Dua terduga teroris  sel jaringan Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di NTB, yang merencanakan beraksi di bulan Ramadhan, diringkus Densus 88 di Desa Dore, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, sejak Jumat (16 /6) hingga Sabtu (17/6) pekan lalu. Mereka akan melakukan teror Ramadhan dengan menyasar Markas Polsek Woha Bima.

lombokjournal.com –

Seperti teror yang terjadi di beberapa tempat sebelumnya, pihak kepolisian menyebut mereka diperintahkan pimpinan ISIS untuk amaliyah di bulan puasa dan di daerah masing- masing. Tiap aksi untuk menunjukkan eksistensi ISIS.

Namun penangkapan dua warga Desa Dore, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima itu menggagalkan aksi teror yang targetnya anggota kepolisian. Semula yang ditangkap Kurniawan bin Hamzah, (23) pelaku utama perakit bom yang melakukan survey ke Mapolsek Woha, Bima.

Setelah dilakukan pengembangan, polisi menangkap Nasrul hidayat alias Dayat (21) mahasiswa yang bertugas membeli bahan pembuatan bom, di desa yang sama pada Sabtu (17/6) sekitar pukul 16.00 Wita.

Tersangka lainnya, Rasyid Ardisansyah, jaringan Penato’i Bima, sempat bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Barat (MIB) melakukan perampokan di kantor Pos dan Giro Ciputat, Tangerang Selatan, Banten 2012.

Polisi Jadi Sasaran Teroris

Mengapa polisi menjadi sasaran teroris? Menurut polisi, para teroris mengarahkan serangan kepada anggota kepolisian. Saat ledakan terjadi di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5) lalu, polisi yang tengah mengamankan pawai obor menyambut Ramadan juga jadi korban.

Ini tak lepas dari doktrin teroris yang disebut doktrin Takhfili, yakni ajaran yang menganggap segala sesuatu yang bukan dari Tuhan dinyatakan haram. Mereka menganggap Indonesia adalah negara yang “thoghut” atau menyembah selain Allah.

Doktrin yang dianut para teroris yang berkiblat ISIS adalah tauhid wal jihad, serta komponen eks militer Saddam Hussein yang dibubarkan. Ideologi yang dibawa mereka tauhid wal jihadnya adalah Takfiri. Kelompok aliran tauhid wal jihad ini dipimpin Aman Abdurrahman pada tahun 2003, yang saat itu juga terjadi ledakan di Cimanggis, Jawa Barat.

Siapa pun yang mengabdi pada negara adalah kafir. Polisi dianggap antek-antek negara, karena itu kafir.  Karena Indonesia dianggap negara thoghut, siapapun anteknya, dianggap sebagai iblis atau setan.

Pasca ledakan Kampung Melayu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menjelaskan,  polisi yang jadi target tidak hanya berlaku bagi yang nonmuslim. Umat muslim yang dianggap tidak sepaham bisa disebut kafir atau keluar dari agama Islam.

Kafir pun terbagi menjadi dua, yakni kafir Harbi dan Dzimmi. Kafir Harbi merupakan kelompok yang memerangi kaum mereka. Sedangkan kafir dzimmi yang tidak memerangi mereka tapi harus tunduk pada mereka.

“Nah Polri karena tugasnya, sesuai undang-undang, kita melakukan penegakan hukum terhadap terorisme, sering tangkap, upaya paksa dan lain-lain, bagi mereka (Polri) kafir harbi,” kata Tito usai meninjau lokasi bom Kampung Melayu, Jakarta Timur, Jumat (26/5) lalu.

Para teroris ini terindikasi kuat berafiliasi ISIS. Komando pergerakan kelompok ini ada di bawah Bahrun Naim, anggota ISIS asal Indonesia yang berada di Raka, Suriah. Serangan ini fenomena global, setelah ISIS di negara asalnya Suriah tertekan serangan dari negara Adidaya seperti Rusia dan Amerika Serikat.

Mereka mendapat perintah melakukan perintah desentralisasi, membuat kelompok kecil di berbagai negara dan melakukan serangan untuk menunjukkan eksistensinya. Makanya terjadilah  serangan di berbagai tempat termasuk di Indonesia.

“Di sini adalah sel yang terkait Bahrun Naim, orang Indonesia di Suriah,” kata Tito.

Rr