Sate Tanjung, Cita Rasa Kuliner Khas  Lombok Utara

Sate Tanjung, cita rasa kuliner khas Lombok Utara / Foto: Niek

Sate ikan khas Tanjung, Lombok Utara, tidak kalah sedapnya untuk dinikmati seperti juga sate daging. Sate khas Tanjung dengan bahan baku ikan laut ini, di Lombok dikenal dengan sebutan sebagai SATE TANJUNGIni petualangan kuliner Naniek I Taufan  di Lombok Utara

TANJUNG.lombokjournal.com ~ Orang menyebutnya demikian karena sate ini, puluhan tahun yang lalu, memang berasal dari Tanjung, ibukota Kabupaten Lombok Utara. 

Tidak ada yang mengetahui secara pasti, sejak kapan sate ikan laut ini menjadi salah satu pilihan menu masyarakatnya. 

Berbagai sumber hanya menyebutkan bahwa mereka mendapat ilmu membuat Sate Tanjung, dari orang tua mereka sebelumnya secara turun-temurun.

Ini diungkapkan Ibu Nining yang menjual sate ikannya di emperan toko di Tanjung

“Dari kecil saya sudah ikut membuat sate ikan bersama orang tua saya,” ungkapnya.

Beberapa  penjaja Sate Tanjung lain, tersebar di emper-emper toko di pinggir jalan lainnya.

Bahkan sebagian dari penjaja sate tersebut membuat tenda-tenda sederhana, terlihat asyik mengipasi sate yang tengah dibakar, sambil duduk di atas tikar.

Biasanya Sate Tanjung dijual sore hari
Penjual Sate Tanjung di pinggir jalan

Sate Tanjung memang tidak dijual di restoran, rumah makan, warung atau dijual keliling. Ia bisa ditemui di emper-emper toko dan trotoar jalan. 

Penjual Sate Tanjung hampir tidak ada yang menggunakan meja sebagai tempat untuk pelanggan saat menikmati sate atau tempat untuk membakar sate. 

“Semua kami lakukan dengan cara duduk seperti ini,” ujar Durialis, penjual Sate Tanjung lainnya. 

Meski begitu, sate Tanjung yang bercita rasa khas Lombok Utara sangat digemari. Karena harganya terjangkau, ditambah kekhasan rasa sate ikan laut tersebut.

Menurut Rasmini, salah seorang penjaja Sate Tanjung yang biasa mangkal di depan ACC, langganannya tidak hanya berasal dari orang kebanyakan tapi juga dari kalangan tertentu.

BACA JUGA: Puasa Ramadhan; Memahami Syarat, Rukun dan Ketentuannya

Bahkan, Sate Tanjung yang dijualnya hampir setiap hari diboyong pembeli ke luar daerah, terutama Bali, sebagai oleh-oleh. 

Bahkan, oleh-oleh Sate Tanjung yang dijual Rasmini sudah dibawa ke Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Surabaya dan lain-lain. 

Pelanggan yang warga keturunan Tionghoa, yang kebetulan banyak menetap di sekitar tempatnya berjualan, kerap membeli satenya untuk dijadikan oleh-oleh ketika mereka pulang ke Hongkong misalnya, lanjut Rasmini yang sudah 16 tahun berjualan Sate Tanjung ini.

Walaupun ada penjaja yang menjualnya menjelang siang hari, salah satu kekhasan sate ini, dijual setiap menjelang sore antara pukul 14.00 sampai dengan pukul 20.00. 

Di waktu-waktu inilah, Sate Tanjung sedang ramai dijajakan, kecuali jika ada pelanggan yang memesan lebih awal. Mereka biasanya hanya berjualan sekitar tiga sampai empat jam di waktu tersebut. 

Di Tanjung sendiri, penjual Sate Tanjung ini banyak berasal dari Karang Pande, Kandang Kaok dan Karang Bayan. Dan dijajakan di sepanjang jalan raya Tanjung. 

Sementara di Mataram, Sate Tanjung bisa didapatkan antara lain, di depan ACC tadi atau di samping sebuah toko kue di Jalan AA. Gde Ngurah, Cakranegara, di jalan Airlangga, jalan Udayana, Rumah Sakit Umum dan di pasar Kebon Roek, Ampenan saat sore hari.

Bulan Puasa Pembeli Berjubel

Menikmati Sate Tanjung, selain bisa langsung ke Tanjung tempat asal sate tersebut, di Mataram pun sudah cukup banyak yang menjajakannya. Walaupun Sate Tanjung dijual di Mataram, rata-rata penjual tersebut berasal dari Tanjung. 

Ada yang sudah menetap di Mataram ada pula yang pulang-pergi Tanjung-Mataram setiap hari. Penjaja sate Tanjung yang memang tinggal di Mataram, kelihatannya sedikit lebih berkembang, setidaknya menurut mereka, rasa satenya mengikuti perkembangan.

“Karena satenya sudah dijual di sini, ya kita harus pandai membaca selera orang kota,” ujar Rasmini berseloroh. 

Yang tetap dan tidak bisa tidak harus dipertahankan, katanya, kekhasan Sate Tanjung tersebut, setidaknya menggunakan santan kental tanpa air sedikit pun. Dan biasanya dijual sore hari. 

Menurutnya, tidak menutup kemungkinan bahwa Sate Tanjung dijual pagi atau siang hari. Namun hal ini sedikit sulit dilakukannya, mengingat untuk menjaga kualitas sate, maka ikan yang digunakan harus ikan dalam keadaan segar dan santan segar tanpa dimasak. Tetapi, dijajakan pagi, siang atau sore hari itu merupakan pilihan masing-masing penjual.

“Ikan yang benar-benar segar ada pada pagi hari untuk dijual sore harinya,” katanya. Sementara, jika ikan segarnya sore hari tidak mungkin langsung bisa dikerjakan. 

Karena, rutinitas mengerjakan sate ini biasanya dimulai pagi hari. Dimulai memilih dan membeli ikan segar yang besar-besar, menguliti, memotong dan mengiris, merendamnya dengan air jeruk atau air cuka. Kemudian mengaduknya dengan santan kental sedikitnya setengah jam sampai masa menunggu bumbu meresap ke dalam daging ikan dan menusuk-nusuknya pada tusukan sate. 

BACA JUGA: Archi Indonesia, Agensi Lokal Penyedia Camping Ground MotoGP

“Waktunya lumayan panjang,” katanya. 

Belum lagi, santan kental tersebut daya tahannya, tidak bisa lama, kata Ibu Nining.

Waktu pengerjaan yang cukup panjang inilah yang membuat Sate Tanjung lebih banyak dijual sore hari. 

Dan pelanggan Sate Tanjung setiap sore selalu antri menunggu giliran karena alat pembakaran yang dipakai kecil. Ini terjadi bukan saja di Tanjung, di Mataram lebih-lebih lagi. Semakin sore pembeli sate Tanjung semakin banyak berdatangan.

 “Kalau bulan puasa, pembeli berjubel-jubel,” ujar Rasmini. 

Untuk “mengantisipasi” berjubelnya pembeli di bulan puasa, Rasmini sengaja berjualan lebih awal dari biasanya dan juga ikut membakar Sate Tanjung tersebut di rumahnya yang tidak jauh dari tempatnya berjualan. Sate yang sudah dibakar tersebut ia bawa ke tempat suaminya berjualan. 

“Tapi, biar pun jualan lebih awal, pembeli tetap saja numpuk menjelang buka puasa,” tuturnya.

Kalau pada hari-hari biasa para penjaja sate Tanjung hanya menyiapkan 30 sampai 50 kg sehari atau 700 hingga 1200 tusuk, maka pada bulan puasa bisa dua kali lipat. 

“Kalau puasa pembeli ramai, makanya saya selalu nambah ikan,” kata Ibu Nining. Demikian juga jam berjualannya pada bulan puasa lebih cepat dari biasanya.

Ikan Besar dan Segar

Penjaja Sate Tanjung, biasanya tidak melulu menjual satenya saja, namun juga ada daging atau kepala ikan yang biasa mereka sebut dengan pes. Makanya meski yang dijadikan sate hanya daging ikan saja, bukan berarti kepala dan tulang ikan tersebut terbuang atau dimasak untuk konsumsi penjaja sendiri. Kepala dan tulang tersebut pun bisa menghasilkan.

Tulang dan kepala ikan dipepes dalam satu daun sementara pepes daging ikan berasal dari potongan-potongan kecil daging ikan yang tidak bisa ditusuk untuk dijadikan sate.

“Orang lebih suka membeli pes kepala ikan daripada dagingnya,” kata Ibu Nining. 

Mungkin, lanjut Rasmini, makan pepes daging ikan sama saja dengan makan sate biasa karena bumbu pepes tersebut sama dengan bumbu sate tanjungnya. Tetapi, setiap hari kedua pepes tersebut sama-sama digemari seperti halnya sate, ujar Durialis.

Para penjaja sate ikan ini mengaku, setiap hari sedikitnya mereka menjual 50 sampai dengan 200 pepes daging dan kepala ikan. Daging, tulang dan kepala ikan semua bisa dijual. Bahkan, bagi Rasmini, kulit ikan ia buat krupuk yang juga dijual bersama sate dan pepes. 

“Tidak ada yang terbuang percuma,” katanya.

Untuk membuat Sate Tanjung ini, ikan yang digunakan adalah yang berukuran besar seperti ikan Languan, Cakalan, Kacangan, Pasuh, Putihan bahkan ikan Tengiri. Sebenarnya semua jenis ikan bisa dibuat sate, tetapi kalau ikannya besar pengerjaannya lebih gampang dan kemungkinan kecil ikannya hancur saat diaduk dengan santan atau saat ditusuk, ujar Melasmin. 

Selain itu, sate yang berasal dari ikan besar sama sekali terpisah dari tulang ikan yang biasanya mengganggu.

Ikan jenis Languan dan Kacangan, lebih banyak seratnya sehingga ketika dikerjakan tidak gampang pecah.

 “Ikan yang seratnya sedikit harus ekstra hati-hati mengerjakannya,” kata Sunardi. 

Lebih gampang pecah terutama saat mengaduknya dengan bumbu dan santan. Ikan untuk sate juga harus ikan yang benar-benar segar agar tidak lebur dengan adukan santan. 

Ikan segar, kata Sunardi yang sejak kecil sudah menjadi nelayan ini, jangan dilihat dari mata atau insangnya karena itu bukan jaminan.

Sebaiknya periksa daging di bagian punggungnya, jika masih keras maka ikannya tergolong masih segar. Atau jika masih ada lendir pada insangnya, berarti ikannya masih segar.

Santan Kental Tanpa Air

​Salah satu ciri khas Sate Tanjung, yaitu menggunakan santan kelapa tanpa air.

 “Yang dipakai hanya santan asli dari kelapa,” ungkap Rasmini. 

Ini menjadi salah satu keistimewaan Sate Tanjung, sehingga rasanya menjadi sangat gurih. Tentu saja, kelapa yang digunakan akan menjadi sangat banyak dan diperas menggunakan kain kasa. 

Bumbu yang digunakan sederhana saja, ada di sekitar kita. Lombok merah, kunyit, laos, bawang putih, kemiri, garam dan gula putih yang digiling hingga halus. Jika ingin pedas bisa juga ditambah dengan cabe.

​Sebelumnya, ikan dikuliti dan dipisahkan dari tulang dan kepalanya, lalu dipotong besar-besar. Kemudian, potongan-potongan tersebut diiris dan dipisahkan antara daging yang berwarna putih dan hitam agar sate kelihatan lebih menarik barulah diiris kecil-kecil sesuai ukuran sate yang diinginkan. Daging ikan yang putih dan sudah diiris kecil tersebut, direndam dengan air yang dicampur jeruk atau cuka beberapa saat. “Untuk menghilangkan amis,” kata Melasmin. 

Jika amisnya sudah hilang, daging ikan tersebut ditiriskan hingga airnya benar-benar kering.

​Sementara itu, santan asli yang kental dicampur dengan bumbu yang sudah dihaluskan sebelumnya. Kemudian ikan yang sudah ditiriskan hingga kering diaduk dan dibolak-balik sampai rata dan menjadi satu dengan santan yang sudah dicampur bumbu. 

“Tempat untuk mengaduk ikan, sebaiknya yang licin,” saran Rasmini. 

Ini diperlukan, agar ikan dapat bercampur dengan sempurna yang menurut istilah para penjual Sate Tanjung, “agar cepat jadi”.

Penjual Sate Tanjung di pinggir jalan

​Cepat jadi maksudnya, campuran ikan, santan asli dan bumbu tadi diaduk lebih kurang setengah jam sampai jadi seperti setengah berlendir. Santan dan bumbu yang tadinya cair, akhirnya mengental. Ikan dan bumbu jadi menyatu dan sebelum dibakar bumbu tersebut dengan gampang ditambahkan pada sate dan tidak jatuh layaknya air. Bumbu jadi ini tentunya dipengaruhi oleh kekentalan santan.

Makanya, kalau santan dibuat dengan ditambahkan air, selain lebih lama jadinya juga kemungkinannya tidak akan bisa mengental sampai setengah berlendir, ujar Rasmini.

Setelah ikan bercampur baik dengan santan dan bumbu maka diamkan beberapa saat. Semakin lama bumbunya semakin meresap, barulah irisan daging ikan tersebut ditusuk dan dibakar seperti sate layaknya.***