Dari Workshop Kelas WAH – Pasir Putih
LOMBOK UTARA – lombokjournal.com
Kolaborasi antar seniman dan masyarakat dalam proses kreatif, menjadi topik workshop kelas WAH yang diselenggarakan komunitas Pasir Putih di Pemenang Lombok Utara, 7 – 9 Juli lalu. Empat orang ‘seniman-aktivis desainer sosial’ dari Polandia, berdiskusi dengan seniman dan pegiat seni di Lombok. “Seniman harus membuka diri, dan mampu menjawab tantangan kreatifnya,” kata Marriana Dobskowska.
Selain Marriana Dobskowska, seorang kurator untuk program-program residensi, proyek-proyek seni dan pameran, ada empat orang lainnya juga dari Polandia. Mereka adalah Iza Rutkowka, seniman, desainer dan aktivis sosial, dan Krzysztof Lukomski, dosen dengan gelar PhD di University 0f Art, Poznan Polandia, dan art director di ShortWave Film Festival.
Kemudian Alicia Rogalska, seniman fotografi yang lahir di Polandia tapi saat ini berbasis kerja di London, yang menekuni proyek-proyek seni yang melibatkan partisipasi dan kerjasama masyarakat. Ada lagi Maciej Siuda, arsitek yang meraih sarjana Cum Laude dari Universitas Teknologi Wroclaw.
Bulan Juni lalu, kelima orang itu mengambil bagian dalam kegiatan ‘Pameran dan Program Publik’ di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta, serta di beberapa lokasi di sekitar Galeri nasional, yang dikuratori Marriana Dobskoska. Pameran itu dalam proyek ‘Desain Sosial Bagi Kehidupan Sosial’. Maciej Siuda, yang tahun 2015 pernah berkolaborasi dengan Jatiwangi Art Factory (JAF), dalam pameran itu memberi workshop ‘kekuatan berbagi sebagai alat evolusi’.
Kehadiran lima orang dari Polandia di komunitas Pasir Putih di Pemenang itu membuka kesempatan berbagi pengetahuan dan pengalaman, baik bagi tamu dari Polandia itu sendiri maupun seniman-seniman Lombok, termasuk warga setempat. Selama tiga hari, mulai Kamis, 7 Juli 2016, sampai Sabtu, 9 Juli 2016, berlangsung mulai pukul 2 siang hingga pukul 5 sore (diskusi sering hingga larut malam). Diskusi intens terbagi menjadi tiga kelas, yaitu ‘Kelas Ruang Publik’ dengan pemateri Iza Rutkowka dan Kris Lukomski, ‘Kelas Photografi’ oleh Alicia Rogalska dan ‘Kelas Ruang dan Teater’ oleh Mariana Dobkowska dan Maciej Siuda.
Mengingat pengalaman dan latar belakang para seniman dari Polandia itu, sebenarnya bisa menjadi kawan diskusi intens bagi para seniman atau pengiat seni di Lombok. Tapi memang sayang, mungkin waktunya yang dekat lebaran Idhul Fitri, kegiatan itu ramai diikuti pada awal kemudian pesertanya menyusut di hari berikutnya. Apalagi seniman-seniman Lombok (di luar Lombok Utara) yang telah banyak bekerja dengan masyarakat, tidak tampak terlibat.
Kehadiran seniman Polandia untuk mengisi kegiatan ‘KelasWah’ yang berlangsung tiap bulan dari komunitas Pasir Putih ini memang penting untuk berbagi (sharing), khususnya konteks seni kontemporer yang peduli sosial yang tak mengabaikan konteks historis dan pemahaman kenyataan kemasyarakatan. Diskusi yang intens akan menghasilkan gagasan yang bisa menjadi pijakan atau dasar proses kreatif dan berkarya.
Maciej Siuda, yang punya pengalaman memberi konsultasi arsitek untuk publik, memandang kekuatan ‘berbagi’ (sharing) menjadi alternatif positif dari trend global yang memandang kompetisi semata-mata sebagai bahan bakar kemajuan. Filsuf Polandia, Zygmunt Bauman, pernah memandingkan, bila dia memberi seseorang satu dolar dan sebaliknya orang itu memberinya satu dolar, masing-masing hanya memiliki satu dolar. “Jika saya memberimu ide dan kamu memberikan idemu, maka kita masing-masing akan memiliki dua ide,” kata Zygmunt Bauman yang dikutip Maciej Siuda.
Marriana Dobskowska, dalam percakapan di akhir workshop menambahkan tentang pentingnya seniman membangun kolaborasi dengan masyarakat untuk menumbuhkan kepekaan sosial. “Hubungan dengan kehidupan sosial menjadi bagian kreativitas seni,” katanya.
Menurutnya, seni kontemporer tak membatasi ruang kreativitasnya, semata-mata di media kanvas, galeri, studio atau panggung. Berdedikasi untuk kesenian, berarti harus selalu mengerjakan praktis sosial. Dengan membuka diri, seniman akan makin terbuka wawasan pengetahuannya.
“Seniman seharusnya tak berhenti di zona aman. Seniman harus menjawab tantangan kreativitasnya,” kata Marriana.
Ka-eS.