Merayakan Lebaran Topat, Jangan Lupa Pesan Orang Tua

Ilustrasi Lebaran Topat; ekspresi budaya keislaman masyarakat Sasak di Lombok. (Foto: Dok Hello LOMBOK)

Hanya mereka yang berpuasa, merasakan makna hari raya (lebaran) yakni mencapai kehidupan yang fitri. Sebulan puasa di bulan Ramadhan, akan merasakan makna Idhul Fitri. Setelah itu, sepekan berpuasa di bulan Syawal maka pada tanggal 8 Syawal kalender Hjriyah, akan menemukan kebahagiaan dalam perayaan Lebaran Topat, Minggu (2/7) mendatang.

Rame-rame bersantap ketupat di pantai (foto: IST)

MATARAM.lombokjournal.com –

Lebaran Topat mendapat tempat istimewa bagi masyarakat Sasak (Lombok). Mengapa demikian?  Masyarakat Sasak menyatakan rasa syukur kepada Allah SWT (Orang tua Sasak menyebutnya Neneq Kaji Saq Kuasa).  Kemeriahan lebaran Topat hanya terjadi di Lombok.

Tentang simbol topat atau ketupat, menurut salah seorang tetua budaya Sasak, Lalu Anggawa Nuraksi,  konon para wali dulu saat berdakwah mensyiarkan agama di pelosok Lombok selalu berbekal ketupat.

Namun ada yang mengatakan, ketupat berbentuk segi empat sebagai menu makan utamanya merupakan khasanah kearifan lokal untuk mengingatkan asal muasal manusia. Ketupat segi empat menunjukkan bahwa manusia terdiri dari air, tanah, api dan angin.

Di beberapa tempat di Lombok, orang tua atau sesepuh budaya atau adat menyebut Lebaran Idhul Fitri dan Lebaran Topat itu berpasangan. Idhul Fitri dikatakan sebagai  Lebaran Mame (laki-laki/pria), sedang Lebaran Topat disebut sebagai Lebaran Nine (wanita/perempuan).  Mungkin, yang terakir disebut lebaran Nine karena pada puasa bulan Syawal ini  para wanita berkesempatan membayar beberapa puasanya yang batal selama puasa wajib di bulan Ramadhan. Entahlah.

Mestinya, perayaan Lebaran Topat dilakukan mereka yang berpuasa Syawal, selama sepekan pascaIdhul Fitri.  Tapi tidak, semua bisa merayakannya, berkumpul bersama menyantap topat atau ketupat dengan menu khas Sasak seperti opor, urap-urap, dan panganan tradisional.

Dan secara tradisional, inti Lebaran Topat ungkapan rasa syukur yang dinyatakan dengan rasa hormatnya pada para wali penyebar Islam. Karena itu, ritual penting dalam lebaran ini adalah berziarah ke makam-makan keramat, atau kubur orang-orang suci yang berjasa mensyiarkan Islam sehingga masyarakat Lombok dikaruniahi keimanan dalam Islam.

Dan disitulah tampak nilai budaya atau kultural Lebaran Topat, sebagai ekspresi keislaman masyarakat Sasak. Di Kota Mataram, makam-makam yang biasa diziarahi masyarakat, yaitu Makam Bintaro di Ampenan, Makam Loang Baloq di Tanjung Karang, atau Makam Batu Layar (Lombok Barat).

Tiap Lebaran Ketupat, Makam Loang Baloq yang berseberangan jalan dengan Pantai Tanjung Karang, Mapak, sejak pagi penuh sesak oleh para peziarah dari berbagai tempat.  Para peziarah itu berdoa, berebutan mencuci muka dan kepala dengan air di atas makam yang dianggap keramat. Demikian pula yang terjadi di Makam Bintaro dan di Batu Layar.

Di tempat lain, seperti di Lombok Tengah, masyarakat merayakannya dengan berziarah ke makam-makam keramat, yakni peristirahatan terakhir para wali yang berjasa berdakwah dan mensyiarkan Islam.

Ritual Pariwisata

Aspek sosial perayaan Lebaran Topat adalah rekreasi bersama keluarga dan handai taulan ke tempat atau obyek wisata. Tempat favorit adalah pantai. Tak heran kalau saat Lebaran Topat, pantai tertentu menjadi ramai pengunjung. Mereka bergerombol membawa bekal ketupat dan penganan tradisional lainnya untuk bersantap bersama-sama.

Pantai Senggigi di Lombok Barat termasuk paling favorit didatangi muda mudi, baik yang datang serndiri maupun bersama pasangannya. Polisi akan sibuk mengatur lalu lintas kendaraan yang datang maupun meninggalkan Senggigi..

Selain itu, seiring gencarnya promosi Lombok sebagai destinasi wisata, maka Lebaran Topat pun dijadikan salah satu event wisata untuk menarik kunjungan wisatawan.  “Nuansa pariwisatanya lebih menonjol dari nuansa budaya maupun agamanya,” kata Anggawa.

Lebaran Topat sudah menjadi produk wisata. Pelaksanaan Lebaran Topat terkesan kehilangan roh budaya maupun religinya.

Tapi bagaimana pun, waktu terus berjalan dan berubah. Semula perayaan Lebaran Topat diisi dengan mengunjungi makam-makam para tokoh agama dan penyebar agama Islam di Lombok. Orang tua di Lombok dulu mengunjungi makam-makam para wali, tokoh penyebar agama Islam seperti makam Bintaro, makam Nyatuq, makam Selaparang dan lainnya.

Bolehlah muda mudi bergembira. Bolehlah pemerintah atau pelaku pariwisata mennjadikan Lebaran Topat sebagai produk wisata. Tapi ingat pesan orang tua, Lebaran Topat sesungguhnya momentum menumbuh suburkan syiar agama. Agama itu menyempurnakan tradisi. Bagi masyarakat sasak, tradisi mencerminkan nilai-nilai kebajikan agama.

Kata orang tua, Lebaran Topat dijadikan saat introspeksi mengenal kembali jati dirinya, seperti halnya seseorang yang menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Dendek ipuh panthok gong (tak usah segan memukul/membunyikan gong),”  kata pepatah Sasak yang mengingatkan manusia agar mengoreksi diri.

Rr