Seni  

GARIS BAWAH; Osama, Legenda dan Sastra

by Mantra Ardhana
  • Rayne Qu

Apakah anda berpikir Osama Bin Laden, pemimpin Al Qaeda itu mati? Tidak.

Tahun 2013, Osama dikabarkan masih hidup tenang di vila mewah bersama lima orang istri dan anak-anaknya di Bahama. Anda tentu ingat, malam 1 Mei 2011, Pasukan Khusus AS (US Special Forces) masuk jauh ke teritori Pakistan dan melakukan operasi militer. Targetnya, orang paling diburu Amerika.  Dunia kaget karena Osama bin Laden pemimpin Al-Qaeda, organisasi yang diidentifikasi sebagai organisasi teroris oleh Barat, terbunuh dalam serangan yang mirip adegan fiksi film. Belakangan, pemerintah Pakistan mendirikan Komisi untuk menyelidiki bagaimana pasukan AS bisa melanggar kedaulatan Pakistan dan bagaimana Bin Laden selama Sembilan tahun tinggal diam-diam di Pakistan.

Rayne Qu *)
Rayne Qu *)

Edward Snowden, yang kini mendapat suaka di Rusia seperti dikutip Tribune Moskow mengatakan, ia memiliki dokumen bahwa Osama mendapat kiriman gaji dari CIA (Central Intellegence Agency) sebesar $ 100.000 atau hampir satu setengah milyar per bulan.  Kematian Osama dipalsukan. Ia diangkut bersama ‘teroris’ lainnya termasuk keluarganya, kemudian ditempatkan di sebuah tempat rahasia di Bahama.  Bagi  CIA, Osama yang konon bersikap koperatif menjadi ‘kolaborator’ yang efisien.

Believe or not. Siapa pun boleh mempercayai apa pun, atau sebaliknya.

Cerita kehidupan Osama Bin Laden mengalir layaknya legenda.  Musuh-musuhnya menudingnya otak dari  semua aksi teror, termasuk serangan monumental WTC pada bulan September 2001 yang menewaskan ribuan orang.  Bagi Barat, Osama merupakan ‘sosok berjubah hitam dengan senjata gancu di tangan’ yang menghembuskan bau teror kecemasan dimana-mana.

Tapi bagi bangsa Arab lain lagi. Sebagian orang Arab yang memutuskan mengangkat pedang dan harus memerangi bangsa Barat  yang dipandang wujud kezaliman, Osama Bin Laden merupakan hero masa kini.  Osama layak dihormati sebab membela pride bangsa Arab, mewakafkan hartanya serta hidupnya sebagai ‘martir’ untuk memperjuangkan yang haq menurut keyakinan agama.

Tidak ada seorang pun benar-benar mengetahui, apakah pengikut Osama suka cita atas serangan September itu. Tunggu dulu, juga pada bulan September terjadi pembantaian atlet Israel di Olimpyade Munich tahun 1972, yang dikenal dengan peristiwa ‘Black September’.

Hingga kini pun belum diketahui sebenar-benarnya, siapa yang salah siapa benar. Apakah kaki tangan Osama (atau siapa pun) di balik perstiwa serangan  September yang nekad menyasar WTC. Atau benar seperti laporan Kongres (Amerika) tentang terlibatnya pemimpin Arab Saudi dengan sepengetahuan CIA.  Kejanggalan-kejanggalan atas drama mencengangkan itu terkubur sebagai rahasia. Kemudian, peristiwa itu menjadi mata air yang mengalirkan legenda masa kini, yang kelak menciptakan hero baru bagi pihak mana pun.

Saya memaparkan cerita Bin Laden karena ingin membandingkannya dengan  legenda yang juga membungkus peristiwa ‘pemberontakan PKI’, sekitar 45 tahun silam. Peristiwa paling traumatik yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia modern.

Moral suatu legenda ditentukan siapa penilainya. Kebenaran “sejarah” kolektif (folk istory) itu ditentukan nilai-nilai dan pengalaman bawah sadar masyarakat yang hendak merekonstruksi “kebenaran” sejarahnya.  Sebab legenda bisa merupakan sesuatu yang sekuler (keduniawian), terjadi pada masa kini, bertempat di dunia yang kita kenal sekarang, biasanya dengan tokoh manusia luar biasa.

by Mantra Ardhana
by Mantra Ardhana

Sebagai “sejarah” kolektif (folk history), legenda diwariskan turun temurun, memberi petunjuk yang benar dan yang salah. Siapa yang baik dan yang buruk, sifat yang benar dan yang salah, dan penjelasan peristiwanya terus menerus mengalami distorsi. Itulah legenda, tergantung bagaimana masyarakat hendak merekonstruksi sejarahnya.

Berdasarkan pelajaran sejarah yang diajarkan guru-guru di sekolah, peristiwa pemberontakan PKI pada 30 Septemberi 1965 memang nyata. Namun karena fakta-fakta  itu (selalu terjadi dalam legenda) banyak mengalami distorsi, bisa kurang atau sebaliknya sangat berlebihan, peristiwa itu berkembang zig-zag seperti legenda. Dalam kurun tertentu, seorang pelaku sejarah bisa menjadi pahlawan, namun pada kurun berbeda figur yang sama hanyalah biang kerok yang memalsukan kebenaran sejarah.

Sebenarnya saya tak ingin menyinggung soal PKI. Kadang-kadang peristiwa itu kuanggap persoalan orang tua, dan bila tanpa tendensi politis sebenarnya ungkapan ‘bahaya laten’ komunisme itu nyaris sebagai kekonyolan. Bagi saya, dan mungkin bagi banyak teman-temanku, benar-benar tak produktif.  Lebih baik para intelektual atau para orang tua, baik yang berkuasa maupun  yang tengah meratap karena telah kehilangan kekuasaannya,  lebih fokus memikirkan penciptaan lapangan kerja atau mengusahakan internet murah.  Dari internet saya tahu, kelompok Neo Nazi di Swedia sudah diijinkan berunjuk rasa tanpa kekhawatiran generasi muda teracuni paham kuno yang sudah kehilangan pasaran itu.

Peristiwa pemberontakan PKI dinilai dengan penuh tendensi, terkesan banyak yang memamerkan nalar kurang baik.  Padahal kemampuan nalar yang baik sangat penting untuk menghubungkan atau menjangkau masa depan. “Jangan melupakan sejarah,” kata Bung Karno.  Memang benar.  Tapi mestinya, orang tua mesti lebih mampu mengkonstruksi sejarah tanpa mewariskan permusuhan.

Karena itu saya, mungkin juga  siapa pun, membutuhkan karya sastra yang baik. Sastra selalu bermula dari ketersentuhan emosi individual. yang benar-benar memahami peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakatnya sekitarnya. Sebab karya individual sastra, mengekspresikan kenyataan yang sangat subyektif, namun menjadi tinjauan atas ‘dilema ekstensi manusia dan tiada apa pun yang tabu’.  Ekspresi  kejujuran individu itu biasanya mendapat hambatan  dari luar; politik, agama, etika atau adat istiadat.

Sastra yang baik akan membentuk peradaban masa depan lebih baik. Sastra yang baik bisa mengedepankan eksistensi manusia sebenar-benarnya, bukan menulis omong kosong. Wawasan mendalam sastrawan dalam menyerap kebenaran, akan menentukan mutu karya sastra. Permainan kata-kata atau teknik menulis tak bisa menggantikannya.

Saya menyukai kata-kata pemenang Nobel sastra dari Cina, Gao Xingjian, ”banyak definisi tentang kebenaran, tapi akhirnya dapat dilihat apakah seorang sastrawan atau penulis sedang membumbuhi fenomena manusia, atau  sedang membuat pelukisan yang lengkap dan jujur.”

Membacalah sastra, meskipun para pembaca beresiko menghadapi karya-karya sastra yang hanya bermain-main dengan keindahan bahasa. Tapi membaca terus akan bisa membedakan mana yang hanya ‘membumbuhi’ dan mana yang ‘membuat pelukisan yang lengkap dan jujur’ tentang tentang situasi kemanusiaan.

Awal Mei, 20016