MATARAM – lombokjournal
Ijin operasional penyedotan pasir laut untuk reklamasi Teluk Benoa,Bali, bisa dikategorikan tindakan pidana. Merujuk Undang-undang No30 Tahun 2014 tentang administrasi Pemerintahan, tiap putusan pejabat publik yang bertentangan dengan kepentingan umum, masyarakat bisa melakukan gugatan.
Hal itu dikatakan Yayan, Divisi Ekosob KONTRAS (Kordinator Orang Hilang dan Korban Kekerasan) Jakarta, di sela-sela diskusi HAM sektor tambang yang diselenggarakan Somasi NTB, Walhi NTB dan KONTRAS, di Mataram (Senin, 21/3). Diskusi itu dihadiri Eksekutif Daerah Walhi NTB, Murdani, Kordinator Fitrah NTB, Ervyn Kaffah, kalangan aktivis lingkungan, ormas dan mahasiswa.
“Ijin operasional pertambanngan pasir jelas tak diperbolehkan bertentangan dengan hak masyarakat. Yang perlu kita buktikan, apakah ijin itu bertentangan dengan hak masyarakat. Intinya disitu,” kata Yayan.
Yayan berharap ada pertemuan lebih luas yang mempertemukan kalangan akademisi, aktivis LSM termasuk Ombudsman. Tujuannya untuk menguji, apakah baik azas maupun prosedur atau mekanisme terkait pengeluaran ijin itu ada unsur yang bisa dipidanakan. “Kita bukan menolak investasi, tapi kerugian yang diderita masyarakat menjadi persoalan kita bersama,” ujar Yayan.
Semula Menolak, Berbalik Mengijinkan
Menurut Eksekutif Daerah Walhi NTB, Murdani, mudahnya Pemprov NTB mengeluarkan ijin pengerukan tambang karena daerah ini ingin ramah pada investor. Ironisnya, dengan pemberian ijin itu, berarti NTB ‘membantu’ Bali menambah daratannya (mereklamasi). “Pemprov Bali mengijinkan reklamasi tapi menolak pengerukan pasir di wilayahnya,” kata Murdani.
Penambangan pasir itu akan mengeruk sekitar 40 juta m3 pasir di sekitar Selat Alas. Selain berdampak kerusakan insfrastruktur nelayan, 76 persen spisies terumbu karang dunia yang ada di Selat Alas akan rusak. Dan lagi, tidak ada pengkajian sekitar 16.437 kk yang akan kehilangan pekerjaan ketika perusahaan bicara dalam sidang AMDAL.
“Sebenarnya, akhir tahun 2014 Bupati Lombok Barat (saat itu), Zaini Aroni, mengatakan menolak pengerukan atau penyedotan pasir. Waktu itu Gubernur Majdi juga menolak,” cerita Murdhani.
Menurut catatan wartawan, Pemprov NTB semula menilai, izin prinsip Pemerintah Kabupaten Lombok Timur untuk pengerukan pasir kepada PT Tirta Wahana Bali Internasional, tidak sah dan ilegal. Hal itu pernah dikatakan Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian (BLHP) NTB Hery Erpan Rayes. Menurut Hery, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan
Regulasi melalui Kepmen No 33 Tahun 2002 tentang Pemanfaatan Pasir dan Pulau Kecil, bahwa wilayah Lombok Timur (Lotim), Selat Alas merupakan zona lindung.
Menurut Hery Erpan Rayes, Gubernur NTB bersurat ke Komisi Amdal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membatalkan recana eksploitasi pasir itu.
Gubernur TGH M Zainul Majdi diberitakan tegas menolak rencana itu. “Sampai saat ini kita menolak karena kemudharatannya jauh lebih besar dari manfaatnya,” tegas Zainul Majdi pada wartawan saat itu.
Saat itu gubernur menegaskan, Pemprov NTB telah memberikan pertimbangan kepada Komisi Penilai Amdal Pusat Kementerian Lingkungan Hidup RI agar tidak menyetujui rencana eksploitasi pasir itu. Apa pun yang merusak ekosistem tidak boleh ditoleransi, tegasnya.
Tapi belakangan, saat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB akan mengajukan gugatan “class action” terkait ijin prinsip penambangan itu, Pemprov NTB akan melawannya.
“Jika merasa dirugikan, entah lewat ‘class action’ atau apa pun namanya, silakan ada lembaganya, pengadilan dan segala macam,” kata TGB saat itu.
(Ka-eS)