Opini  

Hari ini, Mimpi Penghuni Surga

Edel Rodriguez

ORAN, Aljazair –

Surga menguasai fantasi orang-orang Muslim di abad pertengahan. Ya, bukan hanya di abad pertengahan. Surga bagi umat Islam tetap merupakan fantasi hari ini. Tetap menjadi tema khotbah, dan sekaligus menjadi wacana politik. Surga menjadi tujuan bagi individu atau kelompok, yang secara bertahap menggantikan impian tentang pembangunan, stabilitas dan kemakmuran, yang dijanjikan oleh dekolonisasi pasca perang di dunia Arab.

Kamel Daoud, Aug, 2016

Hari ini, imajinasi kebahagiaan hanyalah tentang hari esok setelah kematian, bukan saat hidup di dunia.

“Kenikmatan surga bagi diri sendiri ,” renungan yang ditulis dalam editorial di sebuah surat kabar Islam di Aljazair, saat bulan Ramadhan.

Pernyataan itu diikuti dengan penjelasan tentang pesona, kenikmatan, kegembiraan yang setia menanti setelah kematian. Imajinasi tentang surga, digambarkan sebagai tempat berlimpah kenikmatan, dengan hidangan seks dan anggur, perhiasan emas dan pakaian sutra.

Ini  janji akan datangnya kenikmatan berlipat-lipat, kebalikan dari kehidupan duniawi yang penuh derita bagi kebanyakan orang Arab. Mereka berada dalam situasi frustrasi yang dialami (umumnya) negara-negara Arab yang menderita karena kegagalan ekonomi, perang dan kediktatoran berdarah.

ilustrasi; Mantra Ardhana

Surga dijanjikan oleh kitab suci Quran, makin seru dengan setumpuk uraian dalam literatur agama selama berabad-abad. Dalam beberapa tahun terakhir, surga menjadi negara impian orang miskin, pengangguran, tapi juga kaum beriman. Dan dengan jihad bisa mencapainya, seperti dipromosikan para tokoh agama saat merekrut para relawan.

 

Ilustrasi : Mantra Ardhana

Ini adalah pembaruan menarik dari konsep kebahagiaan, yang dominan setengah abad lalu. Saat itu, negara-negara Maghreb danTimur Tengah – yang ingin lepas dari belenggu kemiskinan dan kesengsaraan akibat penjajahan, harus berperang melawan pasukan pendudukan. Negara-negara itu menganjurkan jihad untuk visi masa depan berdasarkan kemerdekaan, egalitarianisme, pembangunan, kemakmuran, kesejahteraan, kreativitas, hidup berdampingan yang berkeadilan.

Visi utopia itu mudah dipahami banyak orang. Pada gilirannya diadopsi oleh elit sosialis atau komunis dan bahkan beberapa monarki, sebagai mimpi politik bersama. Itu memberi legitimasi kepada rezim-rezim baru. Dekolonisasi merupakan era dengan slogan besar tentang kemajuan bangsa dan modernisasi melalui proyek-proyek besar  infrastruktur.

Tapi mimpi itu berujung buruk. Terutama disebabkan pikiran berdarah dari rezim otoriter serta kegagalan politik kiri di dunia Arab. Hari ini, seseorang Muslim – dengan iman, budaya atau dimana pu berada – memasuki utopia Islamosphere yang beredar melalui internet dan media. Fantasi inilah yang saat ini memenuhi benak banyak orang, dalam pidato politik, lamunan kedai kopi dan keputus asaan generasi muda. surga telah datang kembali sebagai mode, dijelaskan rinci oleh pengkhotbah, imam, termasuk dalam fantasi sastra Islam

Nilai jual utama; kaum perempuan, dijanjikan dalam jumlahn banyak, sebagai hadiah bagi yang bertakwa. Para wanita dari surga, bidadari, cantik, penurut, perawan lembut. Bagaimana dengan jihadis perempuan, juga diizinkan masuk taman firdaus yang kekal itu? Jika laki-laki dapat memiliki puluhan perawan, bagaimana dengan para perempuan?

jawaban para pengkhotbah bisa lucu: imbalan surgawi bagi perempuan itu adalah menjadi istri yang membahagiakan suaminya dalam kehidupan kekal. Mereka berdua ditakdirkan untuk menikmati kebahagiaan suami-istri yang abadi, di usia simbolis 33 dan dalam kesehatan yang yang juga kekal.

Bagaimana bagi perempuan yang sudah tidak punya suami atau sudah bercerai? Seorang pengkhotbah menjawab, perempuan itu akan mendapatkan suami lagi dengan pria lain yang sudah bercerai semasa masih hidup di dunia.

Anehnya, impian ini dari surga Muslim berhadapan dengan idaman lain yang sekaligus antagonis: dunia Barat. Membangkitkan gairah atau kebencian bagi orang Islam pergi yang ke Barat, hidup atau mati di sana , sebagai migran atau martir, menaklukkan atau menghancurkannya.

Utopia Muslim yang baru itu menjadi soal di dunia Arab saat ini. Motivasi banyak orang lari dari keputusasaan dan keluar dari kesengsaraan,  tidak lagi dengan mewujudkan negara yang makmur kaya dan sejahtera, seperti terjadi pasca dekolonisasi. Yang terjadi hari ini adalah janji surga di akhirat. Imajinasi tentang ‘kebahagiaan kekal’ menyebabkan kegelisahan.

Banyak orang ingin mengabaikan ini. Namun faktanya, untuk masuk surga orang harus lebih dulu mati.

 

Kamel Daoud, kolumnis untuk Quotidien d’Oran, adalah penulis novel “The Meursault Investigation.” Esai ini diterjemahkan oleh John Cullen dari bahasa Prancis

(Judul asli dalam Bahasa Inggris : Paradise, The new Muslim Utopia)