Umum  

GARIS BAWAH

Aksi solidaritas kasus yang menimpah YY yang diperkosa dan dibunuh 14 pemuda, di Mataram, NTB (Jum'at, 7/5)

 

 Nasib Mengerikan YY

Saya perempuan dan paling mengerikan saat membaca berita perkosaan. Apalagi dibarengi perilaku brutal seperti dialami gadis Bengkulu, YY (14 tahun). siswi SMP dari Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejanglebong, Provinsi Bengkulu oleh 14 pemuda. Namun, kita akan menyalahkan laki-laki, atau tidak berjalannya fungsi instrumen negara, misalnya aparat keamanan?

 

Rayne Qu *)
Rayne Qu *)

Karena itu, saya gembira hari Rabu (4/5) lalu berlangsung aksi di seberang Istana Negara, wujud solidaritas terkait kasus kekerasan seksual yang menimpa YY. Sejak tahun 2010 hingga sekarang terus menerus terjadi peningkatan kejahatan seksual terhadap anak (perempuan) tiap tahun.  Tapi kekerasan seksual seperti halnya perilaku kriminal lainnya terus terulang, dan tetap tak ada penanganan serius yang dilakukan Negara.

Di sisi lain, kalangan feminis berteriak, kasus perkosaan brutal seperti yang menimpa YY karena budaya patriarki di Indonesia. Apakah perkosaan yang dilakukan 14 pemuda itu, sebagian ada di bawah umur, itu mengindikasikan inferioritas laki-laki, dan karena itu mereka berusaha menunjukkan kekuasaannya?

yuyunkamis2

Kemudian saya membandingkan dengan kenaifan saya. Karena hadiah Nobel sastra selalu dimenangkan pengarang laki-laki (mungkin saya khilaf kalau ada juga Nobel sastra yang diberikan pada pengarang perempuan), maka saya beranggapan semua ini hasil budaya patrtiarkal. Kadang-kadang saya berharap ada ‘rasa belas kasih” panitia Nobel untuk memprioritaskan penghargaannya pada pengarang perempuan.

Namun saya terhibur karena perjuangan untuk ‘setara’ dengan laki-laki secara masif secara nyata dilakukan oleh perempuan di barat. At least, dalam oktagon yang kerap riuh rendah oleh histeria kekerasan, perempuan-perempuan perkasa bertarung dalam mixe martial art (seni beladiri campuran). Saya membayangkan para fighter itu bukan perempuan yang suka  merengek menuntut kesetaraan dengan laki-laki.

Kalau tempat kita hidup tak lagi aman bagi perempuan, tentu paling mudah disalahkan adalah laki-laki. Di antara banyak kasus perkosaan yang terjadi, memang korbannya selalu perempuan.  Beberapa kasus perkosaan yang dilakukan guru perempuan terhadap murid laki-laki pernah terjadi di luar negeri (barat). Ini kasuistis, karena paling memungkinkan melakukan serangan seksual hanyalah laki-laki.

Berbeda dengan laki.-laki, kalau perempuan mengalami desakan gairah seksual tak membuatnya serta merta segera ingin melampiaskannya. Kalau ada, itu hanya terjadi di video porno. Pekerja sex di lokalisasi pelacuran adalah perempuan, dan pembelinya laki-laki. Apakah ini juga bagian budaya patriarki? Namun di tempat-tempat dimana perempuan berhak menguasai harta warisan atau mengatur prosesi pernikahan, soal perilaku seksual tak berbeda dengan tempat lain.

Laki-laki memiliki dorongan seks lebih kuat daripada perempuan. Dalam  masyarakat patriarkal inheren bahwa pria menjadi lebih terbuka mengekspresikan keinginan seksualnya. Ada sebuah studi yang mengatakan, hanya 8 persen dari perempuan yang menggunakan internet untuk mengunjungi situs-situs porno. Namun terkait ekspresi seksual itu selalu berkembang sesuai perubahan zaman.

Ternyata data aktual dari Pornhub, situs video streaming pornografis, melaporkan 33 persen basis pelanggannya adalah perempuan. Tahun 2015 juga dilaporkan, tiga puluh persen wanita India menggunakan internet untuk mengunjungi situs porno. Bahkan 34 persen perempuan yang rajin mengunjungi gereja mengakui secara rutin mengunjungi situs porno. Meski demikian, dalam taraf tertentu, selalu dikatakan perempuan masih tabu menonton pronografi.

Saya sebenarnya ingin mengatakan, perempuan selama ini banyak mengeluh. Tuntutan kuota jabatan karir di pemerintahan, atau jabatan di lembaga-lembaga politik, hanya merupakan wujud inferioritas perempuan menghadapi laki-laki. Saat kita melawan ketidak adilan yang dialami perempuan, pada saat yang sama kita ‘mohon belas kasihan’ pada laki-laki agar berbuat adil. Tuntutan itu belum kesampean karena perempuan tidak bekerja keras, dan belum benar-benar mau ‘menerima resiko’ untuk setara dengan laki-laki.

Saya ingin mengatakan, nasib mengerikan yang dialami YY adalah perilaku kriminal yang agak naïf bila dihubung-hubungkan dengan budaya patriarki. Desakan untuk melampiaskan sex di tengah kemiskinan sungguh mengerikan. Di belakang itu ada persoalan besar moralitas, yang lahir dari kemiskinan, rendahnya pendidikan atau bahkan tak adanya penghargaan pada manusia lain. Yang terakhir benar-benar tak dimiliki sebagian besar penegak hukum maupun aparat keamanan.

Sebagian besar pemimpin hanya pandai bicara tapi nuraninya tak pernah benar-benar terusik. Sebagian besar kita bertindak seperti pemadam kebakaran.

*) Rayne Qu, mahasiswa S2 Sastra Prancis, asal Punia Saba, Kota Mataram (Lombok)