Distop Reklamasi, Penduduk Pulau Bungin Akan ‘terusir’ dari Tanah Airnya

Larangan reklamasi Pulau Bungin; akan 'mengusir; anak cucu masyarakat Bungin dari tanah airnya? (Foto: KOMPAS)

SUMBAWA – lombokjournal

Inilah dilema yang kini dihadapi penduduk Pulau Bungin, yang mendapat julukan ‘pulau terpadat di duna’. Mau tetap di bermukim di pulau mungil itu, sudah ada pelarangan reklamasi.  Mau tinggal di luar tanah kelahiran, masyarakat nelayan pulau itu tak bisa hidup meninggalkan tanah kelahiran yang kental aroma laut.

Kepadatan penduduk Pulau Bungin mencapai 14 ribu jiwa per km persegi
Kepadatan penduduk Pulau Bungin mencapai 14 ribu jiwa per km persegi (foto: KOMPAS)

Pulau seluas sekitar 8,5 hektar dengan kepadatan penduduk mencapai lebih 14 ribu jiwa per km persegi itu, sudah terbiasa hidup berdesakan.  Bayangkan, dalam satu rumah yang tidak luas bisa dihuni 4 keluarga yang jumlahnya mencapai 12 orang.

Tentu lahan pulau Bungin di Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat itu tak mungkin membesar dengan sendirinya. Bertambahnya keluarga baru berarti harus mereklamasi pulau dengan menguruk lautan dengan karang (yang sudah mati). Akibat bertambahnya kebutuhan rumah, ukuran Pulau Bungin pun semakin bertambah luas dari waktu ke waktu.

Dalam kurun waktu pendek, Pulau Bungin terus meluas. Tahun 1942, luasnya hanya 3 hektar, dan kini seiring terus bertambahnya jumlah keluarga. Luasnya  sudah mencapai sekitar 8,5 hektar.  Daratannya berkembang puluhan are tiap tahun. Perumahan dibangun nyaris tanpa jarak.

Larangan Reklamasi

Di laut tak masalah, tapi dalam soal reklamasi harus mengambil tanah dan batu dari bukit setempat.
Di laut tak masalah, tapi dalam soal reklamasi harus mengambil tanah dan batu dari bukit setempat.

Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provnsi menegaskan, sekarang sudah melarang penduduk untuk mereklamasi pulau Bungin. “Reklamasi distop setelah ada laporan dari DKP Kabupaten Sumbawa dan penyidik,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Prov NTB, Ir. Aminollah, M.Si seperti dikutip Suara NTB, Sabtu (23/4).

Sebelumnya, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumbawa Ir. H. Junaidi, M.Si mengatakan belum ada izin reklamasi di Kabupaten Sumbawa. Junaidi menjelaskan, pihaknya pernah melarang perusahaan yang hendak mereklamasi di Pulau Bungin. Reklamasi dianggapnya sebagai pekerjaan ilegal yang melanggar aturan.

Ditegaskannya, soal pelarangan atau ijin reklamasi itu adalah wewenang DKP Provinsi. “Izin menguruk sudah tidak melalui DKP Sumbawa, tapi di DKP Provinsi. Perusahaan itu memang sempat berkonsultasi ke DKP Propinsi, oleh DKP Propinsi mereka dilarang mereklamasi,” ujar Junaidi.

Perkampungan Bungin; dalam satu rumah yang tidak luas bisa dihuni 4 keluarga yang jumlahnya mencapai 12 orang.
Perkampungan Bungin; dalam satu rumah yang tidak luas bisa dihuni 4 keluarga yang jumlahnya mencapai 12 orang.

Soal penghentian reklamasi itu dilatari proses penyusunan dokumen rencana zonasi, agar memiliki landasan wilayah mana yang boleh direklamasi atau tidak boleh. Dan muncul persoalan, sebab dalam soal reklamasi harus mengambil tanah dan batu dari bukit setempat..

Bagaimana dengan nasib penduduk pulau Bungin yang terus bertambah dari tahun ke tahun? Masyarakat Bungin yang umumnya berasal dari Bajo itu mengaku akan tetap bertahan di pulau itu. Mereka mengaku tak bisa dipisahkan dengan lingkungan laut. Aroma laut sudah menyatu dengan nnafas kehidupan para nelayan di pulau itu.

“Apa pun yang terjadi kami akan tetap tinggal disini sampai anak cucu kami,” kata seorang nelayan.

Tapi kalau penduduk terus bertambah sedang ‘penambahan lahan’ — yang berarti harus mereklamasi laut tetap dilarang — tentu menimbulkan persoalan. Kalau tetap ada pelarangan reklamasi, apakah anak cucu masyarakat Bungin harus ‘terusir’ dari kampung halamannya?

Tam