KLU – lombokjournal.com
Memasuki tahun kedua penyaluran Dana Desa, mestinya gairah pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa tampak peningkatannya. Kelompok usaha ekonomi produktif, PKK, petani atau masyarakat miskin serta pemuda, seharusnya bergerak maju. “Disini perubahan yang kelihatan, kadesnya bangun rumah dan punya istri baru,” cerita masyarakat Desa Santong, Kecamatan Kayangan,Kabupaten Lombok Utara, Senin (9/5).
Ini cerita dari Desa Santong, Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, setelah lahirnya UU Desa No 6 Tahun 2014. Bagaimana Dana Desa tidak mencapai sasaran sesuai amanat Undang-undang.
Menurut sumber Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Santong, desa yang lokasinya paling atas di Kecamatan Kayangan itu mendapat transfer Dana Desa dari APBN sebesar Rp1,4 m pada tahun 2015. Untuk tahun 2016, kabarnya dana yang diterima mencapai hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Jumlah dana besar yang masuk ke desa itu, tahun 2015 memang terlihat ada pengerjaan rabat jalan di salah satu dusun. Tapi selebihnya, penggunaan dana itu mengundang pertanyaan warga desa. Lemahnya sumberdaya aparat menyebabkan pengelolaan Dana Desa itu tidak dilakukan secara transparan.
Bukankah sesuai Permen Desa No 15 tahun 2015, penggunaan Dana Desa yang tertuang dalam prioritas belanja Desa harus disepakati dalam Musyawarah Desa?
Nyatanya, proses musyawarah untuk menentukan prioritas belanja desa itu tidak berjalan baik. Hal itu menyebabkan perencanaan program tidak berdasarkan kesepakatan bersama. Contohnya, Kades yang berasal dari dusun Temposodo, tidak peka aspirasi masyarakat dari dusun lain. Misalnya, program-program yang direalisasikannya paling banyak dilaksanakan di Dusun Temposodo.
“ Kalau menyusun RAPB DeS, Kadesnya hanya mengundang 1-2 dari dusun. Selain itu hanya Kadus dan BPD. Terus terang, kita tak bisa terlalu ikut campur,” kata salah seorang tokoh masyarakat yang sempat ikut musyawarah.
Setelah musyawarah itu, semua dikembalikan pada Kades, Sekretaris Desa dan SPMD (Sarjana Pendamping Masyarakat Desa). Tak heran kalau beberapa waktu lalu, para pemuda desa sempat protes, karena pembelian perlengkapan olahraga diduga terjadi mark up.
“Kalau kaos sepak bola yang harganya Rp40 ribu tapi dibilang Rp150 ribu, pasti itu harganya dinaikkan semaunya,” cerita seorang pemuda desa. Menurutnya, kelompok pemuda desa tak pernah tahu berapa dana yang disiapkan untuk pembinaan mereka.
Hal sama juga disampaikan petani yang diundang mengikuti pelatihan pertanian. Setelah pulang mereka menandatangani uang transport Rp100 ribu, ternyata jumlah yang diterima di amplop hanya Rp50 ribu. “Mau saya tanyakan soal itu, tapi teman-teman malu untuk minta tambahan,” cerita seorang petani.
Anggaran untuk lembaga-lembaga desa, seperti PKK (kelompok wanita), kelompok petani, kelompok ekonomi produktif, atau dukungan untuk PAUD, tidak pernah diketahui berapa alokasi anggarannya.
“Masalahnya BPD tidak dilibatkan. Kami hanya menerima laporan akhir tahun setebal bantal, sengaja huruf laporan itu dikecilkan sehingga sulit membacanya,” cerita anggota BPD.
Dana BUMDes
Saat ini tokoh masyarakat di Desa Santong sedang memasalahkan penyaluran dana untuk BUMDes. Tahun 2015 suntikan dana untuk BUMDes dilaporkan sejumlah Rp100juta. Berdasarkan laporan Desa alokasi anggaran untuk BUMDes itu sudah diberikan, yang dialokasikan untuk pengembangan Waserda di desa.
Untuk operasional waserda itu sudah dibentuk panitia. Malah sudah ada pembagian, siapa yang berjualan dan siapa yang mengelola keuangan. “Dalam laporan dana Rp100 juta itu sudah disalurkan, tapi disalurkan melalui siapa,” tanya salah seorang Wakil Ketua BPD.
Kalau dana itu diakui sudah disalurkan, kemungkinan besar laporan itu fiktif. Sebab nyatanya, Sekretaris BUMDes , Japri, pernah melaporkan dalam forum rapat desa bahwa sejak tahun 2013 BUMDES sudah mati suri alias tidak aktif melakukan kegiatan apa pun.
Karena itu, bendahara BUMDes yang memang lama tidak aktif, mengaku tidak tahu menahu soal dana itu. Bahkan Ketua BUMDes, Hairil Anwar dari Dusun Waker juga tidak pernah mengetahui tentang pencalran dana Rp100 juta itu.
Waktu rapat desa tiga minggu lalu, pihak BPD menanyakan soal itu tapi tidak mendapat jawaban yang jelas. “dana BUMDes itu sekarang yang sedang kami telusuri lari kemana,” kata wakil Ketua BUMDes.
Pangawasan Masyarakat
Memang, pengawasan partisipatif masyarakat itu harusnya dibarengi keberanian melaporkan penyimpangan yang dilakukan oleh Pemerintah Desanya. Misalnya volume dan kwalitas proyek yang tidak sesuai dari rencana, mark up proyeknya, atau terjadinya kegiatan fiktif.
Menurut salah seorang anggota BPD, memang diakui peran Sekretaris Desa Santong, Mustar, yang sudah berpengelaman dalam administrasi desa, laporannya selalu baik. “Cara Sekdes main karena administrasinya bagus. Tapi realisasinya tidak ada. Misalnya tentang pembelian material toko dan minta stempel untuk melaporkan banyak kegiatan. Sekdes punya cara-cara khusus,” katanya.
Karena itu, masyarakat santong membutuhkan pemeriksaan eksternal, apakah dari Inspektorat dan kejaksaan, atau lembaga-lembaga pengawasan independen lainnya. “Bila perlu KPK turun tangan,” kata seorang anggota BPD.
Negara memberikan Dana Desa yang dikelola Kepada Desa dan aparat desa lainnya, yang berasal dari APBN dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota (PDRD) jumlahnya sangat besar, tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat desa.
Jangan sampai dana besar itu tidak mencapai sasaran, apalagi kalau sampai disalah gunakan oleh aparat desa, khususnya untuk membiayai kepentingan pribadi Kepala Desa. “Masa Kades yang sebelumnya tidak punya pekerjaan jelas, setelah turun Dana Desa tiba-tiba bisa bangun rumah baru dan punya istri baru,” kata tokoh masyarakat.
Agar tidak terjadi fitnah dan penyalahgunaan makin bertambah, baik BPD maupun tokoh masyarakat Desa Santong berharap ada pemeriksaan dari lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan memeriksa Dana Desa.
Suk