Penyelenggaraan Festival Pesona Tambora beberapa waktu lalu, masih menyimpan ketidakpuasan masyarakat sekitar kawasan Tambora. Banyak hal yang menerbitkan keluhan masyarakat setempat. Salah satunya adalah atraksi erotis TRIO MACAN yang melukai perasaan masyarakat setempat. Berikut adalah surat terbuka warga masyarakat Tambora yang ditujukan kepada Gubernur NTB, DR TGH Zainul Majdi, yang dikirim ke redaksi Lombok Journal.com. Edtor.
Bapak Gubernur yang saya cintai,
Saya bukan Budayawan. Bukan juga sekelas Seniman apalagi Sejarahwan. Saya hanya tahu, Negara Indonesia adalah bangsa yang multikultural. Dimana masyarakatnya hidup berdasarkan etika kebiasaan yang berbeda di tiap daerah, yang sifatnya sangat esensial.
Satu minggu terakhir ini, saya banyak sekali menjumpai tulisan-tulisan kritis atas perhelatan atau event Pesona Tambora yang diadakan oleh DISBUTPAR Provinsi NTB.
Bentuk kritiknya punya banyak Variasi. Ada yang mengkritik dengan puisi ada pula ungkapan yang bernuasa cercaan. Juga tidak sedikit dari mereka yang kecewa karena tidak medapat jatah roti.
Bagi kami, masyarakat Bima, Gunung Tambora adalah simbol kekuatan. Sebagian dari identitas kami yang hilang. Tempat yang kami anggap sakral di daratan Bumi Manggusu Waru. cerita-cerita tentang keganasan daerah Tambora hingga hari ini belum usai dikisahkan oleh nenek, kakek, ibu dan bapak kami.
Bapak Gubernur NTB yang saya cintai, sekaligus saya banggakan,
saya adalah warga bapak yang masih sangat percaya bahwa pemerintah adalah simbol dari terwujudnya kesejahteraan rakyat. Saya hanya mencoba untuk mengingatkan kembali, bahwa kritik, apa pun bentuknya, adalah betuk kepedulian seseorang terhadap masa depan negaranya, bukan sebagai ungkapan kebencian. Begitu miris dan tergoresnya kepercayaan saya terhadap pemerintah atas isu kritikan yang ingin dipolisikan.
Bapak Gubernur yang saya hormati dan saya cintai,
sudah saya jelaskan bagaimana resisten warga Bima, ketika Tambora yang kami anggap simbol eksistensi budaya masyarakat kawasan gunung itu, menjadi tempat tarian tak senonoh dengan pakaian begitu ketat, hingga seluk beluk lekukan tubuhnya terlihat jelas. Ini erotisme di tempat yang menjadi eksistensi tradisi.
Mungkin kita akan merasakan hal yang sama. Dan jangan salahkan kalau resistensi kami muncul dalam bentuk kritik. Sebagaiman kerja saraf mototrik manusia ketika mengijak api.
Tulisan ini bukan semata-mata untuk mengungkapkan kebodohan Instansi Negara, atau ingin di kemudian hari mendapat jatah dari suatu “proyek budaya”.
Saya sendiri tidak terlalu paham bagaimana seharusnya melakukan perhelatan kebudayaan dan kesenian. Kalau saya ditanya, siapa yang layak untuk mengurus perhelatan sakral Tambora, jawaban saya hanya satu, yaitu mereka yang benar-benar memahami apa itu kebudayaan.

Manusia dapat hidup walau tidak makan selama seminggu, tapi tidak ada manusia yang dapat hidup sedetik tanpa memmiliki harapan dan masa depan.
Surat yang saya tulis untuk Bapak, semoga menjadi catatan dan evaluasi ke ke depan bila hendak menyelenggarakan perhelatan pariwisata yang membawa nama Tambora..
Pesan saya “Lihatlah Tambora sebagaiman masyarakat Bima melihatnya.” Insha Allah akan berkah.
Semoga niat kebaikan selalu menyertai tiap langkah kita.
Salam hormat.
Imam Evimp, Warga Kawasan Tambora