Atraksi kekuasaan Presiden Joko Widodo telah menyumbat keran demokrasi yeng telah dirintis pada era reformasi. Kita telah berada pada krisis kepemimpinan negarawan?
LombokJournal.com ~ Diskusi kepemimpinan pada Kompas (22/01/16) dengan tema; “Rahim-Rahim Kepemimpinan”,“Menyintas dari Lacuna Kepemimpinan”, dan “Strategi Penggodokan Kepemimpinan” mengundang saya tertarik urun rembuk.
Hal ini sangat strategik karena kepentingan masa depan bangsa, baik di legsilatif, eksekutif, yudikatif, TNI dan POLRI dan tingkat pedesaan. Analisis tersebut menggambarkan tentang sejauh mana regenerasi kepemimpinan berlangsung dalam kurun waktu sejak kemerdekaan hingga orde baru, reformasi dan pasca reformasi.
Pemetaan kepemimpinan nasional pada era peletakan fondasi, era pemekaran dan era penistaan hanya memberikan penafsiran konvensional tentang pemimpin nasional. Tapi mendalami gerak historis bangsa dibutuhkan dekonstruksi tentang mengapa pemimpin itu bergerak tanpa pamrih, berjuang habis-habisan (bali:puputan)?
Uraian historis lahirnya tokoh-tokoh bangsa pada menjelang kemerdekaan RI muncul dalam dimensi perjuangan keamerdekaan serta mulai melembagakan perjuangan kemerdekaan. Kehadiran Tjokro Aminoto dengan Sjarikat Isalam menandakan babak baru perjuangan kemerdekaan RI melalui partai politik.
Sang Tjokro dapat kita kategorikan sebagai sosok pemimpin yang lahir pada era kolonialisme perdagangan, kebangkitan saudagar pribumi. Sang Tjokro hadir berjuang untuk meningkatkan kederisasi kepemimpinan nasional dengan menggembleng intelektualpemuda Indonesia. Kekuatan pada orasi berapi-api dan wawasannya membuat para pemuda tersihir untuk bergabung dengan partainya. Sehingga dari rumahnya di Gang Peneleh Surabaya lahir tokoh-tokoh nasional yang berbeda secara ideolgis seperti Sukarno, Tan Malaka, Kartosoewirjo, Semaoen, Musso, Samanhoedi dan lainnya.
BACA JUGA : Artificial Intelligence (AI) Akan Menjadi Buah Simalakama
Sukarno, Mohammad Hatta, Jendral Sudirman, dan Syahrir sebagai perintis dan pendiriRepublik Indonesia. Sosok negarawan utuh dapat menggerakan semua elemen bangsa untuk mencapai kemerdekaan RI. Mereka mampu meletakkan esensi kemerdekaan RI sebagai pijakan perjauangan baik melalui medan perang, pergerakan dan diplomasi.
Kekuatan tokoh–tokoh ini ketika detik-detik pengalihan kekuasaan dari Jepang ketika meletus perang 10 Nopember yang dipimpin Bung Tomo di Surabaya. Era ini dapat dikatakan sebagai puncak kepemimpinan negarawan, yang mengikat perilaku pemimpin pada kebesaran jiwa memperjuangkan kemerdekanan NKRI.
Diplomasi di tingkat internasional yang dilakukan Muhammad Hatta, Syahrir, Agus Salim dan lainnya memperkuat kepemimpinan awal kemedekaan terinspirasi kuat pada “visi kenegarawanan”, tanpa terbawa perbedaan paradigma ideologis. Keinginan kuat para tokoh ini menyebabkan irama rakyat Indonesia dapat terhindar dari konflik-konflik horizontal yang bersumber perbedaan ideologis.
Pada era orde baru Suharto sangat kuat sehingga mengakibatkan kepemimpinan otoriterianisme yang tinggi. Tapi Suharto muda muda cukup membawa karakter pemimpin bangsa, dan setelah lima tahun kemudian mengembangkan kepemimpinan yang sangat kuat menyebabkan kebuntuan komunikasi antara pemipin dan rakyat.
Pola konglomerasi dalam semua kebijakan pemerintah menyebabkan bangsa dikuasai segelintir orang kaya Indonesia. Stagnasi kepemimpinan berlangsung lama sekali. Konsep pembangunan “menetes ke bawah”(trickle effects downs) tidak menjadi kenyataan, kesenjangan ekonomi terjadi secara massif di seluruh Indonesia. Bahkan pengelolaan pemerintahan diramaikan dengan kasus korupsi dan lainnya. Ketegangan politik pada masa ini tidak terjadi karena berusaha diredam dengan kekuasaan otoriterian.
Pada masa reformasi keberanian tokoh-tokoh yang “melawan” untuk mewujudkan perubahan tatanan berbangsa dan benegara antara lain; Gus Dur, Megawati Sukarnoputri, Amien Rais, dan Bambang Susilo Yudhoyono, memiliki karakteristik pada mengembangkan demokrasi dengan menajamkan ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka. Amandemen Undang-Uandang Dasar 1945 dan Otonomi pemerintahan merupakan puncak keterbukaan keyakinan dalam memahami Indonesia di tengah pencarian identitas kebangsaan.
Ini saya anggap sebagai kepemimpinan negarawan yang menguatkan kehadiran bangsa dalam iklim domokrasi yang lebih elegan. Kepemimpinan negarawan berpijak pada kuatnya keinginan rakyat memperbaiki sistem berdemokrasi.
Kerelaan Ibu Megawati Sukarnoputri untuk menunjuk Joko Widodo sebagai kandidat Presiden pada tahun 2014 dan 2019 adalah perubahan “paradigmatik” memahami kepemimpinan nasional ketika dihadapkan pada kontestansi partai politik yang tinggi. Hal ini menjadi perspektif baru tentang kaderisasi pemimpin nasional dari daerah.
Pada sisi ini sebenarnya yang diinginkan Ibu Megawati adalah memenangkan pilpres untuk menaikkan PDI-P menjadi pemenang pemilu. Keinginan kuat untuk membangun kaderisasi kepemimpinan nasional melalui tahapan-tahapan dari menjadi walikota, guebernur hinggan presiden. Presiden Joko Widodo lahir dari proses pendidikan politik ketika mengawali karirnya sebagai Walikota Solo lalu menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ibu Megawati telah menafsirkan“realitas politik” satu sisi, sebagai idealisme, pada konteks harapan rakyat sesungguhnya .
Ketegangan Kepemimpinan Nasional 2023?
Sebaliknya riuh Pilpres 2024 menjadi bagian penting dari realitas kepemimpinan negara yang mengalami kegalauan yang tinggi dan menengangkan. Puncaknya, pada inetervensi dlalam melakhirakan regenerasi kepemimpinan nasional. .Pilpres 2024 telah dan sedang mengurai ketegangan tinggi sejak dan sebelum pemungutan suara. Atraksi kekuasaan Presiden Joko Widodo telah menyumbat keran demokrasi yeng telah dirintis pada era reformasi. Kita telah berada pada krisis kepemimpinan negarawan?
BACA JUGA : Medsos Hatus Dioptimalkan untuk Tingkatkan Interaksi
Kita merasakan kontrol dan kendali kekuasaan sedang menghawatirkan kita apa proses-proses demokrasi bisa bisa berlangsung damai atau sebaliknya?
Kontestansi politik tahun 2024melahirkan krttik pedas dari para tokoh nasional dan akademisi; sejumlah rektor menyatakan sikap kritis terhadap penyelenggaraan Pilpres 2024. Cawe-cawe pada kotenstasi nasional, berawal dari rentetan proses pilpres dan pileg 2024 pada MK dan KPU membungkan “ruh demokrasi”. Apa ada pilihan lain untuk menjadi NKRI yang tangguh di dunia Internasional? Hak angket bergulir sebagai kritik terhadap kepimpinan nasional Presiden Jokowi dan kita tunggu bagaimana endingnya.? Kita membayangkan bagaimana bila sengketa hasil pemilu berlanjut hingga melahirkan distrust warga negara? Kepercayaan menjadi ruh perjalanan suatu negara. Kemudian bagamainan menyelamatkan NKRI ini?
Kepemimpinan negarawan baik di tingkat nasional dan daerah membutuhkan regenerasi yang menunjuk pada koimtmen visioner pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Partai politik menjadi organisasi yang mendidik calon pemimpin daerah dan nasional yang melahirkan pemimpin negarawan. Pemimpin yang memiliki komitmen pada keberlangsungan NKRI pada visi masa depan untuk meningkatkan martabat anak bangsa baik dalam bidang politik, ekonomi, hukum, kesehatan, pendidikan dan budaya, dan Iptek di kancah Internasional.***