Kisah  

Gula Gending dari Kembang Kerang, Dijual Hingga ke Sulawesi

Ilustrasi ~ Merehab rombong Gula Gending / Ist

Ini cerita tentang perantau asal Kembang Kerang, Lombok Timur yang berjualan Gula Gending hingga menyeberang ke Kalimantan, Sulawesi juga ke Jawa. Nanik I Taufan menggali cerita langsung dari beberapa penjual Gula Gending

lombokjournal.com ~ ​Meski tidak lagi banyak penjual Gula Gending yang berkeliling menjajakan dagangannya, camilan ini masih menjadi favorit anak-anak. 

Setidaknya, hal ini diungkapkan sekelompok penjual gula gending yang tinggal di seputar Sindu, Cakranegara Mataram.

Gula Gending dijual ke luar daerah
Penjaja Gula Gending

Para penjual gula gending yang tidak lagi banyak ini, berasal dari sebuah desa bernama Kembang Kerang, Lombok Timur.

Mereka, tidak hanya menjajakan dagangannya di Pulau Lombok, namun juga keluar kota seperti Bima, Sumbawa dan Dompu. Bahkan ada yang merantau hingga ke luar daerah, seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali dan Jawa.

“Kami merantau untuk menjajakan gula gending hingga ke luar daerah, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya,” kata Sadikin.

BACA JUGA: Pesona Khazanah Ramadhan Perkuat Branding Pariwisata NTB

Sadikin bertutur, pernah berangkat bersama 40 kawannya untuk menjajakan dagangannya hampir di semua kabupaten di Kalimantan Selatan, beberapa tahun silam.

Berjalan Kaki Seharian

​Di Lombok orang mengenal camilan yang terbuat dari gula ini sebagai gula gending atau halus manis. 

Dijual menggunakan rombong yang dibuat khusus dari bahan kaleng-kaleng bekas dan bentuknya disesuaikan dengan pinggang samping sang penjaja agar tidak kesulitan ketika menabuhnya. Bentuk rombong setengah lingkaran dengan rongga sebagai penyimpan gula kapas di bagian tengahnya. 

Gula Gending seperti hula kapas
Gula Gending

Di sekeliling rombong terdapat enam kantong-kantong kaleng yang berfungsi sebagai tempat menyimpan kertas bukan sebagai pembungkus tetapi sebagai alas gula kapas ketika ada yang membeli. 

Kantong-kantong ini juga berfungsi sebagai gending yang dipukul penjaja untuk menarik perhatian pembeli.

rombong Gula Gending
Rombong Gula Gending

Disebut Gula Gending, karena saat menjajakan camilan yang terbuat dari gula ini, penjaja selalu menabuh kantong-kantong kaleng layaknya gending meskipun iramanya monoton, ujar Sadikin dan Fahmi. Namun, inilah kekhasan Gula Gending yang bisa jadi hanya ada di Lombok. 

“Kalaupun ada di tempat lain, tentunya dengan ciri yang sama, bisa dipastikan berasal dari Lombok,” kata Sadikin.

Ia menuturkan, para penjaja gula gending yang berasal dari kampungnya Kembang Kerang, Lombok Timur, sudah menyebar, merantau hampir di semua pulau di tanah air. Mereka menjajakan Gula Gending hingga ke luar daerah.

Biasanya, para penjaja gula gending, sebelum datang ke satu daerah secara berkelompok, dari mereka selalu ada yang memulai. Misalnya, beberapa orang ada yang berani datang ke tempat baru sekedar untuk mencoba berjualan.

“Kalau kelihatannya laku, kami saling kontak,” tutur Sadikin. 

BACA JUGA: Kunjungan AHY ke Bima Disambut Gubernur NTB

Maka, secara bekelompok mereka mendatangi daerah tersebut. Di sana mereka hidup berkelompok juga dan menyebar membagi wilayah di satu kota pertama hingga beberapa waktu.

Kalau sudah kelihatan orang mulai bosan, mereka berpindah dari satu kota ke kota lainnya hingga ke pelosok di daerah yang sama, ujar Sadikin. Saking seringnya berpindah kota, ia sudah lupa berapa kota sudah yang telah ia datangi untuk berjualan.

Dalam waktu tertentu, para penjaja memilih untuk berpindah pulau.

 “Selama menjajakan Gula Gending, seberapa pun jauhnya tempat berjualan, kami berjalan kaki meski harus seharian,” katanya. 

Mereka menumpang angkutan umum biasanya ketika berangkat berjualan ke wilayah masing-masing, selebihnya berjalan kaki bahkan hingga kembali ke rumah. 

“Lumayan, jalur yang kami lewati pulang sekalian menghabiskan dagangan yang belum laku,” ujar Fahmi. Namun, jika cepat laku semua di wilayah masing-masing, setelah berhitung ada juga yang naik angkutan umum pulangnya.

 Tepung dan Minyak Kelapa Memisah Gula Jadi Halus

Membuat Gula Gending usai keliling
Produksi Gula Gending

Gula Gending yang terbuat dari gula pasir ini, ternyata pembuatannya sangat sederhana. Pembuatannya menghabiskan waktu tidak lebih dari 45 menit. Mereka keluar menjajakan dagangannya sekitar pukul delapan pagi hingga pukul lima sore. Biasanya, para penjaja ini membuat gula gending yang akan dijual besoknya pada sore hari setelah pulang dari berjualan. 

“Biar capeknya sekalian,” kata Fahmi.

Cara membuat makanan ringan ini diawali dengan memasak 2 kilogram gula pasir dengan air secukupnya hingga benar-benar mendidih dan agak mengental. Di perapian yang lain, setengah kilogram kurang sedikit, tepung terigu dimasak dengan setengah kilogram minyak kelapa dimasak sambil diaduk sampai mendidih dan menggumpal. Kemudian didinginkan.

Gula yang sudah mendidih diturunkan sambil dicampur dengan sebungkus sumba berwarna merah, diaduk hingga rata. 

Sambil diaduk sumba, gula yang dimasak tadi didinginkan dengan meletakkan wajan tempat gula di atas air sambil terus diaduk dan dibolak-balik hingga akhirnya benar-benar mengental dan padat dengan warna yang merata.

Pada sebuah aluminium ukuran 1,5 X 1,5 m, terigu yang dimasak dengan minyak yang sudah menggumpal tadi ditabur di atasnya. Lalu gula yang sudah mengental dan padat dimasukkan sambil dicampur, diputar dan dibolak-balik hingga rata dan terpisah hingga halus seperti bulu kucing. 

“Mulai proses ini harus dilakukan dua orang,” ujar Fahmi.

Lebih kurang lima belas menit, gula sudah mulai terpisah nyaris halus dan kaku. Lalu, dengan menggunakan sebuah kayu yang juga mereka buat sendiri, gula yang sudah mulai kelihatan terpisah tadi diletakkan di kayu tersebut sambil dibongkar dan diurai hingga benar-benar terpisah. Minyak kelapa dan tepung terigu yang dimasak tadi, adalah kunci untuk memisahkan gula menjadi nyaris halus, ujarnya.

Saat inilah, 2 kilogram gula tadi terlihat menjadi sangat banyak. 

“Proses selesai, Gula gending harus langsung dimasukkan ke dalam rombong dan tidak boleh dibuka lagi hingga esok harinya,” kata Fahmi. 

Kalau pun dibuka karena ada pembeli, harus segera ditutup lagi. Intinya, jangan sampai udara masuk terlalu banyak agar tidak mengempes, tambah Sadikin. 

Dari 2 kilogram gula pasir, setengah kilogram (kurang sedikit) tepung terigu dan minyak kelapa setengah kilogram, bisa menjadi Rp 150 ribu hasil kotornya esok hari, kata Fahmi. Dan setiap hari pula, gula gending laku semua. Kalaupun tidak, sisanya hanya sedikit dan bisa dijual keesokan harinya lagi.

Tembus Jutaan Rupiah

​Para penjaja gula gending yang tinggal di Mataram telah membagi wilayah berjualannya. Satu sama lain sepakat untuk tidak memasuki wilayah rekannya. 

Meski jumlahnya tidak banyak, mereka tetap setia pada pekerjaan yang mereka akui lebih banyak menghidupi keluarga yang ditinggalkannya di Kampung Kembang Kerang, Lombok Timur. Padahal, kata Sadikin dalam wawancara beberapa waktu lalu, pekerjaan ini sebenarnya merupakan sampingan saja. 

“Pekerjaan pokok menggarap sawah,” ujarnya.

Memproduksi Gula Gending

Tapi, ketika musim tanam tiba, ada saja penjaja gula gending yang berjualan, karena sebagian pulang menggarap sawahnya, lainnya lagi kembali ke Mataram untuk berjualan. “Jadi, penjaja gula gending tetap saja ada,” ujarnya.​

Meski pekerjaan ini adalah sampingan, justru lebih banyak memberikan penghasilan ketimbang menggarap sawah. Tapi, Sadikin dan rekan-rekannya tidak juga memilih menjadi penjaja gula gending sebagai pekerjaan utamanya. 

“Kalau ada pekerjaan di kampung kapan saja, kami tetap akan pulang,” ujarnya.

Di Mataram, mereka hidup berkelompok plus membagi tugas, membagi segala halnya bersama-sama, saling membantu sama lain. Satu rumah mereka urunan mengontraknya.

Alat-alat pembuat gula gending seperti wajan, kompor, aluminium dan sebagainya pun urunan ketika harus menggantinya. 

Tidak terkecuali soal makan dan minum sehari-hari. Hanya modal untuk membeli gula saja mereka modal sendiri. Tidak jarang, ketika habis pulang kampung yang mereka lakukan sebulan sekali untuk menjenguk keluarganya, uang hasil jerih payahnya semuanya ditinggalkan di kampung. Paling-paling pulangnya disisakan untuk ongkos angkutan umum hingga tiba di Mataram.

“Kalau sudah begitu, kami bisa ngutang gula dan bahan lainnya di warung sebelah,” kata Sadikin. 

Berhutang pun biasanya tidak lama. Besoknya, sepulang dari berjualan, mereka langsung membayarnya. Sehari mereka berenam menghabiskan setidaknya 10 kg gula putih (ada yang 1 kilogram, ada yang 2 kilogram), bahkan bisa lebih dari itu.

“Jumlah gula tergantung modal,” aku Sadikin. 

Sedangkan minyak tanah habis 4,5 liter dalam sehari. Jadi, tidak kurang dari 300 kg gula dan 120 liter minyak tanah, 75 kg minyak kelapa, 70 kg tepung terigu dan 30 sumba mereka habiskan setiap bulannya. 

Jika melihat penghasilan kotor Fahmi, sehari dengan 2 kg gula pasir Rp 150 ribu, maka penghasilan kotor penjaja gula gending yang menghabiskan 2 kg gula setiap hari bisa mencapai Rp 4,5 juta setiap bulannya, jika tanpa libur. 

Wah, lumayan besar ya? ***