Umum  

Cerita Muslim di Tiongkok (4)

Situasi ‘tidak bersahabat’ antara minoritas Uighur dan pemerintah Tiongkok sudah berlangsung lama. Semua tekanan pemerintah itu menimbulkan komplikasi, sehingga sejak lama sering terjadi serangan terhadap aparat dari etnis Han.
image_pdfSimpan Sebagai PDFimage_printPrint

MUSLIM UIGHUR ‘TAK BERSAHABAT’ DENGAN PEMERINTAH CINA

lombokjournal.com

Suatu siang, bulan Mei 2014, bahan peledak dilemparkan dari dua kendaraan di tengah pasar yang sibuk, puluhan orang tewas di tempat kejadian. Pemerintah Cina mengutuk insiden yang dikatakan kekerasan dari teroris. Kementerian Luar Negeri Cina berang atas kekerasan yang disebut anti manusia, anti sosial dan anti peradaban yang dilakukan para ‘teroris’.

muslimchina5

Insiden itu terjadi di Provinsi Xinjiang di barat jauh China, wilayah minoritas muslim Uighur yang jumlahnya kini mencapai sekitar 45 persen dari keseluruhan populasi Xinjiang. Uighur, etnis Muslim yang berasal dari Turki, menganggap Xinjiang adalah tanah air mereka.

Insiden bom itu bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya juga terjadi serangkaian serangan, dan pemerintah Cina menuding kelompok separatis di wilayah tersebut sebagai biang insiden. Namun saat itu, pihak Kongres Uighur Dunia (WUC) yang berbasis di Jerman mengeluarkan pernyataan, kelompoknya justru mengutuk serangan di tengah pasar itu.

Pemerintah Cina memang sudah menduga kalangan eparatis minoritas muslim Uighur menuntut kemerdekaan. Di antara banyak alasan, tuntutan kemerdekaan itu memang dipicu mengalirnya mayoritas etnis Han China ke wilayah Xinjian yang dianggap melemahkan kegiatan komersial (ekonomi), budaya dan agama mereka.

Di pihak lain, kebijakan pemerintah Cina memang memihak Han (juga memberi peran istimewa pada muslim Hui yang lebih dekat dengan orang Han, seperti disinggung dalam tulisan sebelumnya, pen).  Pemerintah Cina tidak berusaha mengatasi isu inti yang mendorong kerusuhan di Xinjiang. Adanya serangan baru itu justru mengeraskan tekad pemerintah Cina lebih menindas etnis Uighur.

Kecurigaan Beijing pada etnis Uighur punya akar sejarah lama. Mereka berasal dari wilayah yang semula merdeka tanpa tunduk pada kekuasaan mana pun, tapi berubah ketika ekspedisi militer Dinasti Qing tahun 1750 menguasai wilayah yang kemudian disebut Xinjiang (dalam bahasa Mandarin berarti ‘daerah kekuaasaan baru’).

Tidak seperti muslim Hui yang bisa ‘menjadi Cina’, sedang muslim Uighur, yang kulitnya putih, yang secara budaya lebih dekat dengan ras Turkistan, masih kuat membawa adat istiadatnya sendiri.

muslimcinaHUI14Juni2

Waktu pecah perang dunia II, penduduk Xinjiang lebih memihak ke Soviet. Kecenderungan ini membuat pasukan nasionalis kiriman Beijing memaksa warga Uighur bertahan dalam wilayah kedaulatan Tiongkok tahun 1949. Sejak saat itu cap terhadap muslim Uighur yang punya kecenderungan ‘memberontak’ selalu disematkan para petinggi Beijing.

Sikap paranoid pemerintah Tiongkok itu memunculkan diskriminasi bagi Uighur. Termasuk dalam pengurusan paspor bila warga Uighur hendak ke luar negeri. Mereka harus memberikan sampel DNA. Sejak bulan Juni, penduduk otonomi Yili Kazakh harus memberikan sampel DNA, sidik jari, sampel suara dan ‘foto tiga dimensi’ untuk mengurus dokumen keperluan perjalan tertentu.

Kebijakan baru itu ditetapkan menjelang memasuki bulan Ramadhan tahun ini, berlaku baik untukpengajuan baru maupun perpanjangan paspor, ijin masuk ke Taiwan, dan iji masuk dua arah ke Hongkong dan Macau. Bagi yang tidak memenuhi syarat itu pengajuannya tidak akan diproses. Prefektur Yili berbatasan dengan Mongolia, Rusia dan Kazakhtan. Prefektur tersebut bagian dari Xinjiang, dimana lebih 10 juta etnis Uighur ‘bertanah air’.

Jadi situasi ‘tidak bersahabat’ antara minoritas Uighur dan pemerintah Tiongkok sudah berlangsung lama. Semua tekanan pemerintah itu menimbulkan komplikasi, sehingga sejak lama sering terjadi serangan terhadap aparat dari etnis Han.  Pada tahun 2007, terjadi serangan, sebagai ganjarannya pemerintah Cina menembak mati 18 orang Uighur.

Tahun 2008 juga terjadi serangan serupa terhadap aparat etnis Han. Dipastikan 22 orang meninggal akibat bentrok yang dipicu pelarangan membangun masjid orang Uighur.  Bulan Juli 2009, bentrok antara etnis Uighur dan etnis Han di Urumqi, ibukota Xinjiang. Konflik itu menyebabkan 197 orang tewas, 1700 orang terluka dan 1434 muslim Uighur diculik dan dihukum pemerintah Cina.

Insiden yang membuat Negara-negara muslim protes adalah ekstradisi terhadap 100 imigran Uighur yang kabur dari Tiongkok ke Thailand, bulan Juli 2015. Pemerintah Thailand tidak bersedia memberikan suaka, dan 100 orang itu dideportasi ke Tiongkok.

Sikap Thailand itu memicu protes beberapa Negara Islam, dan hubungan dengan Turki memanas.

Tiongkok menuduh imigran itu kabur karena akan bergabung dengan Negara Islam Irak dan Syria. Namun pihak Kongres Uighur Sedunia (WUC) membantah, imigran itu kabur karena mendapat tekanan selama bertahun-tahun. “Semua tudiangan bahwa para imigran itu akan bergabung dengan teroris adalah dusta. Kami kawatir 100 orang yang dipulangkan dari Thailan itu akan disiksa dan dieksekusi,” kata juru bicara WUC.

Tapi pihak Pemerintah Cina selalu membantah, bahkan menjelang puasa lalu pemerintah Cina menjami kebebasan beribadah yang dilakukan muslim di Tiongkok. Bahkan baru-baru ini pemerintah Ciba menerbitkan ‘surat putih’ terkait kebebasan menjalan ibadah sesuai agama yang dianut, termasuk menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Pemerintah Tiongkok menyatakan, sangat menghargai perbedaan keyakinan di wilayahnya, termasuk di Xinjiang. Penghormatan dan perlindungan kebebasan beragama dijadikan salah satu dasar kebijakan nasional jangka panjang oleh pemerintah Cina.

Konstitusi RRT menyatakan ,”RRT menjamin warga Negara memiliki kekebasan beragama.” Dan “tidak ada organ Negara, organisasi masyarakat atau oindividu dapat memaks warga untuk percaya pada agama atau tidak beragama, tidak mendiskriminasikan warga Negara beragama dengan warga negara yang tidak beragama.”

Memang di Beijing, memasuki bulan Ramadhan muslim di Cina memadati mesjid-masjid untuk melaksanakan sholattarawih. Saat ini ada sekitar 20 sampai 30 juta muslim di Tuiongkok, ada sekitar 30 ribu masjid, Cina juga memiliki sekitar 40 ribu imam dan guru agama Islam. Sejak tahun 1980 tercatat sekitar 40 ribu muslim Cina sudah menunaikan ibadah haji.

Tapi bagaimana dengan Xinjiang?

Sepanjang menyangkut kehidupan muslim Uighur,  Pemerintah Cina tidak bisa dipercaya. Sebab konstitusi yang berbunyi,” Negara melindungi agama secara baik, namun tidak bisa memanfaatkan agama untuk menggangu ketertiban umum, merusak ketentraman warga atau mengganggu system pendidikan Negara.”

Bunyi konstitusi itu memang membuka peluang menekan muslim Uighur yang cenderung menuntut kemerdekaan. – habis

Roman Emsyair

(dari berbagai sumber)