Bau Nyale, Ini Kisah Drama Cinta Putri Mandalika

MENANGKAP NYALE; Setelah semalaman (biasanya) turun hujan lebat, pagi harinya penduduk turun ke lau untuk menangkap Nyale, yang konon jelmaan dari Putri Mandaika yang memilih mencebur ke laut / Foto: Nanik I Taufan
image_pdfSimpan Sebagai PDFimage_printPrint

Festival Bau Nyale yang diselengarakan tiap tahun di Lombok Tengah menyimpan cerita menarik tentang legenda Puteri Mandalika. Beberapa tulisan dari Nanik I Taufan mendeskripsikan Festival Bau Nyale dari beberapa sisi lain, untuk memahami lebih jauh event yang baru saja berlangsung

MATARAM.lombokjournal.com ~ Di atas bukit Batu Angkus yang terletak di bibir Pantai Seger, Kuta Lombok Tengah, seorang perempuan jelita berdiri putus asa. Di sekitarnya ada beberapa lelaki (Pangeran) yang siap menanti satu keputusan darinya. Dan ketika waktu yang ditunggu itu tiba, bicaralah ia kepada mereka.

Wahai para pangeran dan rakyatku, aku tidak akan memilih satu dari para pangeran yang melamarku. Demi kebaikan bersama, demi kedamaian negeri ini, aku tidak memilih seorang pun dari kalian. Aku akan menjadi milik semua orang. Jika kalian mencintaiku, temui aku di tempat ini pada tanggal 20 bulan 10 setiap purnama tiba”.

Bau Nyale merupakan jelmaan Putri Mandalika
Personifikasi Puteri Mandalika

Dalam legendanya, beginilah kira-kira kalimat terakhir yang sempat diucapkan perempuan yang kemudian memutuskan terjun ke laut dengan cara tiba-tiba. Para pangeran yang menantinya tentu saja kaget dan tidak menduga perempuan yang mereka rebut itu, tidak memlih satu pun dari mereka melainkan memilih menjadi milik semua orang.

BACA JUGA: Protein Tinggi dan Antimikroba pada Cacing Nyale

Adegan semacam ini kerap dipentaskan dalam mengenang perempuan yang menjadi legenda dalam masyarakat Sasak Lombok. Dialah Putri Mandalika, anak Raja dari Kerajaan Tonjen Beru, Lombok Selatan. Cantik jelita nan menawan, berbudi pekerti luhur sehingga membuat para pangeran kerajaan tetangga jatuh hati padanya.

“Kecantikan dan keluhuran budinya kesohor tidak hanya di Pulau Lombok melainkan hingga di luar Pulau Lombok sehingga ia menjadi rebutan. Para Pangeran sama-sama tidak mau mundur selangkah pun untuk dapat mempersuntingnya,” ungkap Lalu Putria, Budayawan Sasak.

Dikisahkan, perebutan tersebut terjadi antarpangeran yang berasal dari kerajaan yang ada di Pulau Lombok antara lain, Kerajaan Bumbang, Rambitan, Johor, Kedaro, Prabu Dundang dan lain-lain. Nyaris terjadi perang saudara karenanya. Putri Mandalika melakukan semedi untuk mencari petunjuk apa yang harus dilakukannya.

Ia bersemedi di sebuah hutan lalu mendapatkan petunjuk bahwa keputusan yang harus diambilnya adalah yang terbaik bagi dirinya, keluarga dan masyarakat Sasak.

Suatu hari pada waktu dan tempat yang telah disepakati, yakni pada tanggal 20 bulan 10 penanggalan Sasak bertepatan dengan purnama, lanjut Putria yang juga mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lombok Tengah ini,  pada Bukit Batu Angkus di pesisir Pantai Seger, ia pun mempersilahkan para Pangeran dan masyarakat datang ke sebuah tempat yang sudah disepakati untuk menyaksikan ia mengambil keputusan.

BACA JUGA: Festival Bau Nyale Sukses Digelar, Event Buda Pra MotoGP

Di sanalah Sang Putri memberikan pelajaran bagi semua Pangeran dan masyarakat, bahwa dalam kebimbangannya menjatuhkan pilihan, ia tidak memilih salah satu dari mereka yang memperebutkannya melainkan ia memilih mengorbankan dirinya dengan terjun ke laut demi mencegah terjadinya pertumpahan darah.

Ia memutuskan menjadi milik semua orang dengan cara menyerahkan dirinya pada alam, melompat ke laut dan menghilang.

Inilah akhir dari drama cinta Putri Mandalika, ketika ia menghilang di lautan lepas itu, angin kencang dan hujan badai pun datang. Para pangeran dan masyarakat yang hadir terkesima menyaksikan pengorbanan Putri Mandalika. Mereka menanti kembalinya Sang Putri. Namun Mandalika menghilang dan tak pernah muncul ke permukaan.

Mereka pun berduyun-duyun menuju lautan untuk menemukan dan menyelamatkannya. Tetapi Putri Mandalika benar-benar menghilang. Yang mereka temukan hanyalah jutaan cacing berwarna-warni yang menyala dan mengkilap diterpa sinar matahari..

“Cacing-cacing yang dikenal dengan nama Nyale inilah yang akhirnya dipercaya oleh masyarakat Sasak Lombok sebagai jelmaan Putri Mandalika. Cacing-cacing nyale ini tidak hanya ditemukan di Pantai Seger melainkan di sepanjang pesisir pantai bagian selatan Lombok, seperti Pantai Arguling di bagian barat Pantai Kuta Lombok, Pantai Mawun di Grupuk, jutaan nyale ditemukan,” katanya.

Sejak itulah, tiap tanggal 20 bulan 10 penanggalan Sasak (tahun 2022 ini jatuh pada tanggal 20-21 Februari), ratusan ribu warga Lombok akan tumpah ruah menanti “kedatangan” Putri Mandalika

yang menjelma dalam bentuk cacing nyale di sepanjang pesisir pantai selatan Lombok. Maka tiap tahun penanggalan Sasak tersebut, masyarakat Lombok selalu menyelenggarakan ritual Bau Nyale (menangkap Nyale).

Sejauh ini, dari tahun ke tahun, perhitungan waktu munculnya nyale selalu tepat dan sangat jarang meleset. Sebelum ritual inti bau nyale dilakukan, diawali dengan penentuan tanggal 20 bulan 10 penanggalan Sasak yang dilakukan oleh para pemangku adat Sasak yang berasal dari empat penjuru angin yakni, Timu’ (timur), Bat (barat), Lau’ (selatan) dan Daye (utara).

Untuk menentukan tanggal ini dilakukan ritual Mapan yakni melihat petunjuk pada sebuah buku semacam primbon (Jawa) yang disebut Papan Urige. Perhitungan ini dilakukan dengan cara tradisional. Masing-masing pemangku akan menghitung dengan caranya masing-masing dan setelah itu mencarikan titik temunya bersama-sama.

Selain itu, para pemangku adat yang telah turun temurun melakukan perhitungan waktu ini juga menggunakan tanda-tanda alam seperti gemuruh deru ombak yang lebih kuat dari biasanya, hujan angin disertai kilat yang menyambar dan petir bersahutan, yang dikenal dengan gerem genteng. Juga tanda-tanda alam lain berupa terlihatnya Bintang Tenggale yang posisinya kira-kira sama dengan penentuan hilal (menentukan waktu puasa pertama).

“Semakin kencang hujan angin turun maka semakin banyak nyale keluar. Namun jika waktu yang ditentukan itu tanpa hujan lebat dan angin kencang, nyale biasanya hanya sedikit,” kata Putria.***

 

Penulis: Nanik I TaufanEditor: Maskaes