Umum  

Lupakan Tambora, Letusan Rinjani Purba Jauh Lebih Dasyat

image_pdfSimpan Sebagai PDFimage_printPrint
clive-oppenheimer
Profesor Clive Oppenheimer dari Cambridge University, Inggris,

lombokjurnal.com

Letusan Gunung Rinjani purba yang dikenal sebagai Gunung Samalas, jauh lebih besar dari Krakatau dan Tambora. Kalau rekonstruksi tentang letusan Samalas dilakukan, peringatan 200 tahun Tambora, akan diganti dengan peringatan lebih dari 700 tahun letusan Samalas di Lombok.

Kisah letusan Rinjani purba itu, bermula dari para peneliti yang mengamati jejak abu dan beberapa serpihan kimia dari sebuah gunung api yang pernah meletus dengan dahsyat. Jejaknya itu terdapat pada lapisan es, baik di Kutub Utara maupun di Kutub Selatan. Temuan para ilmuwan itu dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences. Bayangkan, letusan tersebut disimpulkan yang terbesar dalam 7.000 tahun terakhir.

Semula, asal-usulnya membingungkan para glaciologists, vulkanologi, dan ahli iklim selama beberapa dekade. Hanya diketahui, ledakan misterius terjadi pada 1257, di abad ke-13. Luar biasa dahsyatnya, sehingga jejak kimiawinya terekam dalam es di Arktik dan Antartika. Pada Abad Pertengahan terdapat teks yang menceritakan tentang iklim yang mendadak mendingin dan panen yang gagal.

Baru Diketahui Biangnya

Baru kini para ilmuwan menemukan gunung berapi yang menjadi biang peristiwa tersebut. Jurnal sains, PNAS, tim internasional menunjuk pada Gunung Samalas di Pulau Lombok, Indonesia yang ini dikenal sebagai Gunung Rinjani. Gunung yang bernama Samalas yang kini “hampir tak tersisa dan hanya tinggal sisa letusannya” – sekarang lebih dikenal bernama Gunung Rinjani di Pulau Lombok. Rinjani dituding penyebab perubahan iklim mendadak di abad pertengahan untuk wilayah Eropa dan sekitarnya.

Tim ilmuwan mengaitkan jejak sulfur dan debu di es di kutub dengan data yang ditemukan di wilayah Lombok, termasuk unsur radiokarbon, tipe dan penyebaran batu dan abu, cincin pepohonan, dan bahkan sejarah lokal yang menyebut tentang runtuhnya Kerajaan Lombok di suatu masa Abad ke-13. “Buktinya sangat kuat dan menarik,” kata Profesor Clive Oppenheimer dari Cambridge University, Inggris, seperti dimuat BBC, 30 September 2013.
Kolega Clive Oppenheimer yaitu Profesor Franck Lavigne dari Pantheon-Sorbonne University, Prancis yang telah menghadap Gubernur Zainul Majdi baru-baru ini mengatakan, “Kami melakukan sesuatu yang mirip investigasi kriminal.”

Penelitian yang mirip ‘investigasi kriminal’ itu awalnya tak diketahui tersangkanya. Hanya berbekal hari ‘pembunuhan’ dan jejaknya dalam bentuk geokimia di inti es. “Itu memungkinkan kami melacak gunung yang bertanggung jawab,” kata Franck Lavigne.
Meskipun, para peneliti lain menduga perubahan iklim mendadak dikarenakan letusan gunung api Okataina di Selandia Baru dan El Chichon di Meksiko, namun bukti lain tetap mengarah Samalas menjadi kandidat kuat ‘pelakunya.’ Menurut Clive, letusan dan erupsi Samalas juga dikait-kaitkan dengan sejarah lokal yaitu jatuhnya Kerajaan Lombok sekitar abad 13.

Seperti dimuat di National Geographic (01/10/13), terdapat teks dalam bahasa Jawa, Babad Lombok, yang menceritakan sebuah erupsi besar dari gunung api raksasa bernama Samalas yang menciptakan sebuah kaldera atau kawah. Ledakan 1257 yang semula dikaitkan dengan sejumlah gunung di Meksiko, Ekuador, dan Selandia Baru, gagal memenuhi prasyarat karbon dating dan geokimia. Hanya Samalas yang cocok.

Bila hasil rekonstruksi benar, maka Indonesia memiliki 4 gunung api dengan letusan dan erupsi maha dahsyat yang mempengaruhi iklim dunia, yaitu gunung Toba, gunung Tambora, gunung Krakatau. Dan kini yang terdasyat, gunung Samalas.

Rayne Qu (Bahan BBC/National Geographic)