Seni  

50 Tahun Teater Imago, dari Anak-anak Hingga Emak-emak Bahagia

15 Emak-emak membaca puisi di gedung tari eks Taman Budaya Sumut. Mereka berteriak, menangis, marah, bersorak dan tepuk tangan dan mereka terlihat bahagia saat berekspresi di acara 50 Tahun Teater Imago, Sabtu (15/01/22) / Foto: Ayb
image_pdfSimpan Sebagai PDFimage_printPrint

Merayakan usia ke 50 tahun, Teater Imago mengajak emak-emak baca puisi, dan mereka mengekspresikan puisi dengan bahagia

MEDAN.lombokjournal.com ~ Ada 15 Emak-emak membaca puisi di gedung tari eks Taman Budaya Sumut.

Mereka berteriak, menangis, marah, bersorak dan tepuk tangan. Mereka terlihat bahagia saat berekspresi di acara 50 Tahun Teater Imago yang salah satu acaranya adalah “Emak-emak Baca Puisi”, Sabtu (15/01/22).

Acara heboh itu mampu menghipnotis para perempuan ini sehingga tetap duduk menyaksikan acara demi aca yang digelar dalam  acara bertajuk “Upah- upah” itu.

salah satu emak baca puisi dalam 50 tahun Teater Imago       Teater Imago merayakan 50 tahun

Di antara pembaca adalah Darmaila Wati yang menangis saat membacakan puisi “Luka Sungai” Karya Ayub Hamzah Fahreza. Juga ada Patia Rasima yang membawakan “Sunarti Gadis Tembung” karya Suratman Surazt.

Sebelumnya acara dimulai dengan mengarak tumpeng oleh anak-anak Teater Imago, Teater Sasude dan Teater Rumah Mata. Mereka mengelilingi TBSU dari jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Jasa Said, Jalan IAIN, Sutomo dan kembali ke TBSU.

Lalu anak-anak teater Imago bersama Ayub Badrin dan Dijah naik ke atas panggung. Di panggung terlihat dua benda dibalut perban tergantung. Seperti seperti mummi atau kepompong.

BACA JUGA: Ultah Teater Rumah Mata, Akun Medson dan Instalasi

Lalu akto-aktor cilik itu mulai membungkus dirinya atau kedua orang yang seperti “orangtua” itu yang melakukannya. Wajah mereka dibungkus perban.

Di saat itu pula, emak-emak membacakan puisinya. Wajah-wajah diperban, di belakang mereka mulai bergerak perlahan. Sesekali memainkan sarung.

Ayub Badri dalam akun FB nya menulis seperti ini :

50 Tahun Teater Imago, “Upah Upah”

Mengapa pilihan kami untuk merayakan 50 Tahun Teater Imago, “Upah-upah”? Padahal 50 tahun adalah perayaan emas. Benda yang dianggap gemerlap. Yah, Upah-upah adalah tradisi. Tradisi orang Melayu dan Mandailing.

 Kedua suku atau puak ini berada di Sumut, tempat kami tinggal, bernafas, hidup, berkelindan, jungkir balik berkesenian. Kami merasa saat ini Upah-upah lah yang paling dekat dengan situasi saat ini.

Kemerosotan nilai nilai, wabah, kematian yang terus mengintai, kepekaan yang kian tumpul, kebudayaan yang kian tergerus, kesenian yang dijepit, dianggap sampah dan harus disingkirkan, Gedung kesenian kita yang sekarat, dan seabrek persoalan yang perlu di upah-upah.

Upah-upah adalah tradisi dimana seseorang atau kelompok harus dipanggil, dikembalikan, dipulangkan semangatnya. Agar keburaman menjadi cerah kembali, agar kelesuan menjadi gairah kembali, agar aura yang redup kembali bercahaya.

 Imago adalah benih yang baru keluar dari cangkang kepompong. Benih yang sekian lama berada dalam cangkang, dalam rahim bumi, yang bergerak ingin keluar, ingin muncrat, ingin menyembul, ingin terus tumbuh hingga menjadi sesuatu.

 Seperti kepompong yang kemudian menjadi kupu-kupu, ingin bebas terbang, menghirup spora dan menyemai, menjadi sesuatu lagi, menjadi berguna juga tidak berguna tidaklah menjadi penting.

 Dia ada, siapa pun dia, Tuhan telah menciptakannya, telah memberkahinya dengan kehidupan, meniupkan ruh dan semangat yang menjadi modal untuk bergerak untuk mencari makna.

 Maka sesuatu yang baru keluar dari cangkang itu, benih itu, harus di upah-upah, agar menjadi benih yang baik, benih yang bening, benih yang akan menyemai kehidupan dengan benar dan akhirnya memberikan setitik kebahagiaan bagi mahkluk di dunia ini.

Itulah kami, Imago…

 Lantas apa relevansinya dengan anak-anak yang dibungkus perban? Jika pendekatannya adalah kepompong dan upah-upah. Boleh jadi anak yg diperban adalah Imago di dalam kepompong. Bergerak ingin keluar, ingin melihat cahaya dan terbang.

Pada adegan lain, seniman yang paling tua yakni Handono Hadi memotong tumpeng dan memberikannya pada serang “ibu”. Seorang ibu inilah yang kemudian menyuapi anak-anak.

BACA JUGA: Wagub NTB Launching Sekolah Sehat, Tanamkan Cinta Ligkungan

Juhendri Chaniago (Budayawan) mengatakan pemotongan tumpeng adalah tatacara adat dalam kebudayaan. Potong tumpeng tidak boleh dilakukan dengan tidak serius.

“Menyuapi nasi tumpeng pada anak-anak itu sebuah simbol yang mengandung makna agar anak-anak menjadi penerus kebudayaan yang serius dan baik,” ujar Hendrik.

Acara berakhir dengan diskusi Teater. Diskusi menyimpulkan perlunya Kota Medan atau Sumut memiliki gedung kesenian. (aba)

Berikut Adalah Nama – nama Emak-emak Baca Puisi.

-Ifeh Boreg

-Nana Marlina

-Ika Yovita

-Cory Marlia

-Lilis Tarigan

-Rosnani Lubis

-Dedek Wanti

-Darmaila Wati

-Atien Sukatendel

-Patia Rasima

– Seiska Handayani

– Yutha Nalurita

– Marina Novianti

– Lia Amri ***

 

 

 

Penulis: AybEditor: Iwaga