Warga Desa Sapit Akan Gelar Tradisi Pembadak Pengkayak Dalam Ritual ‘Bebubus Batu’, Seperti Apa ?

Tradisi BEBADAK PENGKAYAK merupakan ritual yang dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan untuk melaporkan hasil panen kepada sang pencipta atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga masyarakat bisa menikmati hasil atas kehendaknya (Foto; Razak/Lombok Journal).
image_pdfSimpan Sebagai PDFimage_printPrint

Tujuannya  untuk meminta kepada sang pencipta jagat raya, agar segala jenis tanaman masyarakat terhindar dari serangan hama dan penyakit guna mengharapkan hasil yang melimpah

OMBOK TIMUR.lombokjournal.com — Warga Desa Sapit, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur (Lotim) akan menggelar acara adat, yakni tradisi bebadak pengkayak dalam beberapa hari kedepan.

Tradisi Bebadak Pengkayak merupakan ritual yang dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan untuk melaporkan hasil panen kepada sang pencipta atas rahmat dan hidayah-Nya,  sehingga masyarakat bisa menikmati hasil atas kehendaknya.

“Hari Rabu, tanggal 3 Oktober 2018, acara bebadak pengkayak dalam budaya bebubus batu,” ucap salah seorang pemuda setempat, Jannatan, kepada lombokjournal.com, Minggu (30/09).

Dikatakan Jannatan, bahwa tradisi bebadak pengkayak ini bagian dari ritual Bebubus Batu yang dilakukan masyarakat Desa Sapit sejak zaman dahulu.

“Bebubus batu adalah sebuah tradisi yang di lakukan oleh masyarakat Dusun Batu Pandang, Desa Sapit Kecamatan Suela sejak ratusan tahun silam,” ingatnya.

Ritual bebubus batu dilakukan dua kali dalam setahun. Ritual pertama dilakukan selesai musim tanam dengan nama Bubus Batu. Tujuannya  untuk meminta kepada sang pencipta jagat raya, agar segala jenis tanaman masyarakat terhindar dari serangan hama dan penyakit guna mengharapkan hasil yang melimpah.

Sementara, ritual kedua dilakukan selesai panen. Nah, pada ritual inilah dinamakan Badak Pengkayak, yakni melaporkan hasil panen kepada sang pencipta jagat raya.

“Ritual bebubus batu bebadak pengkayak cukup berbeda dengan periode penanaman. karena, acara periode ini di lakukan dengan hiburan mulai dari persiapan hingga menuju kampu tempat ritual dilakukan,” ungkap Jannatan.

Lebih lanjut Jannatan menjelaskan, ritual bebubus batu di pimpin oleh pemangku yang diiringi oleh kiyai, penghulu, tokoh masyarakat dan seluruh lapisan masyarakat dengan menggunakan pakaian khas Desa Sapit.

Masing-masing membawa dulang atau nare kayu, yakni wadah yang dihiasi beberapa jenis makanan serta dua pasang ayam yang digunakan untuk melaksanakan ritual.

Jannatan menambahkan, persiapan ritual ini selama lima hari sebelum puncak acara. Setelah itu, ancang-ancang persiapan dengan jejeran perempuan dan Laki-laki yang dipimpin oleh pemangku adat bersiap-siap untuk melanjudkan acara.

Para perempuan yang sudah siap dengan pakaian khas, kain Sangkep sebagai kemben dan kain Jegek sebagai baju yang kemudian mengambil peran masing-masing menjunjung dulang kayu yang sudah dihiasai berbagai macam jenis makanan.

Pihak laki-laki mengiringi setiap langkah dengan tetabuhan gamlean menuju kampu bebubus batu,” katanya.

Setiba di kampu, sesajenpun mulai dijejerkan, kemudian diikuti dengan barisan warga dan tamu undangan menempati ruang kosong, duduk rapi mengelilingin sesaji, pemotongan sepasang ayam kampung oleh kiyai dan tokoh masyarakat.

Pembacaan daun lontar dengan menyebut Nabi Adam dan Nabi lainya, juga nama nama para wali kekasih Allah, mengirimkan Alfatehah pada setiap sebutan. Hal tersebut bertanda acara ritual bebubus batu sudah mulai.

Zikir pun dimulai dengan dibimbing oleh kiyai desa, yang kemudian sesaji di sebar ke tiga titik yang sering disebut dengan sesampang. Titik pertama ditaruh sekitar 200 meter dari kampu. lokasi itu sering disebut dengan batu Pajeng atau Payung.

“Lokasi batu payung ini sebenarnya sejenis batu dolmen yang pada zaman megalitikum dijadikan tempat suci dan tempat penguburan mayat,” tutur Jannatan.

Lokasi kedua ditaruh ditengah sawah, ditengah tanaman padi, sebagai bentuk simbol ritual keselamatan tanaman. Sementara sesampang terakhir, ditempatkan didepan kampu bebubus batu sebagai tugu kampung.

“Kampu ini sendiri sebenarnya bukan sebuah makam atau tempat keramat. Namun di kampu ini ada sebuah menhir, semacam tugu batu,” terang dia.

Razak