Rasa syukur kepada Sang Pencipta atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga masyarakat bisa menikmati hasil pertanian
LOMBOK TIMUR.lombokjiurnal.com — Warga Desa Sapit di Lombok Timur hingga saat ini masih mempertahankan dan melestarikan adat istiadat dan budaya warisan leluhurnya, di tengah arus perubahan zaman yang semakin modern.
Budaya tersebut salah satunya adalah tradisi Bebadak Pengkayak dalam ritual Bebubus Batu. Tradisi ini dilakukan setiap tahun pasca panen hasil pertanian.
Tujuannya, yakni melaporkan hasil panen sebagai rasa syukur kepada Sang Pencipta atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga masyarakat bisa menikmati hasil pertanian.
Acara tradisi Bebadak Pengkayak ini kembali digelar masyarakat, Rabu (03/10) pukul 14.00 Wita, di Dusun Batu Pandang Desa Sapit Kecamatan Suela, Lombok Timur.
Tradisi tersebut berlangsung di tempat khusus, yang dinamakan Kampu, begitu masyarakat menyebutnya.
Pantauan lombokjournal.com, ritual dipimpin oleh Pemangku, yang diiringi oleh Kiyai, Penghulu, tokoh masyarakat dan seluruh lapisan masyarakat menggunakan pakaian khas Desa Sapit.
Di tempat itu sesaji pun mulai dijejerkan. Di antaranya, buah pisang dan jenis makanan tradisional lainnya.
Ada juga berupa dulang nare kayu, yakni wadah yang dihiasi beberapa jenis makanan. Kemudian warga dan tamu undangan menempati ruang kosong, duduk rapi mengelilingin sesaji.
Selain itu, dilakukan pemotongan sepasang ayam kampung oleh kiyai dan tokoh masyarakat setempat.
Selanjutnya sesaji tersebut disebar oleh pemuda setempat keempat titik yang sering disebut dengan sesampang.
“Sesampang di pasang di empat titik, yaitu di Batu pajeng, Pancoran, Batu Pangan dan di Kampu,” kata Jannatan, pemerhati budaya Desa Sapit, Rabu (03/10).
Pertama, sesampang atau sesaji ditaruh sekitar 200 meter dari kampu. Lokasi itu sering disebut dengan batu Pajeng atau Payung.
“Lokasi batu payung ini sebenarnya sejenis batu dolmen yang pada zaman megalitikum dijadikan tempat suci,” ungkap Jannatan, disela-sela acara.
Lokasi kedua ditaruh di tengah sawah, di tengah tanaman padi, sebagai bentuk simbol ritual keselamatan tanaman. Sementara sesampang terakhir, ditempatkan di depan kampu bebubus batu sebagai tugu kampung.
“Di kampu ini ada sebuah menhir, semacam tugu batu,” tuturnya.
Selang beberapa menit saat setelah sesaji disebar, diambil kembali dan kemudian disantap secara bersama-sama dari segala macam jenis makanan. Tentunya, dimulai dengan zikir yang dipimpin oleh seorang Kiyai.
Sebagai gambaran, sebelum menuju kampu, yang paling depan dan iringan langkah pertama kali dilakukan oleh pemangku adat sambil membawa bokor. Kemudian diikuti oleh barisan perempuan dan laki-laki dengan berjalan kaki.
Tak seorang pun yang boleh mendahului langkah pemangku adat sepanjang perjalanan, kecuali sesudah mencapai kampu.
Razak