Dalam Pameran Oxygen Poetry, terlihat jelas karya Bli Mantra tak hanya berhenti pada penampilan visual, tetapi bergerak lebih jauh ke ranah proses

MATARAM.LombokJournal.com ~ Seniman Mantra Ardhana mangadakan pameran tunggal atau Solo Visual Art Exhibition bertajuk Oxygen Poetry di R-play Lombok, (07/09 lalu). Berikut pandangan Sutradara Teater dari Bengkel Aktor Mataram Kongso Sukoco, saat sesi Artist Talk, Senin (08/09/25).
Pertemuan antara seni dan teknologi adalah sebuah peristiwa kultural yang terus menantang cara kita memahami identitas seniman dan bentuk karya seni. Dalam konteks Nusa Tenggara Barat, Bli Mantra Ardhana dilihat sebagai salah satu perupa yang lebih maju dalam melibatkan kecerdasan buatan (AI) dalam proses kreatifnya dibandingkan banyak perupa lain di lingkungannya.
Keberanian Bli Mantra untuk menjadikan teknologi sebagai bagian dari proses kreatif adalah sebuah langkah penting. Tapi di balik itu terdapat hal yang lebih mendasar,: persoalan identitas seniman.
Identitas seniman tidaklah statis, melainkan hasil dari serangkaian interaksi, pengalaman, dan faktor-faktor historis maupun kultural. Ia dibentuk oleh tradisi, pendidikan, ruang sosial, bahkan oleh teknologi yang diakrabi.
Dalam Pameran Oxygen Poetry, misalnya, terlihat jelas bagaimana karya Bli Mantra tidak hanya berhenti pada penampilan visual, tetapi bergerak lebih jauh ke ranah proses, mimpi, dan dialog dengan bawah sadar.
Karya-karyanya dalam pameran ini menghadirkan bentuk-bentuk bayi, bentuk organisme yang hidup. Semacam metafora atas proses kelahiran gagasan yang tak pernah final.
- Identitas Seniman dan Jejak Teknologi
Jika kita menoleh ke masa lalu, pelukis surialis Salvador Dali menciptakan karya-karya dengan imajinasi dan teknik manual murni, tanpa bantuan teknologi. Di sisi lain, Bli Mantra dalam pameran ini memilih melukis surialis figuratif dengan bantuan teknologi, khususnya AI. Pertanyaan yang muncul adalah: mana yang lebih baik?

Jawabannya, barangkali, bukan soal lebih baik atau lebih buruk. Filsafat seni mengajarkan kita bahwa nilai karya tidak semata ditentukan oleh instrumen, melainkan oleh kediriannya—oleh kesadaran, intensi, dan pesan yang hendak dihadirkan seniman kepada publik. Teknologi hanyalah medium baru, sebagaimana kuas dan kanvas merupakan medium masa lalu. Yang menentukan tetaplah visi seniman, bagaimana ia mengolah teknologi menjadi bahasa visual yang khas.
Dengan demikian, kita tidak bisa menempatkan Dali di satu kutub dan Bli Mantra di kutub lain secara hierarkis. Mereka berdiri sejajar dalam jalur sejarah seni: Dali melahirkan bahasa visual dari keterampilan manual, sementara Bli Mantra melahirkan bentuk melalui simbiosis antara imajinasi manusia dan mesin.
- Bentuk sebagai Proses, Bukan Produk Akhir
Sayangnya, diskusi seni sering kali berhenti pada produk akhir: bentuk rupa yang tampak oleh mata. Padahal, sebagaimana terlihat pada karya Bli Mantra, bentuk bukanlah titik akhir, melainkan pintu masuk ke sebuah proses.
Proses inilah yang penting: semangat pencarian, mimpi bawah sadar, bahkan dialog dengan organisme hidup yang tak bisa dipisahkan dari tubuh manusia. Bentuk bayi yang lahir dalam karya Bli Mantra, misalnya, bukan sekadar estetika visual, tetapi simbol dari sesuatu yang terus tumbuh, belum selesai, dan selalu terbuka bagi interpretasi.
Dalam kerangka filsafat fenomenologi, bentuk itu adalah fenomena yang menyingkap ada (being) di balik rupa, semacam peristiwa yang menuntut keterlibatan pembacanya.
Di titik ini, seni Bli Mantra menghadirkan sebuah tawaran filosofis: seni bukanlah barang mati, melainkan organisme hidup yang berdialog. Sebagaimana teater yang dipentaskan di panggung memiliki kualitas organisme hidup yang berbeda dari teater di video, begitu pula karya seni visual.
Dalam teknologi AI yang sering dituduh mengasingkan, Bli Mantra dalam pameran ini justru menghadirkan kembali vitalitas organisme.
- Teknologi sebagai Tantangan Estetik
Dalam sastra, Putu Wijaya pernah menegaskan bahwa kemunculan teknologi adalah tantangan besar. Banyak penulis baru dengan bantuan teknologi tiba-tiba mampu melahirkan karya yang lebih maju dari generasi pendahulunya. Namun, yang sejatinya diuji bukanlah kecanggihan teknis, melainkan apa yang ingin disampaikan oleh karya itu.
Seni adalah dialog. Jika karya hanya berhenti pada kecanggihan teknis, ia akan jatuh menjadi simulasi belaka. Tapi jika teknologi dipadukan dengan visi, dengan kedalaman pengalaman, maka lahirlah sesuatu yang sophisticated, bukan karena rumit, melainkan karena berakar pada kesadaran. Kecanggihan sejati bukanlah efek, melainkan makna.
Dalam kerangka inilah saya membaca karya Bli Mantra. Sophistication dalam karyanya tidak sekadar karena ia menguasai AI, melainkan karena ia mampu menempatkan teknologi sebagai perpanjangan dari organ tubuh dan pikiran. Teknologi tidak menjadi mesin mati, tetapi bagian dari organisme hidup yang berdialog dengan penonton.
- Puisi Visual, Musik Visual, dan Ranah Estetika Baru
Ketika Bli Mantra berbicara tentang organic mind, kita seperti diingatkan bahwa seni memiliki kapasitas untuk melampaui batas disiplin. Puisi visual, musik visual, hingga teater digital—semuanya berangkat dari ranah visual, tetapi sekaligus mencairkan sekat-sekat genre.
Filsafat seni kontemporer menyebut fenomena ini sebagai intermediality—persilangan medium yang melahirkan ruang estetik baru. Di sinilah letak keberanian Bli Mantra: ia tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga memahami bahwa teknologi membuka ruang dialog lintas disiplin. Seni tidak lagi berada dalam kerangkeng genre, melainkan menjadi organisme cair yang terus tumbuh.
- Refleksi Penutup: Seni sebagai Dialog Hidup
Pada akhirnya, karya Bli Mantra mengajarkan kita bahwa seni adalah organisme hidup yang bernafas, berdialog, dan menantang kita untuk berpikir ulang tentang identitas, bentuk, dan teknologi. Identitas seniman bukanlah sesuatu yang sudah jadi, tetapi proses yang terus dibentuk. Bentuk karya bukanlah tujuan akhir, tetapi cermin dari semangat pencarian. Teknologi bukanlah ancaman, melainkan kesempatan untuk memperluas kemungkinan dialog.
Sebagai pengagum Bli Mantra, saya melihat kelebihannya bukan sekadar pada penguasaan teknologi, melainkan pada kemampuannya menempatkan teknologi di dalam kerangka visi. Ia tidak hanya bisa, tetapi juga memahami.
Tidak hanya memanfaatkan, tetapi juga menghidupkan. Karya Bli Mantra tampak sophisticated: karena ia melahirkan organisme estetik yang berdialog dengan kita, para penikmat karya-karyanya
#Akuair-Ampenan, 16-09-2025