Merger 60 PD (perusahaan daerah) BPR (Bank Prekreditan Rakyat), tujuannya makin menggerakkan sektor riil masyarakat. “Kalau BPR bergerak sendiri-sendiri, selalu kalah menghadapi persaingan,” kata Kepala Biro (Karo) Ekonomi Pemprov NTB, DR H Manggaukang Raba.
Rencananya pada bulan Juni 2016, seluruh PD BPR yang di bawah naungan pemerintah daerah seluruh NTB akan dimerger. Sebanyak 60 Kantor Cabang BPR yang selama ini statusnya masih Perusahaan Daerah (PD) akan dilebur menjadi Perseroan Terbatas (PT).
Peningkatan target BPR sebagai penggerak ekonomi rakyat, harus dimulai dengan penguatan kelembagaannya sebagai bank prekreditan. Dengan dilakukan merger, aset yang dimiliki seluruh PD BPR yang mendekati Rp1 triliun itu akan lebih optimal berperan membangun ekonomi kerakyatan.
“Itu akan menjadi BPR di NTB yang asetnya paling besar ,” jelas Karo Ekonomi Pemprov NTB, H Manggaukang Raba.
Tahun lalu, target BPR se NTB dalam menggerakkan ekonomi rakyat atau sektor riil, sudah mencapai 60 persen. Untuk tahun 2016, Manggaukang menetapkan target mencapai 75 persen. Bandingkan dengan PT Bank NTB yang hanya mencapai 18 persen.
“Tiap tahun penerimaan daerah dari seluruh BPR baru sekitar Rp12 milyar,” kata Manggaukang. Memang devidennya belum sebesar Bank NTB yang sudah mencapai Rp18 miliar. Namun bedanya, deviden Bank NTB yang lebih besar itu tidak langsung masuk ke kas daerah, melainkan dikembalikan ke Bank NTB dalam bentuk penyertaan modal.
Baik PT Bank NTB maupun PD BPR kepemilikan sahamnya sama, yaitu dari Pemprov dan Pemkab/Pemkot seluruh NTB. Bedanya, yang disasar BPR terutama debitur kecil sampai menengah.
Evaluasi Kinerja BPR
Sejak menduduki pos Karo Umum awal tahun 2015, mengevaluasi kinerja perusahaan milik daerah menjadi sasaran Manggaukang. Salah satunya adalah kinerja BPR yang di seluruh NTB mempekerjakan 600 pegawai.
Dengan menggandeng kalangan akademisi dari Universitas Mataram, evaluasi pertama yang dilakukannya dengan mengadakan BPR Award. Untuk pertama kalinya, pada ulang tahun NTB, 17 Desember 2015, BPR Award diberikan pada BPR yang kinerjanya terbaik. Dasar penilaian kinerja itu juga hasil pengawasan yang dilakukan pihak Otoritas Jasa keuangan (OJK).
“Ini untuk memacu masing-masing BPR berlomba meningkatkan kinerja,” ujar Manggaukang. Waktu itu, kinerja yang terbaik diraih BPR Sumbawa, disusul BPR Lombok Tengah, kemudian BPR Lombok Barat.
Selain melibatkan kalangan akademisi, Manggaukang mendapat masukan dari pihak OJK di Mataram. Ditambah tekadnya mengoptimalkan peran BPR dalam menggerakkan sektor riil, maka mulai dipikirkannya terobosan yang selain memperkuat posisi BPR juga akan memperbesar kontribusinya dalam pergerakan ekonomi rakyat.
Manggaukang lantas melakukan studi banding di Jawa Timur. Ternyata PD BPR di seluiruh Jawa Timur (kecuali Malang) setelah dimerger menjadi Bank UMKM, kontribusinya makin optimal. “Pihak OJK setuju merger BPR. Saya mau besarkan BPR agar kontribusinya juga makin besar membangun ekonomi kerakyatan,” kata Manggaukang.
Agunan Usaha
Manggaukang berharap, semua orang punya akses ke BPR. Tapi selama ini masyarakat sering kesulitan terkait syarat penyediaan agunan. Padahal, seharusnya BPR mengembangkan paradigm baru, agunan yang diperlukan yaitu usaha riil debiturnya. “Agunan itu seharusnya usaha riil orang yang akan diberikan kredit. Itu agunan sesungguhnya,” katanya.
Paradigma itu mulai dicoba di Sumbawa yang menyasar beberapa usaha yang diberikan kredit hingga Rp100 juta. Percobaan itu ternyata hasilnya cukup baik. Demikian juga petani jagung yang membutuhkan biaya produksi pada musim tanam. Kredit hingga Rp7 juta yang diberikan tidak ada yang macet.
Hampir seluruh kabupaten yang mencoba, ternyata hasilnya menggembirakan. Meski tetap harus memperhatikan prinsip kehati-hatian, paradigma yang menekankan usaha riil itu harus dikembangkan. “Asal tahu siapa orangnya, dan benar-benar nyata usahanya, ” tutur Manggaukan yang pernah menjadi Kabag Humas dan Kabid Perencanaan Sosial Bappeda NTB itu.(Ka-Es)