Seni  

Mantra Ardhana, BERANI MELAWAN ‘KEKALAHAN’

image_pdfSimpan Sebagai PDFimage_printPrint
Mantra Ardhana

MATARAM.lombokjournal.com

Bulan Agustus 2020, Nyoman Mantra Ardhana jatuh sakit, stroke. Sekitar dua minggu ia terbaring di rumah sakit, dan selama itu memorinya menguap. Tapi Mantra tidak menyerah, ia justru menyelami dengan intens dan mengungkapkan ‘masa gelap’ itu dalam karya-karyanya.

 

Dalam goresan cat air dengan media kertas gambar, jumlahnya mencapai ratusan, yang Sebagian besar sudah dipostingnya melalui akun Facebook, Mantra mengaku menjalani fase baru dalam ekspresi rupa.

Tidak seperti lazimnya (sebelumnya) ketika  ia berhadapan dengan media kanvas, ia selalu membua ruang jadi penuh. Seolah-olah hendak ditegaskan,  ekspresi itu baru disebut selesai saat media itu tak menyisakan ruang kosong.

Tapi di atas kertas, kita temui banyak ruang kosong. Tentu, bukan berarti ia membuat ‘corak’ baru. Siapa pun yang akrab dengan lukisan-lukisannya akan segera mengenali sosok, warna termasuk tipografi yang selalu muncul.

Melalui media kertas ia menyelami masa-masa ‘kekalahannya’, waktu jiwanya berontak dengan keinginan-keinginan, ternyata ia tidak mampu menunaikan hasrat itu. Tubuhnya tidak memenuhi keinginannya.

“(akhirnya) Saya kembali ke dasar, ke elemen-elemen sederhana, pikiran-pikiran sederhana, yang tidak bisa didefinisikan lagi,” kata Mantra.   

Seperti tipografi yang selalu muncul, ia hendak mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak memahaminya. Tipografi merupakan simbol yang menjadi tanda, yang mestinya mengantarkan pengertian, justru Mantra sendiri yang melukisnya tapi tak menangkap maknanya.

Bentuk huruf simbolis itu, seperti halnya bentuk, sosok dan warna lainnya, merupakan lukisan perasaan yang tidak dimengertinya.

“Saya merasakan perasaan tapi saya sendiri tidak tahu perasaan apa itu,” kata Mantra.

Daya hidup

NYOMAN MANTRA ARDHANA, lahir di Cakranegara 22 Agustus 1971, pernah mengalami masa pahit masa kecilnya. Ia lahir normal seperti bayi laki-laki lainnya. Saat beranjak besar, ia harus menghadapi kenyataan pahit, mengalami kelumpuhan kedua kakinya. Ia mengalami cacat kedua kaki, dan membuatnya harus selalu di kursi roda hingga kini.

Beranjak dewasa, Mantra mulai menemukan dirinya dan bisa mengatasi keterbatasannya.

“Saya tidak caat, saya hanya berbeda dengan orang lain,” kata Mantra tanpa perasaan inferior.

Mantra kerap mengatakan bahwa ia harus selalu bergerak, tumbuh dan ia bukan orang mati. Dalam  percakapan ia berterus terang tentang kekurangan tubuhnya, tapi ia yakin bisa mengatasinya.

Ia menyadari bahwa ia tidak bisa lari, tapi bukan berarti ia tidak bisa bergerak maju. Mantra mengaku harus menemukan equal dari tindakan saat dihadapkan dengan keterbatasan.

Karena itu, Mantra tetap berkarya beberapa saat setelah sembuh dari sakitnya, dan menyelami memorinya yang sempat menghilang.

Mantra belajar banyak dari ayahnya, Wayan Pengsong, satu-satunya perupa Lombok yang mewarnai peta seni rupa nasional. Ayahnya mengajarkan perjuangan, keberanian menghadapi keterbatasan, ketegasan dalam sikap dan prinsip, dan tanggung jawab pada kehidupan termasuk keluarga.

Rr