Maestro Tari , Amaq Raya Pernah Menari di Depan Dua Presiden

Amaq Raya, maestro tari dari Lenek yang mampu menegaskan perbedaan mendasar dari dasar-dasar gerak tari Sasak dengan Bali / Foto: Nanik IT

Amaq Raya, Sang Maestro dari Lenek, Lombok Timur, ingin terus menari hingga tubuhnya tak mampu bergerak lagi, mungkin ia satu-satuya seniman Lombok yang pernah menampilkan karyanya di depan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Nanik I Imtihan menuliskan dedikasi Amaq Raya sebagai seniman tari tadisi

MATARAM.lombokjournal.comAmaq Raya hanyalah lulusan sekolah dasar (Sekolah Rakyat). Namun dari keterbatasan hidup dan ilmu pengetahuan formil itu, justru mengajarkan dan menuntun mereka melahirkan karya-karya yang original, yang materinya diolah dari apa yang ada di sekitar mereka.

Maestro Tari Sasak
Amaq Raye

Tari-tari tradisi karya Amaq  Raya mampu menegaskan perbedaan mendasar dari dasar-dasar gerak tari Sasak dengan Bali.

Tari tradisi Sasak itu juga belum dipatenkan, langgam dan ragam geraknya, dan ini bisa dimulai dari Amaq Raya. Dari kacamata akademisi Amaq Raya dinilai mampu menemukan ide dan gagasan dengan cara yang sangat sederhana.

“Amaq Raya mampu menemukan ide dan gagasannya dengan cara yang sangat sederhana,” ungkap, Dr. Salman Alfarisi, seniman lulusan ISI Yogyakarta yang kini mengajar di Universitas Sultan Idris Malaysia.

Dalam salah satu eksplorasi karya Amaq Raya misalnya, geraknya mencoba melakukan dan menirukan gerak-gerak burung dimana bisa jadi tanpa ia sadari muncul kesadaran untuk melakukan stilisasi gerak burung tersebut atau mengkopi gerakan persis seperti burung.

BACA JUGA: Wayang Sasak, Media Awal Penyebaran Islam di Lombok

Inilah salah seorang maestro tari tradisi Sasak yang mengabdikan dirinya dalam dunia kesenian hingga usianya sepuh.

Siang itu, di berugak rumah sederhananya, kepala, tubuh dan tangannya bergerak, melenggok indah ketika ia bicara. Mata sepuhnya bersinar, berbinar tatkala ia mengisahkan setiap gerakan tari yang diciptakannya.

Amaq Raya, seniman tari tradisi yang menghabiskan hampir seluruh bagian hidupnya untuk berkarya. Lahir dan besar di Desa Lenek, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Amaq Raya yang memiliki nama asli Loq Saleh ini tumbuh dalam lingkungan yang dekat dengan kesenian.

Bagaimana tidak, selain kampung halaman tempatnya tinggal adalah tempat lahirnya seniman-seniman tradisi, ayahnya pun adalah seorang seniman ternama di desanya. Itulah yang kemudian membuatnya menjadi seniman serba bisa.

Sepanjang hidupnya, Amaq Raya tidak pernah menjalani masa sekolah selayaknya anak-anak lain apalagi sampai menimba ilmu seni secara formal, sebab ia hanyalah lulusan sekolah rakyat. Ia juga tidak berguru kesenian secara intensif (meski ia memiliki guru bernama Amaq Tahim, seniman tradisi di desa itu).

Ia justru banyak belajar mengolah bakat seni yang diwarisi dari sang ayah dengan melakukan pengamatan dan mengikuti pertunjukan berbagai seni tradisi ke sana kemari, dari satu desa ke desa lainnya bersama sang ayah dan kelompok keseniannya.

Sejak muda, Amaq Raya dikenal sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan kesenian tradisi seperti tari tradisi Gandrung, teater tradisi Cupak Gurantang, wayang Sasak. Tidak itu saja, waktu dan pengalaman yang menempanya membuat intuisi seninya terasah tajam.

Ia lalu menciptakan berbagai tari tradisi yang rohnya ia ambil dari pengamatannya pada apa yang terjadi di sekitarnya juga kejadian-kejadian alam semesta yang sempat terpotret olehnya. Sumber karya Amaq Raya adalah alam semesta dan jagat raya.

BACA JUGA: Wagub Sitti Rohmi Mengaku Belajar Dari Siswa SLB

Bahkan dari gerak dan perilaku seekor burung yang tengah mandi pun akhirnya menginspirasinya untuk berkarya. Dari sinilah karya tari tradisi Gagak Mandiq lahir.

 “Saya belajar gerakan-gerakan tari itu dari alam yang ada di sekitar saya,” ujar Amaq Raya.

Tahun 1993 adalah salah satu momentum yang paling berharga baginya ketika ia mendapat kesempatan untuk menggelar karya tari tradisi Gagak Mandiq di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta dalam program Maestro yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Ia menikmati hidupnya dengan terus berkarya, bahkan hingga saat usianya sepuh kini. 

Beberapa karya tari tradisi lain yang diciptakannya Tari ‘Pidata’, tari ‘Pakon’, tari ‘Kembang Jagung’. Ia juga menciptakan gending ‘Semar Geger’, gending ‘Pemban Selaparang’, dan lainnya.

Karya-karya tarinya memiliki kekuatan tersendiri yang belum tentu dimiliki oleh koreografer lain. Ia melahirkan karya yang merupakan perpaduan wiraga (gerak raga) dan wirasa (gerak jiwa). Baginya, menari bukan semata gerakan raga, melainkan sekaligus menggerakkan jiwa sehingga melahirkan karya seni bercita rasa dan bernilai tinggi.

Ketenaran namanya sebagai seniman tradisi yang sangat aktif membuat ia kerap diundang untuk mengisi acara-acara penting di Nusa Tenggara Barat bahkan acara-acara kenegaraan. Kebanggaan itu diungkapkan Amaq Raya seperti ketika tampil di depan Presiden Soekarno di Bali tahun 1957.

Tidak itu saja, pada kunjungan Presiden Soekarno di Lombok tahun 1958, ia juga tampil menarikan tari-tari tradisi. Lalu pada tahun 1990 ia tampil di Istana Merdeka di depan Presiden Soeharto.

Pada tahun 1988, ia memperkenalkan berbagai kesenian tradisi Lombok yakni Cepung, Kecimol, Peresean dan tari gandrung, berkeliling ke tiga provinsi yakni Tokyo, Kagawa dan Omea.

BACA JUGA: Wagub Sitti Rohmi Jelaskan Sabtu Budaya di Sekolah

“Bangga sekali rasanya saya bisa dua kali menari di depan Presiden Soekarno dan memperkenalkan berbagai seni tradisi Lombok di Jepang” katanya.

Maestri tampil di TIM
Menggelarkarya di tim Tahun 1993

Nama dan karya-karya Amaq Raya adalah warisan seni bagi Nusa Tenggara Barat yang akan terus hidup dengan umur yang panjang. Namun begitu, meski ia dikenal sebagai seorang seniman ternama Nusa Tenggara Barat, kehidupan kesehariannya sangat sederhana, bahkan diakuinya lebih sering kekurangan.

Ia hidup dengan sangat sederhana, di sebuah rumah yang apa adanya. Namun, sebagai seorang maestro, Amaq Raya menikmati segala proses hidupnya selayak ia menikmati prosesnya dalam berkarya selama ini. Tubuh dan usia yang terus menua, tidak akan mampu menghentikan untuk berkarya.

Sebab Sang Maestro berkata, “saya akan menari sampai tubuh saya tak bisa bergerak lagi”.***

 

 

Penulis: Nanik I TaufanEditor: Maskaes