Sebuah fragmen Wayang Sasak yaitu Lampan Lahat dikenal lakon paling horor dan mistis, tidak semua dalang berani memainkan
LOTIM.lombokjournal.com ~ Sebuah fragmen dalam kisah serat menak di Wayang Sasak yakni fragmen Lampan Lahat yang terkenal sarat akan mistis, tidak sembarang dalang mampu memainkannya.
Konon, jika dalang salah-salah dalam memainkan fragmen Lampan Lahat, taruhannya adalah nyawa dirinya bahkan keturunannya.
Hanyal dalang yang sudah paripurna mampu mementaskan Lampan Lahat.
Seorang dalang dari Desa Rumbuk, Lombok Timur, Ki Dalang Wildan mengatakan, banyak ritual khusus yang digunakan dalang untuk memainkan Lampan Lahat.
BACA JUGA: Bunda Niken Kunjungi Sekolah Pesisi Juang di Ampenan
Mula-mula sebelum pementasan, di depan panggung harus disembelih kambing hitam mulus.
Selain itu, dalang maupun semua yang terlibat dalam pementasan wayang tidak boleh putus dalam wudhu. Karena itu, disiapkan air khusus di belakang panggung untuk berwudhu.
“Dalang dan pembantu dalang akan mengenakan pakaian ihram. Pembantu dalang di kiri dan kanan harus Tuan Guru (kiyai) saat pementasan,” katanya.
Ia mengatakan itu saat ditemui di kediamannya di Rumbuk, Kamis (21/07/22).
Panggung dipenuhi leak atau tuselak
Syarat lainnya, selama pementasan Lampan Lahat tidak boleh dijeda atau istirahat. Pementasan harus terus dilaksanakan hingga segmen tersebut berakhir.
Bahkan pengunjung atau penonton tidak boleh pergi sebelum pementasan berakhir. Sayangnya, tidak dijelaskan apa resiko yang akan menimpa penonton yang meninggalkan pertunjukan sebelum usai.
Fragmen Lampan Lahat penuh aura mistis, khususnya saat pementasan berlangsung suasana akan berubah.
Di atas panggung dipenuhi leak atau tuselak, yaitu mahluk halus yang akan bertarung satu dengan lainnya.
“Cerita Lampan Lahat harus sempurna, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Orang yang betul-betul suci yang bisa memainkan. Jika masih pikir duniawi, tidak akan mampu,” ujar Wildan.
Jika terjadi kesalahan dalam pementasan Lampan Lahat, diyakini akan ada kejadian tak terduga yang memakan korban jiwa, baik dalang atau orang yang mengundang dalang untuk memainkannya.
“Di situ akan keluar leak tuselak. Yang ngundang atau kita yang mainkan itu akan jadi korban. Seolah kita mengundang jin semua di atas,” katanya.
Mengapa Lampan Lahat begitu penuh dengan aura mistis?
Ki Dalang Wildan mengatakan, dalam kisah Serat Menak menceritakan perjalanan paman Rasulullah SAW yaitu Amir Hamzah atau dalam pewayangan dikenal dengan Jayeng Rane. Kisah tersebut menceritakan Jayeng Rane menyebarkan Islam dan menumpas musuh Islam.
Lampan berarti adalah judul atau cerita, sementara Lahat adalah jebakan atau kuburan. Kisah atau fragmen Lampan Lahat berisi akhir hidup Jayeng Rane yang gugur di medan perang melawan musuh Islam.
Dalam Islam, Amir Hamzah gugur dalam perang Uhud.
“Di lahat atau lubang, bisa juga dimaknai sebagai kubur. Di situlah sejarah Jayeng Rane berakhir bersama kuda perangnya,” katanya.
Ki Dalang Wildan bahkan tegas mengatakan tidak akan berani memainkan Lampan Lahat meskipun dibayar berapa pun.
BACA JUGA: Air Pancuran Bertuah di Desa Rumbuk, Lombok Timur
“Jika ada yang kasi saya Rp100 juta untuk memainkan (Lampan Lahat), saya tidak akan berani. Mohon maaf, salah-salah bisa lari ke keturunan (jadi korban),” ujarnya.
Ki Dalang Wildan menjelaskan, Jayeng Rane dalam wayang Sasak digambarkan dengan ciri khas sederhana.
Berbeda dengan wayang Jawa, Jayeng Rane digambarkan sebagai Arjuna dengan menggunakan perhiasan mahkota dan gelang.
“Jayeng Rane kalau di wayang Jawa itu Arjuna. Banyak gelang, mahkota, kalau di wayang Sasak bentuknya polos sebagai simbol kesederhanaan,” katanya.
Dijelaskan, karakter dalam wayang dibagi dua yaitu wayang kiri dan kanan, dan satunya adalah gunungan wayang. Wayang kiri menggambarkan sosok antagonis berwatak sombong, dan wayang kanan menggambarkan tokoh utama atau pahlawan dan sosok yang baik.
Dalam wayang Sasak menggunakan bahasa Kawi. Bahasa tersebut untuk memudahkan penonton, karena menggabungkan tiga bahasa, seperti Sasak, Jawa dan Bali.
“Kenapa pakai bahasa Kawi wayang Sasak, diambil garis tengah bahasa Sasak masuk, bahasa Jawa masuk dan bahasa Bali masuk. Cepat dicerna publik,” ujarnya.
Ki Dalang Wildan sejak tahun 1973 telah menjadi dalang. Bahkan saat usia sekolah, dia selalu belajar membuat dan memainkan wayang. Itu membuat dirinya kini sering dipanggil untuk pertunjukan wayang.
Dia menceritakannya, pementasan wayang Sasak dipenuhi dengan simbol-simbol yang memuat nilai Islam.
Seperti tiang panggung berjumlah sembilan yang artinya sembilan wali yang menyebarkan Islam, bangunan panggung segi empat yang memiliki filosofis empat mahzab dalam Islam, musik pengiring atau gendang berjumlah lima yang artinya rukun Islam.
“Sebenarnya gendang berjumlah enam. Tapi Lanang dan Wadon adalah suami istri, sehingga dihitung satu,” katanya.
Begitu juga dengan dalang dan semua yang terlibat dalam pementasan berjumlah 13 orang, yang memiliki filosofis jumlah rukun salat. Bahkan, ritual mengeluarkan wayang tidak asal-asalan, ada doa khusus yang diucapkan.
PDIP NTB bantu 50 juta untuk Wayang Sasak
Tim Ekspedisi Mistis PDIP NTB dan Mi6 berusaha untuk mempromosikan wayang Sasak sebagai bagian dari tradisi masyarakat Lombok.
Tidak cuma itu, Ketua DPD PDIP NTB, H. Rachmat Hidayat melalui Ketua dan Wakil Ketua II DPC PDIP Lombok Timur, Ahmad Sukro dan Ahmad Amrullah menyalurkan bantuan Rp 50 juta terhadap Ki Dalang Wildan untuk mengembangkan Wayang Kulit Sasak.
Ahmad Amrullah mengatakan, bantuan tersebut sebagai upaya PDIP NTB menjaga wayang Sasak tetap eksis, karena menjadi bagian dari budaya leluhur Sasak.
“Karena wayang Sasak ini menjadi bagian dari budaya leluhur Sasak yang harus dijaga agar tetap berkembang,” ujar Amrullah yang juga Sekretaris Tim Ekspedisi Mistis.
BACA JUGA: Teater Tradisi Cupak Gurantang di Ambang Punah
Direktur M16, Bambang Mei Finarwanto menegaskan, wayang Sasak tidak hanya sebatas pertunjukan seni semata, namun menyimpan nilai-nilai filosofis yang islami.
“Masyarakat harus paham, wayang Sasak dipenuhi berbagai kisah dan memiliki makna filosofis. Seperti nilai-nilai yang terkandung dalam kisah serat menak maupun simbol-simbol islami sebagai syarat dalam pementasan wayang,” ujarnya.***