Di Mataram, khususnya di lingkungan yang dekat dengan Dasan Agung dan Pejeruk, terdapat banyak pembudidaya kangkung lain selain Haji Hasan dan Kakek Ibrahim. Mereka cekatan melihat celah usaha dengan memanfaatkan susutnya debit air sungai Jangkok di musim kemarau
MATARAM.lombokjournal.com
WAKTU menunjukkan pukul 17.30 WITA, saat lombokjournal.com menemui dua pembudidaya kangkung yang sedang asyik berbincang di dekat petak kangkung pinggir sungai Jangkok milik salah seorang dari mereka.
Pinggir sungai tempat pembudidayaan kangkung itu tidak jauh dari bawah jembatan di jalan Udayana. Berseberangan dengan perumahan dinas anggota DPRD Provinsi NTB.
Dua orang pembudidaya tersebut masing-masing bernama Haji Hasan Basri dan Kakek Ibrahim.
Haji Hasan sedang duduk beralaskan sandal jepit miliknya. Kakek Ibrahim tengah memanen kangkungnya.
Haji Hasan mengaku berusia 80 tahun. Warga lingkungan Dasan Agung Bawak Bagek. Usia Kakek Ibrahim sama dengan usia Haji Hasan–berdasarkan perkiraan sederhana.
Berasal dari Jenggik Lombok Timur, namun telah puluhan tahun berdomisili di Lingkungan Dasan Sari Kota Mataram.
Pemandangan dua Lansia pembudidaya kangkung yang sedang berbincang itu selain bisa disaksikan para pengendara yang berlalu-lalang di jalan raya, turut bisa disaksikan banyak warga yang sedang berlari-lari, yang sedang berjalan-jalan, pun yang sedang bersepeda santai menikmati suasana sore.
Tak seperti Haji Hasan, Kakek Ibrahim belum bergelar haji, “uwahn lalo umroh bareng seninen. Mauk langan usahe kangkung wah tie. (sudah berangkat umroh bersama istri. Berkat hasil usaha kangkung),” ujar Haji Hasan menggunakan bahasa Sasak Mentaram kepada LombokJournal.com. Minggu, (16/08/20).
Di masa mudanya, Haji Hasan pernah menghabiskan 35 tahun hidupnya menjadi mandor gudang rokok yang berlokasi di kawasan Ampenan. Tetapi karena perusahaannya bangkrut, ia pun menjajal beberapa pekerjaan lain sebelum menekuni budidaya kangkung di sungai Jangkok.
“Wah bangkrut. Sang wahn bis mate toke-toke no (Sudah bangkrut. Mungkin tauke-taukenya sudah meninggal),” katanya.
Ia mengakui baru menekuni budidaya kangkung setelah menjajal beberapa pekerjaan selepas jadi mandor. Selain untuk mencari nafkah guna melanjutkan hidup, hasil budidaya kangkung dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Saat ini, ia telah memasuki durasi waktu selama puluhan tahun sebagai pembudidaya kangkung. Dimulai sejak Walikota pertama Mataram H. Muhammad Ruslan belum menjabat.
Saat itu, kondisi di pinggir sungai masih rimbun. Banyak pepohonan dan bambu yang tumbuh sepanjang bantaran sungai.
“Elek laek. Sendekman Haji Ruslan jari Walikota. Masih penok lolon tereng. (Sejak lama. Sebelum Haji Ruslan menjabat Walikota (Mataram). Masih penuh pohon bambu),” kenangnya.
Haji Hasan biasa memanen kangkungnya dua kali dalam sebulan. Tergantung kualitas pertumbuhan si kangkung. Sekali panen, Haji Hasan bisa menjualnya mulai dari harga 150 ribu rupiah hingga 300 ribu rupiah.
“Alhamdulillah,” syukurnya.
Tetapi budidaya kangkung di pinggir sungai Jangkok tidak bisa dilakukan terus-menerus. Kegiatan itu hanya bisa dilakukan saat debit air sungai menyusut karena kemarau seperti saat ini.
Jika musim hujan datang dan debit air menjadi besar, maka kangkung yang mereka miliki harus diikhlaskan hanyut ke pantai terbawa air. Kejadian yang sudah biasa mereka alami.
Saat demikian, pembudidayaan kangkung terpaksa dihentikan sementara, menunggu musim kemarau kembali datang.
“Kadang tulak ajin tereng. Separo eleh. Aget lacor wah (Kadang kembali harga bambu. Kadang hanyut. Untung rugi sudah), ” terangnya.
Di luar itu, yang menarik dari Haji Hasan adalah sikap energiknya kendati berusia lanjut. Kondisi fisiknya terpelihara: ingatannya terjaga, pendengarannya bagus dan tidak mengenakan kacamata.
Hanya kulit keriput jadi penanda telah banyak usia hidupnya.
Sementara Kakek Ibrahim. Yang membedakannya dengan Haji Hasan adalah, tak hanya menanam kangkung di pinggir sungai Jangkok.
Kakek Ibrahim yang juga telah puluhan tahun menggeluti usaha tersebut mengaku setiap tahun menyewa sawah warga di Lingkungan Moncok dengan biaya 12 juta rupiah per tahun.
“Lek Moncok tiang nyewa, (Di Moncok saya mennyewa) 12 juta setahun,” tuturnya.
Selain itu, ia pun mengakui bisa panen lebih sering dari Haji Hasan, yakni dua kali sampai tiga kali panen dalam seminggu. Tergantung permintaan pasar dan juga kualitas kangkung.
Namun akhir-akhir ini, kangkungnya tidak tumbuh sempurna. Penyebab rusaknya kualitas pertumbuhan kangkung adalah hama serangga dan gangguan ikan-ikan kecil.
“Ya, Ite (kita) tetap bersyukur dan berusaha,” jelas Ibrahim yang mengenakan pakaian sederhana dengan kopiah berwarna putih tertutup topi anyaman bambu menghiasi kepala.
Di Mataram, khususnya di lingkungan yang dekat dengan Dasan Agung dan Pejeruk, terdapat banyak pembudidaya kangkung lain selain Haji Hasan dan Kakek Ibrahim. Mereka cekatan melihat celah usaha dengan memanfaatkan susutnya debit air sungai Jangkok di musim kemarau.
Terkait dengan dampak usaha karena pandemi Covid-19, Haji Hasan dan Kakek Ibrahim mengaku sempat khawatir usaha mereka terganggu oleh Covid-19.
Di awal pandemi, mereka merasakan dampaknya, namun setelah pandemi berjalan beberapa bulan, mereka mengakui penjualan kangkung kembali normal.
“Ya, cukup. Alhamdulillah,” jawab Haji Hasan sembari bangkit dari duduknya guna meminta diri untuk pulang sebab waktu telah menunjukkan pukul 18.00 WITA.
“Silak, wah mulai peteng, (Mari, sudah mau petang,” pintanya.
Kakek Ibrahim masih dengan kesibukan memetik kangkung saat Haji Hasan meminta diri untuk pulang. Ia menenteng sandal jepitnya, lalu berjalan pelan menyeberangi sungai guna kembali ke rumahnya.
Dari pantauan lombokjournal.com saat di lokasi, terdapat beberapa petak-petak memanjang untuk pembudidayaan kangkung di sungai Jangkok, tepatnya di sungai yang membelah Lingkungan Dasan Agung Bawak Bagik dan Lingkungan Pejeruk.
Selain kangkung, terdapat juga keramba-keramba ikan di beberapa titik.
Ast