Kesetaraan Gender Masih Dianggap Tak Punya Akar Budaya

Waktu membuka diskusi, Gubernur TGH M Zainul Majdi, pakar tafsir al Quran tak pernah menganggap agama sebagai penghalang perjuangan mewujudkan keadilan gender. "“Islam bukan saja tidak bertentangan dengan isu jender, bahkan hadir sebagai agama yang mensederajatkan perempuan dan laki-laki,” kata Atun Wardatun

MATARAM – lombokjournal

Forum Diskusi Road Map Menuju Keadilan Gender di NTB’ yang dibuka Gubernur  NTB, TGH M Zainul Majdi, di Hotel Golden Tulip Mataram, Kamis (21/4), yang diprakarsai Australia Award, memberi sumbangan pikiran tentang gerakan mewujudkan keadilan gender di NTB.  Atun Wardatun, peneliti dan pengajar IAIN Mataram, menegaskan pentingnya mendialogkan isu-isu gender dengan nilai-nilai lokalitas

“Kalau agama kita bisa melakukan interpretasi, kenapa budaya tidak,” kata Atun saat bicara dalam forum diskusi tersebut.

Atun Wardatun
Atun Wardatun

Seperti gagasan yang pernah ditulisnya dalam kata pengantar buku kompilasi tulisan Jejak Jender yang sudah diterbitkan Pusat Studi Wanita IAIN Mataram tahun 2009, Atun kembali menegaskan pentingnya mendialogkan isu gender dengan teks keagamaan maupun nilai-nilai lokalitas.

Memang hingga kini, perjuangan gender masih dihubungkan dengan nilai Barat. Itu berarti dinilai bertentangan dengan agama maupun tradisi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat NTB.

Padahal kalau didialogkan akan membuka pemahaman lebih baik. “Islam bukan saja tidak bertentangan dengan isu jender, bahkan hadir sebagai agama yang mensederajatkan perempuan dan laki-laki,” kata Atun yang sempat menyinggung terpilihnya bupati perempuan pertama di Bima, dan yang juga pertama di NTB.

Sayang Atun tak menjelaskan, apakah terpilihnya bupati perempuan di Bima itu ada hubungannya dengan masyarakat mBojo yang mulai terbuka pemahaman agamanya.

Isu Gender dan Akar Budaya

Menurut Atun, melandaskan jender pada agama sudah menjadi pembahasan terbuka berbagai kalangan. Namun mendialogkan gender dengan tradisi masyarakat setempat, masih jarang dilakukan.

“Jender masih dianggap tidak punya akar budaya dalam masyarakat kita,” kata Atun.

Padahal, substansi perjuangan gender untuk menciptakan relasi yang setara dan adil bisa ditelusuri dan digali pada budaya dan tradisi masyarakat kita. “Sebagai upaya transformasi dan konstruksi sosial, perjuangan jender mutlak harus memperhatikan lokalitas,’ tegas Atun.

Dalam buku Jejak Jender termuat tulisan-tuisan yang berupaya menggali dan menelusuri kearifan lokal.   Khususnya tradisi tiga etnis di NTB yang mendukung (in line with) maupun yang bertentangan (contras from) dengan isu kesetaraan jender.

Buku Jejak Jender setidaknya membuat ‘melek’ tentang nilai lokalitas yang kita miliki for best and worst (dalam konteks memuji atau mengkritik). Dan tentu, tulisan-tulisan dalam buku itu bukan satu-satu interpretasi terhadap fakta lokalitas yang terjadi di tiga etnis di NTB.

“Nilai kesetaraan sesungguhnya menjadi jejak sejarah kehidupan di nusantara,” kata Atun.

Suk