Gerakan “Sastra Pinggiran”, dari Kota Yang Dihimpit Kemiskinan

Gerakan 'SastraPinggiran' dari Kota Sao Paolo; kelompok penulis pinggiran yang mengekspresikan kombinasi kebanggaan, kemarahan dan pengamatan kehidupan di jalan-jalan wilayah miskin

Kota Paling Berbahaya di Brasil, Menjadi Pusat Gerakan Puisi.

Kathleen McCaul |

SAO PAOLO, BRASIL

Kita bisa membayangkan kota besar dengan mayoritas penduduknya yang dihimpit kemiskinan. Sao Paolo di Brasil, seperti umumnya kota besar di negara sedang berkembang, kota yang dipadati pemukim urban.  Tapi siapa menduga, dari Kota Sao Paolo tumbuh gerakan sastra

Di kota ini banyak terdapat pemukiman kumuh, gang-gang perkampungan dan sudut-sudut jalan di kota tempat tongkrongan para pelaku kriminal. Ini gambaran jejak jutaan imigran pencari kerja yang memadati kota selama beberapa dekade terakhir.

Sao Paolo yang padat; pemukiman kumuh, gang-gang perkampungan dan sudut-sudut jalan di kota tempat tongkrongan para penjahat
Sao Paolo yang padat; pemukiman kumuh, gang-gang perkampungan dan sudut-sudut jalan di kota tempat tongkrongan para penjahat

Mereka membangun tempat tinggal mereka sendiri, semau gue, di pinggiran kota. Lingkungan yang semula tanpa fasilitas air bersih, listrik, dan apalagi fasilitas pembuangan limbah selayaknya. Itu berlangsung selama bertahun-tahun. Tak mengherankan, dari lingkungan ini berkembang beragam kejahatan dan kekerasan.

Kota ini pernah diterpa berbagai masalah yang datang silih berganti. Banjir yang hebat dan tanah longsor. Permukiman yang semrawut dengan jalan perkampungan tanpa aspal yang penuh lubang.

Pernah pemerintah Brasil membuat proyek perumahan untuk memperbaiki pemukiman masyarakat miskin. Tapi tak lama kemudian, tetap menjadi pemukiman kumuh. Sampai tahun 2000-an sangat sedikit ruang terbuka hijau. Tidak ada ruang untuk pohon-pohon di jalan-jalan yang sempit dengan bangunan rumah berhimpitan.

“Banyak pengangguran di kota. Situasi sulit ini hanya menghasilkan kekerasan,” jelas Mauricio Feijo, Urbanis yang bekerja di pinggiran Sao Paulo.

Penduduk setempat menyebut lingkungannya sebagai ‘pinggiran’ (margin), istilah untuk komunitasnya adalah ‘kaum pinggiran’ (The Margin).  Di Brazil, ‘pinggiran’ juga identik sebagai pelaku kriminal, dan orang-orang pinggiran sering diberi label seperti itu karena kenyataannya, dari wilayah yang sulit dan miskin itu memang melahirkan banyak tindak kejahatan.

Barangkali aneh bagi orang luar, justru dari lingkungan penuh kejahatan itu lahir gerakan sastra, yaitu “Sastra Pinggiran” atau sastra dari ‘kaum pinggiran’. Para penulis sastra yang berasal dari lingkungan keras itu berusaha mengubah persepsi buruk lingkungannya.

Berasal dari pinggiran dan bisa bertahan hidup, serta mencipta di tengah situasi kemiskinan dan ketidakadilan, kata mereka, merupakan pengalaman yang heroik.

Botol Bir, Penonton dan Penyair

Salah satu daerah di Sao Paolo ada daerah atau distrik – seperti kecamatan atau kelurahan — yang mempunyai sejarah paling ganas dibandingkan daerah pinggiran lainnya. Daerah itu namanya Jardim Angela, terletak di bagian selatan kota. Sepanjang tahun 2000-an,  daerah  Jardim Angela memiliki catatan kasus pembunuhan tertinggi  dibanding semua lingkungan di Sao Paulo. Antara Januari dan Agustus. tahun 2014, tercatat 31 pembunuhan.

Penyair dan performer foto bareng usai Sarau jangan Binho ; lebih menyerupai sebuah bazar daripada pertemuan antar penulis [Foto; Kathleen McCaul / Al Jazeera]
Penyair dan performer foto bareng usai Sarau jangan Binho ; lebih menyerupai sebuah bazar daripada pertemuan antar penulis [Foto; Kathleen McCaul / Al Jazeera]
Kalau datang di daerah ini, di pintu gerbang masuk akan ditemui sebuah bar, namanya Bar do Ze. Di bar yang juga biasa digunakan tempak menenggak bir ini, dikenal sebagai markas ‘sastra pinggiran’ (Literatura Marginal).

Kalau memasuki bar ini, pertama-tama akan terlihat, seperti umumnya tempat tongkrongan minum di Sao Paulo; meja bir dari kayu, ada piala sepak bola dipajang di rak, dijual  roti bakar keju untuk cemilan. Krat bir menumpuk, selain  telah disiapkan di botol dalam kulkas. Cuaca di Jardim Angela selalu panas, karena itu penduduk lokal menyukai bir dingin.

Memang tidak seperti biasanya, bar ini mempunyai perpustakaan cukup luas. Di perpstakaan itu ada buku-buku tentang gramatika atau tata bahasa dan revolusi seksual, terjemahan dari karya Leo Tolstoy dan Darwin.  Novel usang Brasil ditaruh berjejer dengan beberapa buku karya pemikir besar dunia; Montaigne, Kant, Descartes dan Hegel.

Bar do Ze adalah bar yang menyelenggarakan acara puisi Cooperifa tiap Selasa malam. Semacam acara musik regular, di Warjack di Mataram yang berangsung tiap Selasa malam.

Namun acara bincang-bincang dan baca sastra di Bar do Ze,  rasanya bukan seperti acara diskusi sastra yang diikuti penulis yang mukanya selalu mengkerut. Lebih menyerupai sebuah bazar daripada pertemuan antar penulis. Orang-orang dari penjuru Jardim Angela datang.  Mereka berkerumun di beberapa sudut seputar bar,  keluar masuk dari bar, berseliweran jalan. Secara tiba-tiba muncul menjual popcorn, atau lapak yang membka jasa meramal mimpi, dan bermuncul penjaja perhiasan lokal mirip jualan akik dan sejenisnya.

Di dalam bar,  para penyair dan pengunjung duduk bercampur baur di sekitar meja yang penuh dengan botol bir. Seorang pria tua berambut putih dengan jenggot panjang,  membaca puisi tentang Backlands. Pria mengenakan topi baseball yang biasa dipakai remaja, bercelana jeans baggy dan kaos sepak bola.

Dua wanita tua dengan  blus ketat putih yang rapi, rambut mereka diikat kepang, duduk, bibirnya komat kamit konsentrasi membaca sebuah puisi pendek, mirip karya ‘haiku’. Perempuan muda mendengarkan pembacaan puisi itu bersama balita dan menyuapinya dengan ‘escondido’, spesialisasi hidangan bar berupa daging kering dan kentang tumbuk.

Remaja usia sekolah dengan memanggul ransel, menunggu untuk mendukung teman mereka yang sedang bersiap di depan mike. Seperti semua orang, anak itu  bersorak ketika menuju ke depan bar.  “Ayo bung,” katanya. “Kita bisa melakukan yang lebih baik. Kita berbeda. Kita adalah Favela!” Ramai terdengar teriakan dan sorak-sorai.

Puisi-puisi yang dibacakan di sini sering membawa tema kekerasan, urusan dengan aparat kepolisian, keluarga dan obat-obatan terlarang. Nyata sekali ada rasa kebanggaan ketika mereka menyimak sastra yang terinspirasi dari lingkungan mereka sendiri.

Seorang performer sedang membaca puisi dengan kemasan hip hop yang memikat masyarakat setempat
Seorang performer sedang membaca puisi dengan kemasan hip hop yang memikat masyarakat setempat [Foto; Kathleen McCaul / Al Jazeera]
Ermildo Panzo, seorang penyair dari Angola, yang telah berkeliling seluruh Afrika dan Amerika Latin, mengatakan, ini adalah pertama kalinya ia melihat kegembiraan dalam satu acara puisi di benua itu.

“Aku pernah ke Panama, Cancun, Kuba. Peristiwa seperti ini tidak pernah ada. Puisi adalah sesuatu yang ‘tertutup’, hanya diminati sekelompok kecil penulis. Tapi disini, malam ini, mereka sangat antsias dan gembira,” ia menjelaskan.

Panzo percaya, seperti halnya irama musik Samba, peristiwa puisi di Sao Paulo yang disebutnya ‘ saraus’,  itu dipengaruhi sejarah Afrika. Puisi yang menjadi respon terhadap penindasan,  yang berakar pada masa perbudakan.

“Orang-orang yang meninggalkan Afrika datang ke Brazil, dipekerjakan sebagai budak  di perkebunan tebu.  Pada saat senggang, mereka berkumpul membentuk lingkaran, salah satu maju akan bercerita pengalaman menyedihkan yang dialaminya. Kemudian masing-masing bergiliran maju dan bercerita, dan seterusnya,” katanya.

Pendiri gerakan kontemporer “Marginal Literatura” (Sastra Kaum Pinggiran) di Sao Paulo ini sering dikatakan sebagai novelis dan aktivis. Penulis yang biasa dipanggil Ferrez ini, novel pertamanya Capao Pecado, diterbitkan pada tahun 2001. Novel itu menggunakan bahasa jalanan yang dipengaruhi hip-hop, menceritakan kehidupan keras masyarakat lingkungannya. Dan karyanya itu memenangkan penghargaan dari kritikus serta disukai penduduk setempat.

Biasanya ia dapat ditemui di kampunya Capao Redondo, tidak jauh dari Bar do Ze.  Ia membuka toko yang didedikasikan untuk ‘kaum pinggiran’ dengan menjual berbagai mode yang disukai kalangan pinggiran; seperti topi pelatih baseball, atau T-shirt dengan tulisan  ‘Aku cinta Capao Redondo’.

Mengenakan kaus, celana jeans dan topi baseball, Ferrez tampak seperti umumnya penduduk lokal. Sebelumnya, kehadirannya sebagai penulis sempat jadi sasaran ejekan masyarakat selama bertahun-tahun.

Awalnya, orang-orang  lingkungannya menolaknya.  Mereka melempari batu ketika mereka melihat Ferrez berjalan dengan buku di tangan. Dari tahun 1995 sampai tahun 2000 ia bekerja keras agar diakui masyarakat.  “Saya tunjukkan tulisan saya kepada orang-orang di sini. Mereka terkejut ada seorang penulis di lingkungan mereka. Orang disini terus menertawakan saya,” tutur Ferrez.

“Aku Menulis Sastra Kaum Pinggiran”

Kalau sekarang berjalan di Capao Redondo, Ferrez disambut hangat. Buku-bukunya banyak dibaca, dan dia menjadi tokoh dihormati di lingkungannya. Di luar itu, ia diundang berbagai lokakarya termasuk di sekolah. Menurutnya, sukses yang diraihnya karena pembacanya dapat mengidentifikasi dirinya dalam karya yang ditulisnya.

Ferraz dan putrinya saat makan siang di Capao Redondo [Kathleen McCaul / Al Jazeera]
Ferraz dan putrinya saat makan siang di Capao Redondo [Kathleen McCaul / Al Jazeera]
“Waktu masih muda, saya mengunjungi toko buku bekas, sayangnya tidak pernah kutemukan buku yang bicara tentang masalah yang kita hadapi sehari-hari, seperti pengemudi sepeda motor yang mabuk dan menabrak mobil, kisah kencan dengan gadis, ” katanya.

Ferrez menulis peristiwa sehari-hari, dan orang-orang menemukan dirinya dalam buku yang ditulisnya. Dan pembacanya berpikir, “Oh, itu seperti saya – bertemu cewek bercengkerama di taman, bukannya sebuah hotel.”

Ia menuturkan, kebanyakan sastra Brasil hanya pura-pura dan penuh fantasi. Saya pusing membaca buku yang mengisahkan kehidupan di pantai Copacabana, misalnya. Bagaimana orang di sini mampu mendapatkan uang untuk membeli tiket pesawat terbang dan tinggal di pantai Copacabana di mana tarif hotelnya 5.000 real sehari? Bukan masyarakat tidak mempunyai minat baca, masalahnya mereka tidak menemukan apa pun yang berbicara tentang kehidupan mereka, tambahnya.

Ketika diwawancarai tentang buku pertamanya, saat Ferrez mulai mengenalkan kredo “Sastra Pinggiran” (Literatura Margina). “Orang-orang bertanya, anda penulis kontemporer? Kujawab, tidak. Saya menulis sastra yang terinspirasi masyarakat pinggiran,” katanya.

Istilah itu menguat, kemudian mulai banyak penulis yang menyebut dirinya juga penulis “Sastra Pinggiran”. “Kami menerbitkan majalah sastra untuk masyarakat pinggiran dengan gambar dan desain keren, untuk menarik perhatian orang-orang yang belum pernah membacanya.”

Kelompok penulis pinggiran yang mengekspresikan kombinasi kebanggaan, kemarahan dan pengamatan kehidupan di jalan-jalan pinggiran itu, telah mencapai popularitasnya. ‘Saraus ‘ dalam bentuk karya sastra itu berlangsung tiap malam minggu, di seluruh kota, dengan kemasan menjadi tontonan yang memikat.

Penyair Dirceu Villa mengakui tidak bisa menyaingi acara itu. “Jika saya membuat acara di pusat Sao Paulo, kalau saya beruntung paling banyak akan dihadiri enam orang. Cobalah pergi ke daerah pinggiran itu, pembacaan puisi yang dikemas itu akan dihadiri lebih dari 300 orang,” katanya.

Saat ini sudah ada sebuah toko buku yang didedikasikan sepenuhnya untuk “Sastra Kaum Pinggiran” yang dikelola penulis Alessandro Buzo. Pada malam tertentu di toko bukunya, Terpidana dari Pinggiran Kota (Suburban Convict), dipertunjjkan pembacaan puisi dengan kemasan bersama pemain bass dan drummer yang dikunjungi kerumunan wisatawan, penduduk setempat dan termasuk penulis berdedikasi.

Luar biasanya, untuk suatu acara malam puisi, kebanyakan penonton di toko buku itu adalah pemuda, dengan pakaian jins baggy dan topi baseball, beberapa di antaranya berambut gimbal dengan berkaos oblong Bob Marley.

Seorang mantan tahanan mengungkapkan, bagaimana ia membawakan puisi ke dalam penjara, dan efek positifnya para pemuda dalam penjara itu merasa puisi itu bicara tentang mereka.

Buzo mempunyai pembawaan ceria, pria karismatik meski ia adalah mantan pecandu narkoba. Ia menegaskan, sastra pinggiran telah mereformasinya dan puisi pinggiran menarik kalangan muda di jalanan karena sangat ‘dekat’ ke hip-hop dan kelompok-kelompok lokal seperti MC Racionais. Melalui musik yang mengiringi pembacaan puisi, mendorong Buzo terinspirasi untuk menulis.

“Hip-hop yang bicara tentang hidup saya. Di Brasil hip-hop merupakan protes dan lahir dari protes masyarakat, tentang politik, menyadarkan apa yang terjadi disekitarmu. Saya melakukan hal yang sama dalam sastra,” kata Buzo.

Buzo mulai berpikir tentang kereta yang ditumpanginya tiap hari. Transportasi umum itu mengerikan, tua, bising, penuh sesak. Ketika hujan bocor, air akan masuk ke dalam. Buzo  menghabiskan waktunya di kereta itu dan menulis cerita kemudian mengirimkannya ke perusahaan kereta api, tapi tidak ditanggapi. Kemudian mengirimkannya ke media. Media juga tidak menanggapi. Akhirnya ia menetak 50 eksemplar dan pergi ke kereta terakhir, membagikannya pada penumpang.

“Saya tidak berpikir mereka akan merespon baik, tapi ternyata orang-orang menyukainya. Ini berbicara tentang pengalaman mereka. Mereka berbicara tentang hal itu setelahnya, dan bertanya kenapa anda tidak menulis buku?” cerita Buzo.

Karena contoh orang-orang seperti Buzo dan Ferrez, rak-rak buku di toko “Suburban Convict” sekarang penuh buku karya penulis pinggiran. Tapi ada orang-orang pinggiran yang mengatakan masih belum mampu menulis – atau membaca – tentang pengalaman mereka sendiri. Mereka adalah adalah kalangan perempuan.

“Protagonis Kejantanan”

Elizandra Sondra, seorang penulis puisi dan wartawan. Jangkung dan masih belia, dengan senyum lebar dan rambutnya dijalin elegan. Ia baru menyunting dan merilis koleksi 22 penyair perempuan pinggiran. Menurutnya, buku itu muncul dimaksudkan membenahi bias gender dalam gerakan “Sastra Kaum Pinggiran”.

“Perempuan jarang diundang bergabung dalam diskusi puisi. Saya satu-satunya perempuan yang diundang bicara. Dan pertanyaan tentang tulisan perempuan kulit hitam, benar-benar mengganggu saya. Jadi saya mulai mengatur koleksi ini puisi perempuan hitam,” katanya.

Seorang penyanyi dan penulis lagu tampil membawakan puisi di Sarau melakukan Binho [Foto; Kathleen McCaul / Al Jazeera]
Seorang penyanyi dan penulis lagu tampil membawakan puisi di Sarau melakukan Binho [Foto; Kathleen McCaul / Al Jazeera]
Elizandra mengatakan, dalam gerakan sastra itu perempuan menghadapi dilema. Sebab sebagian besar diskusi dan pembacaan puisi berlangsung di bar. Padahal, budaya masyarakat masih menganggap tempat-tempat seperti itu hanya pantas dikunjungi laki-laki. Wanita yang berada di sekitar bar diremehkan sebagai perempuan tuna susila.

“Kami sudah membuang anggapan itu sekarang,” katanya.

Namun masih ada pertanyaan, tentang kekerasan terhadap perempuan. Perempuan pinggiran harus berjuang melawan stigma, tubuh tetap jadi obyek erotisme seperti zaman perbudakan. Tubuh perempuan kulit hitam diperlakukan tanpa kasih sayang. Ini adalah tema yang muncul dalam tulisan perempuan kulit hitam.

“Gerakan sastra kaum pinggiran memang mencoba melakukan perubahan pandangan masyarakat, tapi tetap dengan protagonis kejantanan, dan kami ingin mengubah itu,” kata Elizandra.

Rayne Qu

(sumber: Al Jazeera)