Opini  

Esensi Simbol Mengesakan Isi

ilustrasi ~ Manusia dan monyet / Ist

Dalam artikelnya, Sardjono membahas esensi simbol yang selalu berlangsung dalam hubungan antar manusia. Simbol menurutnya, dalam penggunaan simbol manusia sedang melakukan suatu proses menyusun dan memaknai pesan

Esensi simbol bagi manusia
Opini: Sardjono

lombokjournal.com ~ MANUSIA adalah makhluk yang integral dengan simbol, tampak dalam tindakan komunikasinya baik pikiran (minded) maupun laku lampah interaksi sehari-hari dengan sesama, alam, dan Tuhannya. Interaksi ini disebut “Trirelasi Kehidupan” yang padu padan, dialektik dan dinamis. 

Penggunaan simbol atau lambang merupakan ungkapan ekspresi perasaan dan pikiran diterapkan demi berlangsungnya interaksi kehidupan. Karena itu komunikasi sebagai sesuatu yang inheren, selalu ada dan tidak terpisah dari diri individu. Komunikasi sendiri bermakna suatu proses transformasi dan pemaknaan simbol. Untuk dapat memahami simbol ini menusia bersenyawa dan menyatu dengan simbol, disebut “homo symbolicum” atau makhluk yang bersimbol. Mengapa disebut demikian? 

Pertama, perilaku individu baik ia sadari atau tidak, disengaja ataupun tidak, berpotensi menghasilkan simbol-simbol yang mengandung makna tertentu bagi individu lain. Simbol sendiri adalah produk berpikir. Karenanya, berpikir berarti suatu proses menyusun dan memaknai pesan. Ketika menyusun pesan atau memaknai pesan, sesungguhnya kita sedang memilih dan menyusun sedemikian rupa simbol-simbol tertentu. 

BACA JUGA: Safari Ramadhan Pj Sekda di Masjid Assalam, Bayan 

Kedua, aktivitas berpikir, ihwal yang membedakan manusia dengan hewan atau binatang, sering disebut “animal simbolicum”. Pembeda manusia dengan hewan pada penggunaan simbol. Manusia menggunakan simbol untuk memenuhi kebutuhan, berinteraksi, dan mengatur pola perilakunya. Simbol digunakan untuk mengekang sifat hewaninya, semisal melalui simbol budaya, norma sosial, hukum maupun moralitas. 

Sementara dari tinjauan sosial politik, manusia dikenal dengan makhluk “zoon politicon”, menicayakan kompetisi mempertahankan hidup dalam seluruh ladang kehidupan. Bahkan ia pula yang memicu sekaligus memacu seseorang berlomba-lomba dalam kehidupannya, baik berkelompok, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Dimensi politik perlu digunakan pada konteks kebijaksanaan menuju “common bonum”. 

Para penganut politik sosial kerapkali menerjemahkan perilaku insan pada ruang kebijakan “common law” diyakini akan dapat melahirkan common bonum. Ia akan membentuk karakteristik norma-norma dalam berpolitik. Sifat-sifat norma politik yang melekat dari era Yunani Kuno harus teradaptasi dalam pola berpolitik era saat ini untuk mengadaptasi nilai-nilai “common bonum”. 

Kita patut meyakini ragam pendapat dari sejumlah kalangan mengenai konsep common bonum bukanlah utopia yang indah, akan tetapi ia adalah sesuatu yang keberadaannya nyata jika sungguh-sungguh diterapkan pada koridor dan lokus yang benar. 

Dalam ranah akademik misalnya, keindahan retorika di ruang-ruang diskusi kaum intelektual sebagai awal yang baik untuk menyerunai aksi-aksi empirik. Memang harus disadari mewujudkan gagasan common bonum dalam aksi nyata memang agak sulit tetapi bukan mustahil untuk diwujudnyatakan. 

BACA JUGA: Jenazah Perempuan Warga Lobar Ditemukan di Pantai Setangi

Faktum masa lampau melalui penelusuran jejak histori pembentukan paradaban manusia dalam segala aspek, kita akan dapat bukti baik aspek pemerintahan, agama, budaya, teknologi dan sebagainya. Dibalik upaya menuju kebaikan kolektif, pasti ada korban jiwa-raga atau materi-immateri. 

Prinsip “common bonum” harus terintegrasi dalam laku lampah pembangunan, suprastruktur dan infrastruktur. Menciptakan suprastruktur demi mutu infrastruktur. Common bonum, pada akhirnya sebagai muara akhir dari kebijaksanaan menggunakan simbol-simbol yang melekat dan inheren diri individu. Itulah kiranya makna esensi simbol mengesakan isi. ***

 

 

 

Penulis: SardjonoEditor: Maskaes