Pelaku teater belum relasi dengan penonton yang pada akhirnya, gagal menjadi cermin masyarakat untuk melihat dirinya
MATARAM.lombokjournal.com –
Geliat seni pertunjukan, lebih spesifik lagi seni teater, di NTB sedang mengalami darurat multidimensi.
Oleh Teater Insomnia pimpinan Indra Putra Lesmana, gejala ini disebut bencana, karenanya dibutuhkan satu titik kumpul guna melakukan evakuasi, bergerak dari kesia-siaan menuju teater yang lebih kaya manfaat.
Dengan mengangkat tema ‘Titik Kumpul’, Teater Insomnia dengan tetap mematuhi protokol kesehatan Covid-19, mengadakan kegiatan diskusi merumuskan ulang wajah teater NTB yang saat ini kesulitan mengidentifikasi dirinya.
Teater NTB kehilangan kekuatan dan kesadaran untuk merumuskan ideologi berkesenian, sunyi dari nuansa ‘puitika’ sebab tergoda oleh ‘teater dalam rangka’ yang lebih menjanjikan terjaminnya kebutuhan finansial.
Menghadirkan tiga narasumber, dua di antaranya pelaku teater senior yakni Kongso Sukoco dan Majas Pribadi. Kegiatan yang dihelat di cafe Bawah Pohon Kekalek Mataram cukup ramai dihadiri peserta–untuk ukuran kegiatan di masa pandemi.
Persoalan intrinsik dan ekstrinsik
Dalam paparannya, Kongso yang mendapat kesempatan pertama langsung mengajukan dua masalah teater NTB hari ini, yang pertama ‘masalah intrinsik’ dan yang ke dua ‘ekstrinsik’.
Dikatakan, persoalan intrinsik yang lekat dengan perdebatan sesama pelaku teater mengenai aspek estetika hanya terjadi di kalangan sesama pelaku.
Lain halnya dengan persoalan ekstrinsik berupa transaksi nilai pelaku teater melalui tontonan yang dibuat dengan masyarakat selaku penonton.
Untuk persoalan ke dua ini, banyak pelaku teater abai melihat kepentingan penonton dalam produksi pertunjukannya.
BACA JUGA:
Pelaku teater lebih asyik mengolah kegelisahan pribadi tanpa pusing merumuskan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Pelaku teater belum relasi dengan penonton yang pada akhirnya, gagal menjadi cermin masyarakat untuk melihat dirinya hari ini.
“Jadi kalau teater itu tidak ada yang mengapresiasi berarti tontonan itu dianggap tidak layak? Ini persoalan seni pertunjukan seperti halnya seni-seni lain ada dua. Ada persoalan intrinsik. Internal orang-orang teater sendiri, bagaimana dia punya konsep dan sebagainya yang semuanya berurusan dengan estetika. Kemudian ada elemen ekstrinsik di luar kelompok. Apakah tontonan terkait isu hangat,” terangnya. Minggu, (28/03/2021).
Selain dua persoalan di atas, Kongso juga menekankan perlunya pelaku teater membangun kepercayaan diri, memiliki kesadaran berproses dengan sungguh-sungguh. Sehingga menghasilkan tontonan yang tidak hanya disukai, tetapi juga membekas di benak masyarakat.
Alat perlawanan
Majas dengan latar belakang lulusan salah satu sekolah seni di Indonesia itu lebih menekankan pada persoalan ketakpekaan pelaku teater NTB kalau menengok embrio kemunculan awal teater di Indonesia.

Ia memaparkan bagaimana para pegiat teater Indonesia awal lebih senang menggunakan istilah sandiwara ketimbang teater disebabkan makna sandiwara lebih dekat dengan psikologi masyarakat Indonesia.
Menurut Majas, embrio teater Indonesia bisa dirunut mulai dari zaman awal revolusi Indonesia, zaman orde lama, orde baru dan kemudian zaman reformasi sekarang ini.
Pada tiga fase awal, teater Indonesia memiliki tujuan lebih jelas, yakni menjadi alat melawan ketidakadilan penguasa.
Di zaman reformasi, hal tersebut hilang oleh terbukanya informasi yang begitu bebas. Karenanya, pelaku teater Indonesia harus kembali membaca ulang apakah keberadaan teater masih perlu? Jika pun perlu, siapa yang memerlukan?
Kaitan dengan banyak pegiat teater NTB yang sering mengeluhkan kurangnya dukungan finansial, Majas melihat itu sebagai ironi karena pada dasarnya, baik orang tua maupun bidan yang melahirkan teater Indonesia sama-sama berangkat dari semangat perlawanan.
Maka dari itu penting bagi pelaku teater memilih satu ideologi guna menguatkan diri dalam melawan ketidakadilan.
Hal senada disampaikan Novrizal Hamzah yang menjelaskan pelaku teater musti kembali menengok masyarakat penontonnya. Menurut Novrizal, menengok masyarakat bisa jadi bacaan awal pelaku teater NTB memulai gerak perjuangan kemanusiaan.
Ia meyakini hanya dengan menengok kembali ke masyarakat penontonnya, teater NTB bisa hadir sebagai bayangan ralitas terkini.
Selain diskusi, kegiatan juga dimeriahkan pertunjukan pantomim oleh Nas Jauna. Nomor pantomim yang dimainkan Nash tidak diberi judul, semata merespon tema diskusi. Kendati demikian, aksi memukau seniman asal Bima tersebut berhasil membuat penonton yang hadir terkesima.
Ast