Lakon Chatastrope merupakan drama pendek Samuel Becket selain Come and Go dan beberapa naskah lain. Oleh para kritisi teater, naskah-naskah Becket masuk pada genre teater Absurd
MATARAM.lombokjournal.com —
TETAR LHO INDONESIA mementaskan pertunjukan ‘Chatastrope’ karya pengarang Irlandia, Samuel Beckett, dengan sutradaranya R. Eko Wahono, Jumat (24/07/20).
Pertunjukan yang dihadiri tidak banyak penonton karena aturan protokol kesehatan Covid-19 tersebut, menjadi pertunjukan ke-dua yang diselenggarakan Taman Budaya NTB pasca mewabahnya Covid-19.
Sebelumnya Taman Budaya NTB menghelat pertunjukan berjudul Sandiwara Merah Jambu dari kelompok Teater Kamar Indonesia, Minggu, (26/07/20).
Chatastrope merupakan naskah pendek Becket, bercerita tentang sebuah kelompok teater yang tengah melangsungkan latihan terakhir jelang pertunjukan.
Dimainkan oleh empat aktor: Sutradara (Achdiyat Kurniawan), Asisten Sutradara (Gilang Pratama) Aktor Utama (Ahmad Doom Rosyidi) dan Penata Lampu (Zulhadi), Chatastrope oleh Teater Lho Indonesia sebagaimana pengantar sutradaranya R. Eko Wahono, diniatkan sebagai refleksi dan representasi ketertekanan komunal masyarakat NTB dan dunia karena pandemi virus Covid-19 yang tengah mewabah.
Properti yang minim: hanya kursi, trap dan satu gantungan tempat costum, mampu membuat panggung hidup. Hal itu semakin terasa manakala tokoh sutradara dan asistennya terus berdialog tentang bagaimana seharusnya aktor berlaku di atas panggung.
Adegan demi adegan yang memperlihatkan bagaimana sosok sutradara begitu kuasa (diktator), terhadap asisten dan aktornya menjadi perlambang bagaimana kuasa-bisa berbentuk apa saja termasuk virus Covid-19, membuat seseorang mampu melakukan apa pun yang menjadi kehendaknya.
Dalam sesi diskusi seusai pertunjukan, banyak catatan menarik yang dilontarkan oleh beberapa penonton. Dalam hal ini diwakili beberapa teaterawan senior NTB seperti Majas Pribadi, Kongso Sukoco, Saipullah Sapturi, pun Wing Sentot Irawan.
Majas Pribadi dalam paparannya selain menyinggung sekilas tentang absurditas dari sisi teori, secara samar juga menyatakan bagaimana sutradara, R. Eko Wahono terkesan memaksakan para aktornya untuk memainkan naskah yang sebetulnya belum mampu mereka pahami.
Ada tahapan proses secara organis yang harus dilalui seorang aktor untuk sampai pada pemahaman tentang teater absurd. Proses organis tersebut dinilainya penting guna menghindari pemahaman instan yang saat ini gampang diperoleh seseorang melalui “artifisial intelegensia”.
Kesimpulan pemahaman aktor yang belum sampai pada tatanan organis itu, dijelaskan Majas dengan menyampaikan bagaimana ketegangan nuansa pertunjukan yang ingin diwakili tokoh aktor (diperankan Ahmad Dhoom Rosyidi) tidak diimbangi dua tokoh lain (sutradara dan asisten sutradara).
“Saya melihat, memang absurditas itu bukan persoalan yang gampang. Jadi dalam seni rupa, sebelum bicata surealis ngomong realis dulu. Kenyataan kita berada dalam kehidupan asrtificial intelegensia, bahwa orang bisa belajar darimana saja, tapi tahapan-tahapan pematangan itu memang tidak bisa menjadi sangat instan. Saya nggak percaya. Saya melihat secara visual lumayan, ending bagus. Saya belum melihat bahwa Dhoom itu berdiri aja itu sudah bagus, dia gigil, dia nggak ngomong, tapi tidak diimbangi oleh dua pemeran yang lain,” paparnya.
Hal lain yang disampaikan Majas adalah tentang bagaimana semestinya pertunjukan tidak perlu terlalu dijelas-jelaskan. Penonton memiliki hak untuk menilai sendiri maksud pertunjukan sesuai kadar pemahamannya.
Hal itu penting dilakukan agar ketegangan yang dialami penonton murni ketegangan yang ditransfer oleh nuansa pertunjukan, bukan ketegangan personal penggarap pertunjukan. Transfer ketegangan nuansa pertunjukan kepada penonton akan sampai ketika pemerannya memiliki pemahaman yang cukup mengenai teater absurd.
“Bahwa pertunjukan ini tidak perlu dijelas-jelaskan. Bahwa dialog di pertunjukan ini tidak terlalu penting dalam pikiran-pikiran Samuel Becket. Tapi dijelaskan oleh bloking, moving itu ya, seluruh elemen yang ada di dalam. Saya melihat bahwa, memang absurditas itu bukan persoalan yang gampang,” terangnya.
Sementara Majas lebih menitik beratkan pada bagaimana pentingnya menilai kesiapan semua perangkat pertunjukan sebelum memilih naskah atau genre pertunjukan, Kongso Sukoco dalam memulai diskusinya berangkat dari pernyataan bahwa naskah-naskah Becket selalu berangkat dari realitas sosial.
Dari pernyataan tersebut, ia kemudian mengajukanpertanyaan apakah Sutradara R. Eko Wahono dalam menafsirkan naskah Chatasrtrope atau dalam bahasanya Kongso disebut malapetaka itu berangkat dari ketegangan psikologi manusia menghadapi pandemi Covid-19 yang dialami dunia saat ini?
Atau malapetaka itu muncul oleh sikap diktator para penguasa? Pertanyaan tersebut dilontarkan Kongso karena melihat malapetaka yang ditampilkan di dalam pertunjukan digambarkan dalam citra kediktatoran sutradara terhadap aktornya sementara dalam pengantar diskusi oleh sutradara R. Eko Wahono, diktatornya sutradara memiliki asosiasi dengan Covid-19.
“Becket selalu mengasosiasikan teaternya itu dengan situasi sosial. Saya tidak tahu apakah pementasan malapetaka ini yang seperti pengantar sutradara tadi juga berbicara situasi terakhir, situasi pandemi Covid-19? Yang kita itu jadi bodoh, kita ditakut-takuti, itu saya pikir bisa diasosiasikan dengan situasi sosial saat ini. Saya tidak tahu apakah Mas Eko Wahono tadi menafsirkan Chatasrope?” tanyanya.
Tidak begitu berbeda dengan Majas Pribadi dan Kongso Sukoco, pernyataan dua penanya lain dalam hal ini Saepullah Sapturi dan Wing Sentot Irawan juga menyatakan bagaimana absurditas belum sampai pada pemahaman para pemerannya di atas panggung. Sentot bahkan memberikan nasehat kepada R. Eko Wahono agar sebaiknya menjadi penulis ketimbang menyutradarai pertunjukan.
“Saya selalu bilang ke Eko, sebaiknya menulis saja,” katanya.
Sementara itu, R. Eko Wahono selaku sutradara menyampaikan jika pada dasarnya setuju dengan beberapa pernyataan yang dilontarkan. Akan tetapi, dalam praktik penyutradaraannya, Eko cenderung tidak tertarik dengan genre naskah. Sebab ia menganggap bahwa semua genre naskah pada dasarnya bisa disebut realis.
“Saya membaca naskah segelap Waiting for Godot saja, saya membaca dialog-dialognya sangat realis. Jadi sebenarnya yang absurd itu ya, cara berpikirnya saja,” ungkapnya.
Di luar itu, Eko pun mengapresiasi semua yang hadir pada pertunjukan tersebut. Hal yang menurut Eko membuatnya bahagia. Sebab momen pertunjukan bagi para pelaku teater tak ubahnya seperti momen lebaran di mana para pelaku teater bisa bertemu, berkumpul dan bertukar gagasan.
Untuk diketahui lakon Chatastrope merupakan drama pendek Samuel Becket selain Come and Go dan beberapa naskah lain. Oleh para kritisi teater, naskah-naskah Becket masuk pada genre teater Absurd.
Absurdisme sendiri adalah jenis teater yang dengan sengaja melanggar atau meninggalkan konvensi alur, penokohan, dan tema-tema yang umum dijumpai di dalam naskah teater beraliran realis.
Meskipun secara sekilas naskah absurd menunjukkan ketidaksingkronan antar adegan, jika dinikmati lebih dalam maka penonton yang awam pun bisa menemukan benang merah yang menghubungkan adegan per adegan di dalam naskah.
Asta