Umum  

Cerita Muslim di Tiongkok (2)

Muslim dari etnis Hui. tak pernah mengalami tekanan dari pemerintah setempat. Mereka bebas beribadah dan mengembangkan Islam, banyak masjid dibangun di Ningxia.

MUSLIM HUI DAPAT PERLAKUAN ISTIMEWA

lombokjournal.com

Apa memang benar  muncul sebutan ‘teroris’ bagi (sebagian) muslim di China?  Apa benar ada tekanan-tekanan pemerintah di Tiongkok  terhadap praktik ibadah muslim, seperti  larangan berpuasa, pergi ke mesjid, atau setidaknya  tindakan-tindakan ‘tidak menyenangkan’ pemerintah setempat yang ditujukan kalangan muslim?

Nanti  akan diceritakan tentang muslim etnis Uighur yang nasibnya tidak seberuntung kalangan muslim etnis Hui.

muslimcinaHUI14Juni6
Admiral Cheng Ho, mewakili karakter etnis Hui, ketekunan seorang pedagang dan keberanian sebagai prajurit militer. Suka menenteng senjata dan dikenal gesit dalam permainan pisau.

Etnis Hui, memang berasal dari suku-suku bangsa yang beragam seperti Arab, Persia, Asia Tengah atau Mongol, tapi punya sejarah kedekatan dengan penguasa di Tiongkok.  Bahkan, pahlawan-pahlawan masa  pemerintahan Dinasti Ming,  banyak berasal dari etnis Hui. Salah satunya, yang juga sangat dikenal di Indonesia, adalah admiral atau Laksamana Cheng Ho.

Heng Ho merupakan keturunan Hui yang menjadi petinggi militer kepercayaan penguasa ketiga Dinasti Ming, yaitu Kaisar Yongle (berkuasa 1403-1424).

Riwayat Cheng Ho yang berasal dari Yunnan, semula adalah tawanan yang menderita ketika militer Ming menaklukkan penguasa Yunnan. Cheng Ho yang nama aslinya adalah Ma He, dikenal juga dengan sebutan Ma Sanbao, dalam penaklukan itu masih berusia muda dan ditangkap dan dijadikan seorang  kasim (abdi/budak) San Bao. Dalam dialek Fujian biasa diucapkan San Po, Sam Poo, atau Sam Po.

Tentang nama Sampo itu, cukup dikenal di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah.  Untuk diketahui, di Semarang, Jawa Tengah,  dalam inskripsi yang ditulis dalam bahasa Inggris, China dan Indonesia di klenteng Sam Poo Kong, laksamana kepercayaan Kaisar Yongle itu tercatat dua kali datang ke Semarang, yakni tahun 1406 dan 1416 M.

Klenteng Sampoo Kong di Semarang, berasal dari nama Cheng Ho. Orang-orang China perantauan di Semarang umumnya berasal dari Fujian atau Fukien. Dalam catata di klenteng itu Cheng Ho mendapat sebutan Sam Po Tay Djien atau Sampo Tao Lang, artinya Tuan besar Sampo.
Klenteng Sampoo Kong di Semarang, berasal dari nama Cheng Ho. Orang-orang China perantauan di Semarang umumnya berasal dari Fujian atau Fukien. Dalam catata di klenteng itu Cheng Ho mendapat sebutan Sam Po Tay Djien atau Sampo Tao Lang, artinya Tuan besar Sampo.

Klenteng Sampoo Kong itu berasal dari nama Cheng Ho. Orang-orang China perantauan di semarang umumnya berasal dari Fujian atau Fukien.  Dalam catata di klenteng itu Cheng Ho mendapat sebutan Sam Po Tay Djien atau Sampo Tao Lang, artinya Tuan besar Sampo.

Waktu datang ke Nusantara, Cheng Ho diiringi armada raksasa, terdiri 62 kapal besar dan belasan kapal kecil dengan mengangkut 27.800 awak kapal.

Orang kedua dalam pelayaran itu adalah Wang Jinghong, yang dalam pelayaran itu tiba-tiba sakit keras, akhirnya mendarat di pantai Simongan, Semarang, untuk menetap sementara.  Wang akhirnya menetap seterusnya dan menjadi cikal bakal warga Tionghoa di Semarang

Waktu Dinasti Yuan yang menguasai Yunnan ditaklukkan militer Dinasti Ming, usia Ma He atau Cheng Ho masih remaja baru 12 tahun.  Bersama pemuda lainnya ia ditawan dan dikebiri, kemudian dibawa ke Nanjing dan dijadikan kasim istana mengabdi pada Raja Zhu Di di istana Beiping (kini Beijing). Ketika menginjak dewasa, Ceng Ho tumbuh menjadi prajurit hebat yang berhasil memenangkan pertempuran melawan pasukan Kaisar Yunwen, dan mendudukkan Zhu Di sebagai  kaisar baru di Tiongkok.

Barangkali, Cheng Ho bisa disebut mewakili karakter etnis Hui yang datang ke daratan Tiongkok sebagai pedagang dan prajurit wajib militer.  Mereka dikenal suka menenteng senjata dan dikenal gesit dalam permainan pisau.  Selain itu, orang Hui juga dikenal sebagai muslim pekerja keras, tak pernah kelihatan santai, dan berapi-api dalam urusan perdagangan dan uang.

Hingga kini muslim dari etnis Hui tak pernah mengalami tekanan dari pemerintah setempat. Mereka bebas beribadah dan mengembangkan Islam, yang ditandai banyaknya masjid dibangun di Ningxia. Bahkan orang Hui mendapat perlakuan istimewa dari penguasa Tiongkok. Kedudukannya lebih istimewa dari semua minoritas non etnis Han.

Perempuan hui bekerja di mesin bordir di pabrik pakaian jadi Wan Ti Ni, yang mengkhususkan diri memproduksi pakaian Hui dan Islam tradisional, di Wuzhong, Cina. (foto: Adam Dean/The New York Times)
Perempuan hui bekerja di mesin bordir di pabrik pakaian jadi Wan Ti Ni, yang mengkhususkan diri memproduksi pakaian Hui dan Islam tradisional, di Wuzhong, Cina. (foto: Adam Dean/The New York Times)

Orang Hui mendapat kebebasan dan hak-hak istimewa dalam perdagangan. Masjid-masjid baru bebas dibangun di China oleh muslim Hui.  Sebab mereka sangat kooperatif dengan pemerintah setempat, dan tetap mendapat tempat di era Ketua Mao karena kemampuannya berdiplomasi dari Maoisme dan Islam. – bersambung