Cegah Perkawinan Anak melalui Edukasi Kesehatan Reproduksi

Perkawinan anak merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran hak anak

Plt. Deputi Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani, saat kegiatan Media Talk KemenPPPA di Jakarta, Jumat (12/05/22) / Foto: dok kemenpppa
image_pdfSimpan Sebagai PDFimage_printPrint

Upaya yang bisa dilakukan untuk cegah perkawinan anak bisa dimulai dari edukasi kesehatan reproduksi, baik kepada anak maupun orang tua

JAKARTA.LombokJournal.com ~ Upaya pencegahan perkawinan anak harus dimulai dari edukasi kesehatan reproduksi, baik kepada anak maupun orang tua. Itu dikatakan Plt. Deputi Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani, saat kegiatan Media Talk KemenPPPA di Jakarta, Jumat (12/05/22).

Kegiatan Itu merupakan upaya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang serius menyikapi maraknya kasus perkawinan anak. Misalnya, dengan mengintervensi di hulu melalui penguatan sumber daya manusia (SDM) berupa edukasi. 

BACA JUGA: NTB Bertekad Selesaikan 5 Pilar Sanitasi

“Perkawinan anak merupakan tantangan dalam pembangunan SDM dikarenakan memiliki dampak yang multiaspek dan lintas generasi. Selain itu, perkawinan anak juga merupakan bentuk pelanggaran hak anak yang dapat menghambat dalam mendapatkan hak-haknya secara optimal,” ujar Rini seperti dikutip di laman kemenpppa.go.id..

Perkara dispensasi kawin mengalami penurunan setiap tahunnya. Data penurunan itu tercatat di Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, sepanjang 2020-2022.  

Ada 52.095 perkara dispensasi kawin yang masuk di tahun 2022, sebanyak 50.748 diputuskan. 

Jumlah perkara yang masih tergolong besar itu menunjukkan, perkawinan anak masih banyak terjadi dilihat dari jumlah permohonan perkara dispensasi kawin yang masuk ke pengadilan.

“Meskipun data prevalensi perkawinan anak di Indonesia menunjukkan penurunan setiap tahunnya, masih banyak perkawinan anak dan remaja yang terjadi  tidak dapat dicatatkan karena tidak membawa perkara dispensasi kawin ke pengadilan. Diperlukan upaya sistemik dan terpadu dalam menekan angka perkawinan anak untuk mencapai target 6,94 persen pada tahun 2030,” tutur Rini.

BACA JUGA: Posyandu Keluarga Turunkan Angka Stunting dan AKIB di NTB

Ada banyak faktor yang ditengarai berkontribusi dalam perkawinan anak. Di antaranya faktor kemiskinan, geografis, pendidikan, ketidaksetaraan gender, masalah sosial, budaya, dan agama. Serta minimnya akses layanan dan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif. 

Rini menegaskan, edukasi kesehatan reproduksi menjadi kunci utama dalam memutus mata rantai perkawinan anak di Indonesia. Baik anak maupun orang tua harus mengerti, perkawinan anak memiliki dampak yang begitu besar bagi anak.

Mulai dari pendidikan, kesehatan, kemiskinan berlanjut sampai kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.

Menurutnya, tren perkawinan anak di Indonesia, penyebabnya bukan hanya kurangnya pemahaman bahaya serta ancaman dari perkawinan anak. Tapi juga dampak gerusan pergaulan bebas di kalangan anak dan remaja, yang beresiko pada Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).

“Edukasi terkait perkawinan anak yang dimulai dari kesehatan reproduksi menjadi penting dan perlu ditanamkan sejak dini pada anak-anak. Anak-anak perlu mengetahui bagian-bagian penting dari tubuh dan sistem reproduksi yang berdampak pada masa depannya,” jelas Rini.

Perkawinan anak merupakan isu bersama yang pencegahannya pun harus diselesaikan secara multi sektoral, holistik, komprehensif, terpadu, dan melibatkan banyak orang. 

BACA JUGA: Wagub NTB Jelaskan Upaya Mencapai Desa Gemilang

Cegah perkawinan anak, xebab perkawinan dan kehamilan anak memicu Obstetric Fistula, kerusakan pada organ intim perempuan penyebab kebocoran urin atau feses ke dalam vagina
Obstetric Fistula

Komplikasi medis 

Kepala Bagian Staf Medik Fungsional Ginekologi Onkologi Rumah Sakit Kanker Dharmais, dr. Widyorini Lestari Hardjolukito Hanafy SpOG.Subsp.Onk menjelaskan, perkawinan dan kehamilan anak memiliki risiko komplikasi medis. Baikterhadap ibu maupun anak yang dilahirkan itu.

“Anatomi tubuh anak perempuan belum siap menjalani proses mengandung dan melahirkan,” jelasnya.

Hal ini berisiko mengalami komplikasi medis baik pada ibu maupun pada anak. United Nations Population Fund (UNFPA) mencatat Obstetric Fistula sebagai kasus komplikasi medis persalinan usia anak yang sering terjadi. 

Obstetric Fistula merupakan kerusakan pada organ intim perempuan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. 

“Perempuan yang berusia kurang dari 20 tahun rentan mengalami Obstetric Fistula dan dapat terjadi akibat hubungan seksual di usia anak,” jelas Widyorini.

Dijelaskan, perkawinan anak yang kerap kali terjadi karena KTD diakibatkan minimnya pengetahuan akan kesehatan reproduksi dan risiko yang dihadapi. 

BACA JUGA: Wamenag Ajak Elit Bangsa Jadi Negarawan

Pencegahan KTD dapat dimulai dari edukasi kesehatan reproduksi, baik itu kontrasepsi dan ancaman penyakit menular seksual hingga kanker serviks, edukasi gizi, dan peran orang tua serta pendidikan formal. ***