Opini  

Bahasa Daerah Tersingkir oleh Bahasa Indonesia, dan Bahasa Indonesia Dianggap Kalah Bergengsi dibanding Bahasa Asing.

Oleh; Lalu Ramdan Hadi; Mahasiswa Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,      Universitas Muhammadiyah Mataram
image_pdfSimpan Sebagai PDFimage_printPrint
Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia bisa dimulai di rumah sehingga tak memotong proses pewarisannya

Bahasa merupakan cerminan dari identitas suatu bangsa. Identitas sangat erat kaitannya dengan suatu sikap dari karakter. Karakter yang dimaksud ialah suatu kecerdasan berbahasa yang meliputi kemampuan dalam memilah berbagai kata yang baik, untuk digunakan dalam berkomunikasi dan berinteraksi keseharian di lingkungan masyarakat.

Seiring perkembangan zaman dan era globalisasi, membuat bahasa  daerah dan bahasa Indonesia seakan terhipnotis dengan perkembangan tersebut.

Setiap libur akhir semester dan lebaran tiba, rumah kakek dan nenek di salah satu kecamatan tanjung kabupaten Lombok Utara selalu dipenuhi para keponakan. Sebagian telah duduk di sekolah menengah pertama, sebagian lagi masih di sekolah dasar. Mereka berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik dengan orang tua maupun dengan keluarga lainnya.

Orang tua mereka seratus persen penutur bahasa Sasak. Namun tak seorang pun dari para keponakan itu fasih berbahasa Sasak.

Dulu, saat saya seusia mereka, kondisinya terbalik. Jika saya dan teman-teman saya ada yang berbicara bahasa Indonesia di luar jam pelajaran sekolah, pasti diolok-olok. Dianggap meniru gaya orang kota.

Di rumah, bahasa yang dipakai orang tua kami untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya adalah bahasa Sasak. Ada proses pewarisan Bahasa Daerah, bahasa ibu, atau dalam  Bahsa Sasak nya “inaq”, yang kini mulai ditinggalkan para pasangan muda saat berkomunikasi dengan anak-anak mereka, dan Proses pewarisan terputus. Anak-anak hanya memungut Bahasa Daerah dari lingkungan di luar rumah. Kemahiran berbahasa daerah semakin merosot.

Sekali waktu saya pernah ke rumah tetangga, saat itu saya mengirim undangan acara rowah atau biasa orang Sasak menyebutnya mensyilak, Kemudian saat itu saya mendengar anak pertamanya itu mentuturkan terima kasih kepada ayahnya, ia menggunakan bahasa Inggris. Juga  adiknya yang berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Inggris.

Ketika itu saya bertanya-tanya, kenapa bapak tidak mengajarkan anak-anak bapak  dalam berbahasa daerah atau berbahasa Sasak ?

Dan tetangga saya mengatakan, bahwa mereka tidak biasa brabahasa Sasak karena mereka lama hidup di luar negeri. Namun alasan itu buru-buru saya tanggapi, sebab guru saya tinggal lama di Arab Saudi, malah anak-anaknya lahir di Arab Saudi, semuanya mampu berbahasa Sasak.

Kita tahu, alasan ketakutan seperti contoh di atas tak dapat dilekatkan ke dalam konteks kiwari dalam penolakan menggunakan bahasa daerah. Perkara lain yang paling memungkinkan dijadikan alasan oleh para orang tua adalah soal keefektifan.

Anak-anak menghabiskan sebagian hidup di sekolah dan lingkungan pergaulan mereka. Bahasa pengantar di sekolah adalah Bahasa Indonesia. Sementara di lingkungan pergaulan khususnya dalam kasus bahasa Sasak meski para orang tua mereka penutur bahasa Sasak, proses pewarisannya terputus, sehingga mereka lagi-lagi menggunakan bahasa Inggris,setengah bahasa Indonesia.

Alasan tersebut masuk akal. Sah-sah saja jika ia menghindari kerepotan mengajarkan bahasa Sasak, di tengah keseharian yang hampir sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia.

Namun sejak 2008 penggunaannya semakin terbatas. Pers yang mempertahankan penggunaan bahasa daerah hampir semuanya sekarat. Lagu-lagu pop daerah lebih lebih dekat ke ragam lisan daripada tulisan.

Sejumlah sensus menyiratkan bahwa sejak awal kemerdekaan, Bahasa Indonesia berkembang tanpa menyebabkan kemunduran bahasa-bahasa daerah. Sehingga kedwibahasaan seolah-olah menjadi norma dalam kemampuan berbahasa di Indonesia.

Tapi, pernyataan tentang bahasa-bahasa daerah ini banyak berlandas pada gambaran resmi sesaat yang ketepatannya sulit diukur, sementara pengamatan di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda. Terjadi kemunduran bahasa-bahasa daerah, baik di wilayah-wilayah pinggiran atau yang lebih dekat pusat.

Jika ditimbang dari sudut tersebut, soal penggunaan Bahasa Daerah sebagai bahasa ibu dalam percakapan di keluarga, pada akhirnya tergantung kepada sesuatu yang lebih bersifat emosional, yaitu perasaan terhubung dengan  leluhur.

Contoh untuk kondisi ini telah disinggung sebelumnya, tentang keluarga guru saya yang tinggal lama di Arab Saudi dan tetap menggunakan Bahasa Sasak dan Bahasa Indonesia di rumah. Tak ada pertimbangan keefektifan, juga tak ditakar oleh mangkus tidaknya bahasa tersebut. Dan Anaknya yang paling besar berkata kepada saya, sebetulnya bahasa utama mereka adalah Bahasa Arab (sebab lahir, tumbuh, dan sekolah di Arab ), tapi karena orang tua dan saudara-saudaranya di rumah menggunakan bahasa Sasak, ia pun mampu menggunakan bahasa tersebut,” imbuh anak guru saya.

Dalam masyarakat dwi bahasa, fungsi bahasa  memang berbeda-beda. Dan seperti dituturkan sebelumnya, di Indonesia posisi Bahasa Daerah memiliki fungsi yang lebih rendah daripada Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Hal ini kemudian melahirkan prestise berbahasa yang berbeda-beda.

Bahkan, secara ironis, mereka menyebut sebagai bahasanya orang-orang dari dunia luar,

Penjelasannya tentang tingkatan gengsi bahasa, jika ditarik ke dalam kondisi penggunaan Bahasa Daerah hari ini di Indonesia, bisa jadi menjadi salah satu alasan para orang tua dalam menggunakan Bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan anak-anak mereka, alih-alih menggunakan Bahasa Daerah.

Sebaliknya tentang penyakit “nginggris” yang merasuki orang Indonesia, khususnya kalangan terpelajar, yang menurutnya, semestinya lebih mengerti konteks sejarah yang mengiringi lahir dan tumbuhnya bahasa Indonesia.

Anehnya lagi, orang merasa berprestasi  tinggi jika dia dapat berbahasa Inggris dengan baik, yakni bahasa yang memiliki fakta keinternasionalan. Sebaliknya, orang merasa berprestasi rendah jika hanya dapat berbahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia menjadi tidak karuan karena pemakainya, terutama kalangan terpelajar, dalam bercakap maupun menulis, tampak seperti kesurupan, jor-joran, menghias Bahasa Indonesia dengan kata-kata, istilah-istilah, bahkan kalimat-kalimat tertentu bahasa Inggris. Tidak jelas apa maunya, apakah supaya kelihatan pintar, kelihatan cendekia, ataukah sekadar menunjukkan bakat genit dan kebolehan bersolek?. Contoh terjadi di Kalangan artis. Di sosial media lebih tempatnya di YouTube, beberapa artis  berkomunikasi dengan anak-anak mereka menggunakan bahasa asing, sedangkan di negara kita tercinta ini menggunakan Bahasa Indonesia.

Berbagai penyebab pergeseran pemakaian bahasa Indonesia tidak hanya disebabkan oleh masuknya berbagai bahasa Asing, tetapi juga disebabkan oleh adanya berbagai permasalahan dalam Bahasa Daerah dan pengaruh bahasa gaul. Sekarang ini bahasa Asing hampir disemua sektor kehidupan sering digunakan daripada Bahasa Indonesia. Menggunakan bahasa Asing di zaman modern seperti sekarang ini memang sangat diperlukan khususnya untuk para generasi muda. Sebab bahasa Asing menjadi model utama dalam mencapai cita-cita yang telah diimpikannya.

Pada generasi muda sekarang ini, mendalami pelajaran bahasa Indonesia hanya dianggap cukup, ketika berada di bangku sekolah SMA. Alasan yang sering mereka ungkapkan adalah sebagai orang Indonesia tentu sudah pasti mampu untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Jika hal ini terus bergulir dan dibiarkan begitu saja, maka cepat atau lambat Bahasa Indonesia akan menjadi terpinggirkan dengan adanya berbagai bahasa Asing. Tidak adanya filterisasi terhadap akulturasi budaya yang masuk ke Indonesia merupakan salah satu dampak yang menjadikan maraknya penggunaan bahasa Asing di kalangan masyarakat.

Keanekaragaman bahasa yang ada di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke perlu dijadikan sebagai bahan dalam pemacu bangsa Indonesia untuk bisamelestarikan budaya sendiri. Hal tersebut harus dibarengi dengan penanaman rasa kecintaan terhadap bahasa Indonesia yang lebih, melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia dengan cara pendekatan dan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman, agar mereka lebih mudah menerimanya,

Menurut Saya , kenyataan sintesis kebahasaan tersebut seolah-olah tidak tersanggahkan. Namun dalam kerangka pembinaan dan pembakuan bahasa, kenyataan kebahasaan ini merupakan spesimen pelanggaran yang perlu diperbaiki.

Dalam semangat pemeliharaan dan pemajuan Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia, kenyataan ini tentu menjadi catatan yang mesti diperhatikan. Memang bukan hal mudah untuk memperbaikinya, namun setiap orang yang masih peduli setidaknya bisa mempertimbangkan usul saya dalam Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia bisa dimulai di rumah sehingga tak memotong proses pewarisannya. ***