Akhirnya, Sekolah 5 Hari Dalam Seminggu Dibatalkan Presiden

Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Ma’ruf Amin didampingi Mendikbud, Muhadjir Effendy, menyampaikan pembatalan presiden terkait kebijakan sekolah lima hari dalam seminggu, Senin (19/6) (foto: Dok Kompas)

Setelah mendapat penolakan banyak pihak, program 8 jam belajar atau sering disebut sekolah 5 hari dalam seminggu, yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 23 Tahun 2017, akhirnya dibatalkan Presiden Jokowi

lombokjournal.com —

Keputusan untuk membatalkan sekolah 5 hari dalam seminggu itu, diambil presiden setekah memanggil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Ma’ruf Amin ke istana,  Jakarta hari Senin (19/6)

Ma’ruf Amin yang didampingi Muhadjir Effendy kepada wartawan mengatakan, Presiden Jokowi merespons aspirasi yang berkembang di masyarakat, dan memahami keinginan masyarakat dan ormas Islam.

“Oleh karena itu, presiden akan melakukan penataan ulang terhadap aturan itu,” kata Ma’ruf Amin menjelaskan pembatalan kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter yang digagas Menteri Pendidikan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan diganti dengan peraturan presiden.

Dikatakan, ormas Islam seperti MUI, PBNU dan Muhammadiyah akan diundang untuk dimintai masukan dalam menyusun aturan. Masalah-masalah yang krusial di dalam masyarakat akan ditampung dalam aturan yang akan dibuat itu.

Kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter yang mengubah waktu sekolah menjadi 5 hari dan 8 jam per hari mendapatkan penolakan dari sejumlah kalangan, termasuk dari ormas PBNU.

Suara penolakan itu misalnya disuarakan kalangan pondok pesantren yang menilai kebijakan Menteri Muhadjir dinilai tidak cocok diterapkan di wilayah pedesaan. Kondisi di desa berbeda dengan di kota. Di desa, sepulang sekolah formal, anak- anak bisa langsung bertemu orang tuanya, dan melanjutkan pendidikan di madrasah diniyah.

Kalau di kota, kecendrungannya orang tua sibuk semua, sehingga anak-anak jarang bertemu usai pulang sekolah.

“Sehingga, wajar jika kebijakan itu didukung oleh orang tua di kota, karena mereka berpikir akan lebih baik, anaknya berada di sekolah dengan waktu yang lebih lama,” kata Ubaidillah Amin Mochammad, pengasuh Pondok Pesantren An Nuriyah di Desa Kaliwining, Kecamatan Rambipuji, Jember, Jawa Timur, Sabtu.

Namun di wilayah pedesaan, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan berdagang. Waktu mereka cukup banyak untuk membimbing langsung anak-anaknya. Karena itu diharapkan kebijakan itu dikaji ulang.

Sebelumnya, Bupati Tegal Ki Enthus Susmono juga mengatakan, Pemerintah Kabupaten Tegal menolak kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan perihal sekolah lima hari. Menurutnya, kebijakan itu akan mematikan pendidikan madrasah dan Taman Pendidikan Alquran (TPQ) karena siswa pulang sekolah lebih sore.

Terkait sikap penolakannya itu, Ki Enthus yang juga dikenal sebagai dalang kondang itu, mengaku siap mendapatkan hukuman apa pun kalau sikapnya dianggap salah.

Gubernur NTB, TGH M Zainul Majdi juga menyatakan sikapnnya untuk mengkaji terlebih dahulu kebijakan sekolah 5 hari itu.  Kepada wartawan, beberapa waktu lalu, gubernur mengingatkan Pemerintah Pusat hati-hati menerapkan aturan yang bisa menimbulkan kontradiksi di daerah.

“Peningkatan kualitas pendidikan lebih penting daripada memangkas hari,” katanya.

Rr