Adaptasi Antigone dalam Kelokalan Lombok (1)

Bengkel Aktor Mataram atau Teater BAM pentaskan tragedi Yunani kuno Antigone karya Sophocles

Penekanan kelokalan Lombok dalam lakon Dende Tamari, merupakan bukti bahwa tragedi tidak pernah benar-benar berakhir
Bengkel Aktor Mataram atau Teater BAM kembali menghadirkan getaran yang khas, menggelar pementasan ke-63, adaptasi lakon Antigone dengan judul Dende Tamari, Sabtu, (25/10/25) Dende Tamari tidak lagi menjadi teks asing yang berdiri di atas menara Barat, melainkan tumbuh seperti benih yang menemukan tanah subur baru dalam kelokalan Lombok / Foto : Mantra
image_pdfSimpan Sebagai PDFimage_printPrint

Maka dalam adaptasi lakon Dende Tamari bukan dari keinginan meniru Antigone, melainkan dari dorongan memahami kembali makna tragedi dalam konteks lokal

 

Melalui karya adaptasi Frnfr Tamari, BAM memperlihatkan bahwa teater bukan warisan barat, melainkan warisan manusia
Catatan : Agus K. Saputra

MATARAM.LombokJournal.com ~ Di tengah rutinitas kehidupan teater di Mataram, Bengkel Aktor Mataram atau Teater BAM kembali menghadirkan getaran yang khas. Pada 25 Oktober 2025, mereka mengumumkan pementasan ke-63, adaptasi lakon Antigone dengan judul Dende Tamari. 

Di bawah arahan sutradara Kongso Sukoco, adaptasi lakon ini menjelma menjadi ruang baru bagi eksplorasi teater lokal—sebuah tafsir atas tragedi Yunani kuno Antigone karya Sophocles, yang kini ditanamkan ke dalam tanah budaya Lombok.

Proses panjang BAM yang telah mencapai lebih dari enam puluh pementasan tentu bukan perjalanan yang singkat. Di setiap lakon, ada pergulatan ide dan bentuk, ada pertemuan antara yang klasik dan yang kontemporer, antara yang lokal dan yang universal. 

Namun, Dende Tamari terasa istimewa karena ia tidak hanya menyentuh sisi dramatik, tetapi juga menyentuh kesadaran spiritual dan moral dari masyarakat tempat lakon ini tumbuh.

Kongso Sukoco, yang melakukan adatasi lakon ini dikenal tekun dalam proses, selalu menegaskan bahwa teater bukan sekadar tontonan. “Teater adalah ruang kesadaran,” ujarnya. Bagi Kongso, di atas panggung manusia belajar menjadi dirinya sendiri; ia bercermin kepada zaman, kepada luka dan keberanian yang dibawanya. Teater bukan tempat untuk bersembunyi di balik peran, tetapi justru untuk menyingkap lapisan terdalam dari kemanusiaan.

Maka adaptasi dalam lakon Dende Tamari lahir bukan dari keinginan meniru Antigone, melainkan dari dorongan memahami kembali makna tragedi dalam konteks lokal. 

Dalam teks asli Sophocles, Antigone adalah sosok perempuan muda yang menentang titah Raja Kreon, karena ia ingin memakamkan saudaranya, Polyneikes, dengan layak. Tindakan itu melahirkan tragedi, karena perlawanan Antigone bukan semata politik, melainkan moral dan spiritual.

Namun dalam adaptasi Kongso, Antigone menjelma menjadi Dende Tamari—seorang perempuan Lombok yang berakar pada tanah, adat, dan keyakinan masyarakatnya. Ia bukan hanya melawan karena cinta pada keluarga, melainkan karena ia ingin menegakkan martabat manusia yang tertindas oleh kekuasaan. 

Dalam tubuh Dende Tamari, terkandung jejak ibu, suara tanah, dan keberanian menjaga nilai yang diyakini suci.

Perempuan di Pusat Tragedi dan Harapan

Mengapa perempuan? Pertanyaan ini menjadi jantung dari tafsir Kongso Sukoco. 

Dalam masyarakat kita, perempuan kerap ditempatkan di pinggiran sejarah, tetapi justru dari sana mereka menyimpan kekuatan paling purba—kesetiaan pada kehidupan.

Dende Tamari bukanlah tokoh yang berteriak lantang, melainkan yang berdiri tegak dalam diamnya. Ia adalah wajah dari keberanian yang halus, yang menolak tunduk pada kekuasaan semena-mena. Dalam banyak lapisan masyarakat Lombok, perempuan sering menjadi penjaga moral keluarga dan adat, walau tidak selalu diberi tempat dalam ruang politik. Namun dari merekalah, sesungguhnya, kekuatan moral sebuah komunitas bertumpu.

Dalam interpretasi ini, Kongso memperlihatkan bagaimana tragedi tidak harus keras dan heroik seperti dalam versi Yunani. Ia bisa hadir dalam bentuk yang lirih, dalam tubuh seorang perempuan yang berjalan pelan menuju kubur saudaranya, di tengah ancaman dan larangan. Dari gestur kecil itu, lahir perlawanan yang sangat manusiawi.

Dalam adaptasi lakon tragedi ini menemukan makna barunya: bukan semata kejatuhan tokoh besar, tetapi pergulatan batin manusia biasa. Dende Tamari menjadi kisah tentang benturan dua kebenaran—antara hukum yang dibuat manusia dan hukum yang berasal dari nurani. Kongso meyakini, ketika hukum kehilangan roh kemanusiaannya, maka tragedi pun lahir.

Tragedi itu bukan hanya milik panggung, melainkan milik kita semua, yang hidup di tengah tatanan sosial di mana kekuasaan sering kali menutup mata terhadap nurani.

Latihan lakon adaptasi Dende Tamari

Salah satu keunikan Dende Tamari terletak pada pencarian bahasa tubuh lokal. Dalam proses latihan, Kongso dan para aktornya tidak bergantung pada metode Stanislavski atau Brecht semata. Ia mengajak para pemainnya untuk menelusuri gerak yang tumbuh dari keseharian masyarakat Lombok.

Bahasa tubuh Dende Tamari bukan bahasa yang “dipelajari”, melainkan yang “ditemukan kembali.” Seorang aktor, misalnya, diminta mengamati cara seorang perempuan menenun, cara seorang ibu menunduk ketika berdoa, atau bagaimana seorang dukun tua berjalan ke sumber air. Semua gerak itu kemudian menjadi “materi tubuh”—bukan sekadar ilustrasi, tetapi kekuatan dramatik yang lahir dari akar kebudayaan.

Pendekatan ini membuat tubuh aktor menjadi arsip hidup, menyimpan pengalaman sosial masyarakat Lombok. 

Ketika Dende Tamari bergerak di panggung, ia membawa seluruh ingatan itu bersamanya. Penonton pun melihat lebih dari sekadar kisah Antigone yang ditransformasikan; mereka melihat diri mereka sendiri, kebiasaan mereka, dan sejarah yang mereka warisi tanpa sadar.

Bagi Kongso, tubuh aktor adalah teks kedua. Ia membaca dunia, lalu menulis ulang pengalamannya dengan gestur, nafas, dan irama. Di sinilah letak “lokalitas” teater BAM: ia tidak sekadar menempelkan atribut lokal, tetapi menghidupkan kembali tubuh lokal sebagai pusat kesadaran estetik.

Tembang, Doa, dan Nyanyian Leluhur

Selain bahasa tubuh, tembang dan nyanyian tradisi menjadi jantung pertunjukan Dende Tamari. Dalam teater BAM, musik tradisi tidak berfungsi sebagai latar, tetapi sebagai roh yang menuntun emosi dan ritme adegan.

Kongso menempatkan penyanyi tradisi sebagai bagian dari narasi. Ia tidak hanya menyanyikan lagu, tetapi juga “berbicara” kepada penonton dengan bahasa simbolik. Kadang suara itu terdengar seperti doa yang dipanjatkan kepada leluhur, kadang seperti jeritan yang datang dari masa lalu.

Tembang menjadi ruang di mana dunia spiritual dan dunia nyata saling berpapasan. Ia menandai momen-momen transenden di mana batas antara kehidupan dan kematian, antara sakral dan profan, menjadi kabur. 

Ketika Dende Tamari menguburkan saudaranya, tembang itu menggema, seperti doa yang terbit dari tanah.

Melalui musik tradisi, Dende Tamari menyentuh lapisan terdalam pengalaman penonton. Ia bukan hanya mengisahkan tragedi moral, tetapi juga memanggil ingatan kolektif masyarakat Lombok — tentang ritus kematian, tentang kesetiaan keluarga, dan tentang keyakinan bahwa setiap jasad harus kembali ke bumi dengan hormat.

Dalam Dende Tamari, tragedi klasik Yunani menemukan rumah barunya di Lombok. Ia tidak kehilangan makna universalnya, justru menemukan kehidupan baru dalam konteks lokal.

Melalui adaptasi lakon tragedu Yunani itu Kongso berhasil menunjukkan bahwa karya besar dunia dapat bertumbuh di tanah Nusantara tanpa kehilangan akarnya. 

Dengan memadukan tubuh lokal, nyanyian tradisi, dan nilai moral yang hidup di masyarakat, ia menanam Antigone di tanah sendiri — membiarkannya tumbuh menjadi Dende Tamari yang harum dan getir.

Melalui karya ini, BAM memperlihatkan bahwa teater bukan warisan barat, melainkan warisan manusia. Ia hidup di mana pun manusia berani berkata “tidak” terhadap kekuasaan yang menindas.

Dan di tengah dunia yang makin bising oleh propaganda, adaptasi lakon Dende Tamari seperti bisikan yang lembut namun tegas: bahwa kemanusiaan harus terus dirawat — di panggung, di tubuh, di hati kita.

#Akuair–Ampenan, 23 Oktober 2025