Kelokalan Lombok; Transformasi dari Antigone ke Dende Tamari (2)

Kisah klasik Yunani tak lagi menjadi teks asing di atas menara Barat, menjadi benih yang menemukan tanah subur dalam kelokalan Lombok

Penekanan kelokalan Lombok dalam lakon Dende Tamari, merupakan bukti bahwa tragedi tidak pernah benar-benar berakhir
Bengkel Aktor Mataram atau Teater BAM kembali menghadirkan getaran yang khas, menggelar pementasan ke-63, adaptasi lakon Antigone dengan judul Dende Tamari, Sabtu, (25/10/25) Dende Tamari tidak lagi menjadi teks asing yang berdiri di atas menara Barat, melainkan tumbuh seperti benih yang menemukan tanah subur baru dalam kelokalan Lombok / Foto : Mantra
image_pdfSimpan Sebagai PDFimage_printPrint

Bengkel Aktor Mataram atau Teater BAM tidak hanya mengalihkan teks Sophocles, tapi juga melakukan “penanaman ulang makna”, bertransformasi dalam kelokalan Lombok 

 

Melalui karya adaptasi Frnfr Tamari, BAM memperlihatkan bahwa teater bukan warisan barat, melainkan warisan manusia
Catatan : Agus K. Saputra

MATARAM.LombokJournal.com ~ Transformasi Antigone ke dalam konteks Lombok bukan hanya tindakan artistik, melainkan juga tindakan politis yang mendalam. 

Di tangan Bengkel Aktor Mataram (BAM) dan sutradara Kongso Sukoco, kisah klasik Yunani itu tidak lagi menjadi teks asing yang berdiri di atas menara Barat, melainkan tumbuh seperti benih yang menemukan tanah subur baru di tubuh budaya lokal, khususnya kelokalan Lombok. 

Dari tanah itu, tragedi Yunani menumbuhkan bunga-bunga dengan aroma dan warna khas Nusantara: spiritualitas, adat, dan relasi sosial yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Lombok.

Kongso tidak sekadar menerjemahkan teks Sophocles. Ia melakukan sesuatu yang lebih mendasar: “penanaman ulang makna”, bertransformasi dalam kelokalan Lombok.

Ia menolak untuk tunduk pada pandangan kolonial yang sering menempatkan teks-teks Barat sebagai pusat. Sementara tradisi lokal, misalnya kelokalan Lombok,  hanya berfungsi sebagai pelengkap eksotis

Dalam Dende Tamari, yang universal menjadi lokal, dan kelokalan Lombok menjelma universal. Di situlah letak kekuatan adaptasi ini: ia tidak memuja sumbernya, melainkan berdialog dengan kritis.

Lakon ini menunjukkan bahwa teater bukan sekadar tiruan atau penerjemahan, tetapi bentuk negosiasi nilai budaya. Ketika Antigone berpindah dari tanah Thebes ke tanah Lombok, ia tidak kehilangan rohnya—ia justru mendapatkan kehidupan baru. 

Dende Tamari, sang tokoh perempuan, bukan hanya pantulan Antigone, tetapi juga wujud nyata perempuan Lombok yang hidup di tengah adat, agama, dan kekuasaan patriarki.

Tragedi sebagai Cermin Sosial

Kongso memahami tragedi bukan sebagai kisah kehancuran, tetapi sebagai jalan menuju kesadaran. Dalam pandangannya, tragedi selalu mengandung pertanyaan: sejauh mana manusia sanggup mempertahankan kemanusiaannya di tengah tekanan kekuasaan dan hukum yang kaku? 

Ketika seseorang jatuh karena mempertahankan prinsipnya, ia sesungguhnya sedang menyingkapkan kemurnian manusia yang paling sejati.

Dalam Dende Tamari, tragedi menjadi cermin bagi masyarakat kita hari ini. Kita masih menyaksikan bagaimana kekuasaan bisa menentukan siapa yang hidup dan siapa yang harus dilenyapkan, siapa yang dimuliakan dan siapa yang dihapus dari sejarah. Kekuasaan yang kehilangan nurani selalu melahirkan penderitaan. 

Di tengah kondisi seperti itu, Dende Tamari tampil sebagai simbol: ia melawan bukan dengan kekuatan senjata, tetapi dengan keberanian moral.

Kehadiran lakon yang mengusung kelokalan Lombok ini, di tengah masyarakat Lombok menjadi relevan, karena ia memotret relasi kuasa yang hidup di antara hukum adat, agama, dan politik lokal. 

Dende Tamari menolak tunduk pada tatanan yang semena-mena, tetapi ia tidak kehilangan kesantunan. Perlawanan yang ia lakukan bukan bentuk pemberontakan destruktif, melainkan ekspresi dari cinta dan kesetiaan pada nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi kehidupan.

Kongso percaya bahwa setiap karya seni harus berpijak pada tanah di mana ia berdiri. Karena itu, Dende Tamari dihadirkan dalam kelokalan Lombok.

  1. Tembang/nyanyian tradisi: suara penyanyi tradisi bukan hanya latar bunyi, tetapi jantung pertunjukan. Ia mengalun seperti doa, sekaligus jeritan, mengikat penonton pada akar leluhur mereka.
  2. Kostum lokal: kain-kain tradisional menjadi penanda identitas, sekaligus simbol keberanian. Setiap lipatan kain menyimpan cerita, setiap warna merekam makna. Kostum tidak sekadar busana, melainkan bahasa visual yang menggemakan keanggunan sekaligus perlawanan.
  3. Ruang tubuh & gestur: saya membiarkan aktor bergerak dengan bahasa tubuh yang berakar pada keseharian lokal, pada gestur yang lahir dari tradisi, bukan dari tiruan barat.

Dengan begitu, Dende Tamari bukan hanya terjemahan Antigone ke dalam bahasa Indonesia, tetapi sebuah transformasi yang menanam tragedi klasik di tanah Nusantara, lalu membiarkannya tumbuh dalam kelokalan Lombok..

Estetika Dende Tamari tidak lahir dari imitasi Barat. Sebaliknya, ia berakar dari tubuh dan ingatan masyarakat Lombok itu sendiri. Bahasa tubuh aktor, ritme gerak, hingga tembang yang mengiringi setiap adegan, semua menggali dari tradisi lokal. Ketika para aktor menunduk, menenun, atau melangkah di panggung, tubuh mereka memanggil kembali memori kolektif masyarakat yang nyaris hilang: tentang ibu, tentang tanah, tentang spiritualitas yang sederhana namun dalam.

Kongso menjadikan tubuh aktor sebagai wadah ingatan. Ia memperlakukan gerak bukan sebagai ekspresi formal, melainkan sebagai bentuk doa. Tembang tradisional yang mengalun dalam pertunjukan tidak sekadar menjadi latar bunyi, tetapi menjadi “napas” pertunjukan. 

Kadang ia bergetar seperti ratapan, kadang mengalun seperti doa, menghadirkan suasana magis yang membuat penonton merasa sedang berada di antara dunia nyata dan dunia batin.

Dalam konteks ini, Dende Tamari menjadi ruang di mana estetika dan etika bertemu. Keindahan yang hadir di atas panggung bukan semata keindahan visual, melainkan keindahan moral: keindahan tentang keberanian, kejujuran, dan pengorbanan.

Dende Tamari bukan sekadar sebuah pertunjukan. Ia adalah pernyataan politik—sebuah kesaksian bahwa seni masih bisa menjadi ruang perlawanan yang indah. Di tengah dunia yang bising oleh propaganda, media sosial, dan kekuasaan yang saling berebut narasi, teater seperti ini menjadi ruang sunyi di mana manusia dapat kembali berdialog dengan nuraninya sendiri.

Kongso dan BAM menegaskan bahwa teater tidak boleh tunduk pada pasar atau sekadar menjadi hiburan. Ia harus menjadi ruang refleksi, ruang pendidikan batin, dan ruang kesadaran sosial. Panggung adalah tempat manusia menelanjangi dirinya, tempat di mana nilai-nilai diuji, dan tempat di mana kebenaran dipertaruhkan.

Ketika Dende Tamari memilih untuk tetap setia pada keyakinannya meskipun tahu konsekuensinya adalah kematian, ia sedang menunjukkan bentuk tertinggi dari keberanian moral. Ia membuktikan bahwa keindahan sejati tidak selalu terletak pada kemenangan, tetapi pada keteguhan hati untuk tetap berpegang pada nurani.

Tonggak Perjalanan Bengkel Aktor Mataram

Sebagai karya ke-63 dari perjalanan panjang Teater BAM, Dende Tamari menandai kedewasaan artistik dan konsistensi ideologis Bengkel Aktor Mataram. Sejak berdirinya, kelompok ini telah menjadi laboratorium kreatif yang berani menggali akar budaya lokal untuk berdialog dengan dunia. 

Dalam setiap karyanya, mereka menunjukkan bahwa teater bukanlah ruang nostalgia, tetapi arena untuk memproduksi makna baru.

BAM tidak sekadar mementaskan lakon, tetapi membangun wacana terkait kelokalan Lombok. Mereka membuktikan bahwa teater bisa menjadi wadah bagi kritik sosial dan spiritualitas sekaligus. 

Dalam Dende Tamari, segala elemen teater — naskah, tubuh, musik, dan ruang — disatukan dalam satu kesadaran artistik yang utuh.

Bagi generasi muda teater di Lombok, Dende Tamari adalah pelajaran yang tak ternilai. Ia mengajarkan bahwa teater bukan sekadar tempat bermain peran, melainkan ruang untuk meneguhkan keberpihakan pada manusia. 

Ia juga mengingatkan bahwa kreativitas sejati tidak selalu berarti sesuatu yang baru, tetapi sesuatu yang jujur pada akar budaya dan konteksnya.

benih yang menemukan tanah subur dalam kelokalan Lombok
Kongso Sukoco (baju biru) saat menyutradarai adegan Dende Tamari dalam kelokalan Lombok / Foto : Ags

“Saya persembahkan karya ini untuk semua yang masih percaya bahwa panggung adalah tempat kita merawat kemanusiaan,” kata Kongso. Kalimat itu bukan sekadar penutup, melainkan manifesto: bahwa seni masih punya tempat di dunia yang kehilangan arah moral.

Penekanan kelokalan Lombok dalam lakon Dende Tamari, merupakan bukti bahwa tragedi tidak pernah benar-benar berakhir. 

Ia terus hidup dalam tubuh-tubuh yang berani berkata “tidak” pada ketidakadilan, dan berkata “ya” pada kemanusiaan.

#Akuair–Ampenan, 24 Oktober 2025