Tengkulak membeli jagung petani dengan harga jagung sangat rendah karena Bulog lambat dalam menyerap hasil panen

Lombokjournal.com ~ Bagi sebagian petani jagung Nusa Tenggara Barat (NTB), bulan Januari-Mei ini adalah masa panen raya. Apa daya, harga jagung jauh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang telah ditetapkan sebesar Rp5.500 per kilogram.
Saat ini, harga jagung di lapangan sekitar Rp4.200 per kilogram. Bahkan kurang dari itu di beberapa tempat (Rp2.800 per kilogram). Kenyataan ini tentu bertolak belakang dengan harapan petani.
BACA JUGA : Festival Musik Internasional akan Digelar di Gili Air
Melihat kenyataan tersebut, Ketua Komisi II DPRD NTB H. Lalu Pelita Putra, buka suara. Sebagai bentuk keprihatinan dan empati.
“Kalau pemerintah tidak bisa membantu petani, lebih baik beri imbauan agar mereka tidak menanam jagung. Jangan beri harapan palsu, kasihan petani,” tegas Pelita (suarantb.com Senin, 21/04).
Menurutnya, semangat petani untuk menanam jagung dipicu oleh informasi yang menyebutkan bahwa pemerintah melalui Bulog akan menyerap hasil panen dengan harga layak.
Namun kenyataannya, Bulog disebut-sebut belum melakukan pembelian dengan alasan gudang penuh.
“Yang lebih memprihatinkan, kami mendapat informasi bahwa Bulog belum menyerap hasil panen dengan alasan kapasitas gudang penuh. Padahal, Presiden dan Menteri Perdagangan sudah menyampaikan secara tegas bahwa Bulog akan menyerap jagung petani,” ujar politisi PKB ini.
“Jangan sampai petani merasa dikhianati. Pemerintah harus hadir dan mendengar jeritan petani,” tegasnya.
Pemerhati Ekonomi Pembangunan NTB Giri Arnawa, dalam laman facebook-nya (Senin, 21/04) memberi analisa dan rekomendasi solusi penyebab anjloknya harga jagung tersebut. Setidaknya, ada tiga variabel penting yang harus diperhatikan untuk dicermati dan dimplementasikan.
BACA JUGA : Hari Kartini, Keterwakilan Perempuan Harus Dengan Prestasi
Pertama, penyebab harga jagung di bawah HPP. Hal ini disebabkan oleh:
Dominasi tengkulak dan ketidakefektifan penyerapan Bulog
- Tengkulak membeli jagung petani dengan harga sangat rendah (Rp2.800–Rp4.400/kg), jauh di bawah HPP Rp5.500/kg. Hal ini terjadi karena Bulog lambat dalam menyerap hasil panen, sementara tengkulak lebih cepat bergerak ke petani .
- Kapasitas gudang dan anggaran operasional Bulog terbatas, sehingga tidak mampu menyerap seluruh produksi jagung. Di NTB, Bulog hanya menargetkan penyerapan 78.000 ton dari total produksi 742.900 ton, mengandalkan swasta untuk distribusi ke Jawa Timur .
Ketidakstabilan pasokan dan permintaan
- Panen raya jagung di NTB (Januari–Mei 2025) meningkatkan pasokan, tetapi permintaan tidak seimbang. Harga internasional yang fluktuatif (USD 284,93/ton pada 2023) turut memengaruhi pasar lokal .
- Petani kesulitan mengakses pasar ekspor karena ketergantungan pada musim dan ketiadaan kontrak berkelanjutan dengan pembeli luar negeri .
Infrastruktur dan teknologi yang lemah
- Petani tidak memiliki alat pengering (dryer), sehingga jagung mudah rusak jika kadar air tinggi. Harga jagung basah lebih rendah (Rp3.300/kg) dibanding kering (Rp4.400/kg).
- Distribusi dari NTB ke Jawa terhambat antrean di pelabuhan dan biaya transportasi yang tidak efisien
Kebijakan HPP yang tidak ditegakkan
- Meski Gubernur NTB menjamin harga sesuai HPP, implementasi di lapangan lemah. Pengawasan pemerintah terhadap tengkulak dan pelaku pasar minim, sehingga pelanggaran HPP terus terjadi .
Kedua, analisis ekonomi yang meliputi:
Biaya produksi vs pendapatan petani
- Biaya produksi jagung meliputi benih, pupuk, dan tenaga kerja yang terus naik. Harga pupuk sulit dijangkau, dan petani hanya mendapat 2 karung dari jatah 1 ton .
- Dengan harga jual Rp4.200/kg, laba kotor petani hanya sekitar Rp1.000–Rp1.500/kg, belum termasuk biaya operasional dan utang. ROI ( Return on Investment ) menjadi tidak sepadan .
Dampak pada ketahanan pangan
- Rendahnya harga menyebabkan petani kehilangan motivasi bertanam jagung. Jika terus berlanjut, produksi jagung nasional—sebagai bahan baku pakan ternak—terancam turun, berpotensi memicu krisis pangan .
Ketimpangan rantai pasok
- Tengkulak menguasai 60–70 persen rantai pasok, sementara peran pemerintah/Bulog hanya 20–30%. Ini menciptakan ketergantungan petani pada tengkulak dan mematikan mekanisme pasar sehat .
Ketiga, rekomendasi solusi, yaitu:
Perkuat peran Bulog dan pengawasan Pemerintah
- Perluas kapasitas gudang Bulog dan percepat penyerapan jagung sesuai HPP. Contoh: Di Sumbawa, Bulog hanya menyerap 470 ton pada Mei 2024, padahal produksi mencapai ribuan ton .
- Sanksi pada tengkulak yang membeli di bawah HPP, seperti yang diusulkan Komisi IV DPR RI .
Modernisasi infrastruktur pertanian
- Dryer bersubsidi atau fasilitas pengeringan kolektif untuk meningkatkan kualitas jagung dan harga jual. Di Banten, penggunaan dryer mengurangi waktu pengeringan dari 3 hari menjadi 10 jam .
- Optimalkan tol laut dan perbaikan jaringan transportasi NTB-Jawa untuk menekan biaya distribusi .
Diversifikasi pasar dan pembiayaan petani
- Kemitraan petani dengan industri pakan ternak untuk penyerapan langsung (jgn hanya rencana saja)
- Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga 3 persen untuk pembelian teknologi pertanian.
Di akhir analisisnya, Giri Arnawa memberi kesimpulan bahwa anjloknya harga jagung di NTB dimungkinkan (asumsi, penulis) karena hasil dari kegagalan sistem distribusi, ketidaktegasan kebijakan, dan minimnya infrastruktur.
BACA JUGA : BPR NTB Harus Bantu Permodalan Masyarakat
Oleh karena itu, lanjut Giri, solusi berkelanjutan memerlukan kolaborasi multidimensi: pemerintah, swasta, dan petani. Jika tidak ditangani, masalah ini berpotensi menggerus ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani dalam jangka panjang.
#Akuair-Ampenan, 22-04-2025