Masih banyak yang menyangkal dan meragukan eksistensi komunitas masyarakat Adat Bayan di Lombok Utara dalam menjalankan nilai-nilai Islam

MATARAM.lombokjournal.com – Bedah buku ‘Masyarakat Adat Bayan Dalam Bingkai Islam Nusantara’ yang berlangsung di Auditorium Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Sabtu (30/09), menjadi dialog menarik antara akdemisi, tokoh-tokoh adat dan mahasiswa.
Dua pembicara masing-masing tokoh muda Adat Bayan, Raden Sawinggih, dan Wakil Rektor I UIN, DR Masnun Tahrir, menjelaskan tentang kesalahpahaman dalam menilai Adat Bayan. Sawinggih misalnya, menyinggung soal ‘Wetu Telu’ yang pemaknaannya terlanjur tergiring menjadi waktu pelaksanaan sholat dalam Islam, yang jelas bertentangan dengan sholat lima waktu.
“Wetu Telu sering diidentikkan dengan pelaksanaan sholat orang Bayan yang hanya tiga waktu,” kata Sawinggih.
Kesalapahaman itu membuat generasi muda Bayan enggan menjalankan adat. Sebab kesalahpahaman itu menimbulkan stigma, orang Bayan hanya menjalankan sholat tiga waktu. “Karena itu, adat wetu telu dianggap sebagai Islam sesat,” kata Sawinggih.
Menurut Koordinator Badan pekerja SOMASI NTB, Ahyar Supriyadi, pelabelan komunitas yang berbeda dalam menjalankan praktik ritual keagamaan, berawal dari tafsir yang salah. “Wetu Telu dimaknai sebagai Tiga Waktu. Tafsir itu tidak seirama dengan pemaknaan dari komunitas adat Bayan sendiri,” katanya saat menyampaikan sambutan sebelum diskusi.
Salah seorang tokoh adat Bayan, Itrawadi, yang hadir dalam bedah buku itu menjelaskan makna ‘wetu telu’. Menurutnya, makna Wetu Telu itu merupakan pembagian wewenang atau urusan dalam sistem kemasyarakatan. Khususnnya dalam urusan agama, pemerintahan dan adat.
Ditegaskan Sawinggih, Wetu Telu itu berarti Datu Telu, yakni Datu Agama, Datu Pemerintah dan Datu Adat.
Islam Nusantara
Buku berjudul ‘Dari Bayan Untuk Indonesia Inklusif’, 216 hal, diterbitkan SOMASI NTB, September 2016, ditulis oleh enam penulis secara keseluruhan merupakan ‘pembelaan’ terhadap eksistensi komunitas adat. Secara khusus di Bayan, selama ini masih ada kalangan meragukan eksistensi mereka dalammenjalankan nilai-nilai Islam.
Salah seorang penulis buku itu, Yusuf Tantowi mengatakan, praktik ritual adat tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebab penyebaran Islam di Lombok tak bisa dilepaskan dari keberadaan masyarakat adat.
Munculnya istilah Islam Nusantara hakekatnya memberi ruang bagi komunitas adat menyampaikan nilai dan praktik ritual keagamaan. “Istilah Islam Nusantara bukanlah istilah baru. Gus Dur pernah bicara tentang pribumisasi Islam,” kata Yusuf Tantowi yang bertindak jadi moderator dalam bedah buku tersebut.
DR Masnun Tahrir secara tegas mengungkapkan, nilai-nilai seperti dipraktikkan dalam ritual adat bisa dijadikan hukum. Sebab syariat/fiq Islam bisa didiskusikan dengan hukum yang berlaku dalam komunitas adat atau masyarakat lokal.
“Tidak ada alasan memarjinalkan adat. Sebab komunitas masyarakat adat bukanlah second class,” kata Masnun Tahrir.
KS