Umum  

Gerhana Matahari Total : Membuka Pengetahuan, Bukan Membuat Mitos

image_pdfSimpan Sebagai PDFimage_printPrint
IMG_20160309_073142
seorang ibu menyaksikan Gerhana Matahari
IMG_20160309_073344
anak-anak pun tak ketinggalan menyaksikan Gerhana Matahari

lombokjurnal.com

Nusa Tenggara Barat (NTB), memang tidak termasuk 11 provinsi — mulai dari Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Babel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara – yang menjadi lintasan Gerhana Matahari Total (GMT). Tapi menyambut GM (Kamis, 9/3/2016), masyarakat muslim di Lombok melakukan shalat gerhana atau shalat khusuf. Fenomena alam disambut ibadah sunnah, doa dan zikir di masjid-masjid.

Di beberapa kampung di Mataram, sejak pukul 07.30 wita, ibu-ibu dan anak-anak ikut menyaksikan gerhana matahari. Mereka tak melihat matahari langsung, tapi juga tak membeli kacamata khusus. Sebagian terlihat menggunakan film bekas foto rontgen. Melalui bagian gelap film rontgen itu bisa melihat bayangan bulan yang menutupi matahari, sehingga terlihat seperti bulan sabit. Pemandangan ini tak bisa dilihat dengan mata telanjang.

Sinar matahari terasa redup, karena sebagian sinarnya yang biasa langsung ke bumi terhalang bulan. Para ilmuwan menyarankan, melihat gerhana menggunakan kacamata matahari yang bisa meredupkan cahaya matahari 100.000 kali. Atau kacamata hitam yang bisa membantu meredupkan cahaya matahari. Atau kalau tidak punya, bisa menggunakan kaca dengan jelaga, atau disket.

Membuka Pengetahuan

ilustrasi GMT
ilustrasi GMT

NTB tidak termasuk daerah yang pernah menjadi lintasan sejak GMT tercatat di Indonesia pada tahun 1900. Sejak tahun 1900 wilayah Indonesia telah dilintasi sekitar 10 GMT, yaitu 18 Mei 1901 (di Sumatera Barat, Jambi, Kalbar,Kaltim, Sulteng dan Maluku), 14 januari 1926 (Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Kalbar), 9 Mei 1929 ( Aceh dan Sumatera Utara), 13 Februari 1934 (Sulawesi Utara dan Maluku Utara) 4 Februari 1962 (Palu dan Papua), 11 Juni 1983 (Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara dan Selatan, Papua), 22 November 1984 (Papua), 18 Maret 1988 (Sumatra Selatan, Bengkulu, Bangka), 24 Oktober 1995 ( Sangihe, Sulawesi Utara), dan 9 Maret 2016 (Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Babel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara).

Mungkin karena tak punya pengalaman menjadi lintasan GMT, di NTB hampir tak ada mitos tentang GMT. Sebagai gantinya, peristiwa alam itu dihubungkan dengan keadaan alam semesta melalui  ‘ajaran’ religius.

Alan Malingi dari Bima, pegawai Pemkab Bima yang dikenal banyak bergelut di dunia seni budaya, menulis status di akun facebook tentang GMT. “….merupakan sinyal berbenturannya benda-benda langit yang memberi tanda bahwa tata surya kita tidak stabil alias sudah semakin tua. Alquran sesungguhnya memberi tanda tentang proses berbenturannya sistim tata surya sebagai bukti akhir zaman….”

Seringkali peristiwa alam dihubungkan dengan akhir zaman. Proses berbenturannya tata surya, seperti ajaran Alquran yang disebutkan Alan Malingi, apa benar memang merujuk peristiwa GMT. Sebab peristiwa GMT bukanlah ‘berbenturannya sistim tata surya’ seperti dipahami Alan Malingi.

Gerhana matahari merupakan peristiwa di mana posisi Bulan, Matahari dan Bumi sejajar dan berada pada garis lurus. Bulan akan melintas di antara Matahari dan Bumi, untuk beberapa waktu cahaya Matahari ke Bumi akan terhalang bayangan Bulan. Ketika fase total itu terjadi bulan menutupi Matahari, korona Matahari akan tampak seperti menjulur dari pinggir bagian yang ditutupi Bulan.

Penyebaran mitos yang sering berbenturan dengan ilmu pengetahuan, tidak mengedukasi masyarakat agar bisa memahami fenomena alam secara lebih benar. Ketika GMT melintasi wilayah Jawa, Sulawesi dan Papua pada 1983, pemerintah Suharto melarang masyarakat melihat gerhana secara langsung karena dianggap menimbulkan kebutaan.

Padahal. semua itu tak lepas dari mitos tradisional maupun mitos modern bahwa memandang GMT membuat mata buta. Menurut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin, cahaya matahari ketika gerhana dan sehari-hari sama bahayanya. Jadi disarankan hanya melihat secara sekilas saja.

Wakil Presiden, Jusuf Kalla, mengoreksi kejadian tahun 1983, yang dianggapnya masyarakat diajarkan yang salah, untuk tidak bisa melihat dan harus tinggal di rumah. “Itu kesalahan besar. Oleh karena itu, dianjurkan justru untuk dilihat walaupun harus pakai kacamata khusus,” kata Jusuf Kalla akhir Februari.

Umumnya GMT berulangnya kejadian di suatu tempat, secara rata-rata itu di atas 300 tahun sekali. Sayang sekali kalau kita tidak menyaksikannya.
Rayne Qu (Dari berbagai sumber)