Indeks
Kisah  

Ramadhan Penuh Derita Bagi Pengungsi Suriah

Warga Suriah yang semula hidup damai bahagia, kini jadi pengungsi hina dan hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. (foto: Ist)
Simpan Sebagai PDFPrint

Perang dan kerusuhan politik selalu penuh cerita derita. Saat pertikaian bersenjata antara pemerintah Suriah dan oposisi membara, paling menderita adalah jutaan warga sipil yang tak berdosa. Warga Suriah yang semula hidup damai bahagia, kini jadi pengungsi hina dan hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.

lombokjournal.com —

Konflik dalam negeri Suriah yang berlangsung sejak Maret 2011, entah kapan akan berakhir.  Apa yang dihasilkan? Tercatat sekitar 320 ribu nyawa melayang sia-sia. Sekitar 5 juta warga Suriah atau sekitar seperempat populasi negara yang kekuatan militernya semula ditakuti Israel itu, menjadi pengungsi di tengah konflik yang masih membara.

Saat warga muslim di negara lainnya khusyu’ beribadah, dan tengah bersiap merayakan Idhul Fitri,  di barak-barak pengungsian pinggiran utara Aleppo dan Idlib lebih dari 900 ribu

dalam kecemasan serangan udara, pengepungan tentara pemerintah yang mengintai pejuang bersenjata dari kubu oposisi. Mereka hidup di bawah rasa lapar, kekurangan air bersih, dan kurangnya pasokan kebutuhan hidup sehari-hari.

Dan di akhir bulan Ramadan – dan itu terjadi sepanjang bulan Ramadhan — bom dan bentrokan bersenjata terjadi siang dan malam. Di tengan api pertempuran dasyat itu para pengungsi menjalani hidupnya sehari-hari.

Sebagian besar pengungsi merupakan keluarga pejuang oposisi bersenjata, yang dipaksa meninggalkan pinggiran kota Moadamiyah di Damaskus pada tanggal 19 Oktober 2016, menuju Idlib, di utara Suriah.

Bulan Desember 2016, pemerintah Suriah merebut kembali Aleppo dari pemberontak, dan kesepakatan evakuasi memberi tentara Suriah dan sekutunya menguasai kota setelah bertahun-tahun berperang.

Sejak tahun 2014, pemerintah Suriah maupun kelompok oposisi bersenjata mencapai serangkaian kesepakatan. Di sejumlah daerah yang terkepung, mengizinkan pejuang bersenjata untuk meninggalkan kota yang dikepung pemerintah ke daerah-daerah yang dikuasai oposisi di utara Suriah, di dekat Berbatasan dengan Turki

Di bawah kesepakatan evakuasi tersebut, ribuan pemberontak, bersama keluarga mereka, dipaksa menyingkir dari kampung halamannya.

Pemerintah memandang kesepakatan itu memberi kesempatan bagi warga sipil melarikan diri ke daerah aman. Tapi kelompok oposisi, aktivis, dan beberapa warga sipil menganggap itu bentuk pemindahan paksa. PBB mengatakan bahwa pemindahan paksa Aleppo timur merupakan “kejahatan perang”.

Keluarga pengungsi itu merindukan rumahnya, ingat bulan Ramadhan di rumah seperti biasa menyiapkan makanan berbuka puasa tiap hari, bersama keluarga, teman dan tetangganya, menikmatinya sebagai kesempatan bersuka cita.

Mereka merindukan rumah dan bau makanan yang khas.  Tapi saat ini semua berbeda. Mereka merindukan adzan untuk sholat dari masjid terdekat, suara “mosaharate” (sebutan orang yang berjalan dan memukul drum di daerah pemukiman) membangunkan orang untuk “sahur”.

Tapi mereka tidak tahu kapan harus pulang ke kampung halaman.

Rr

Exit mobile version