Indeks
Kisah  

Kisah Anak Majikan, Jadi Supir Tak Beruntung di Arab Saudi

ilustrasi - Pekerja Migran di Arab Saudi / Foto: IST

Kisah dan pengalaman Haris (34), saat bekerja sebagai TKI di Riyadh Arab Saudi, memberikan gambaran, tidak hanya TKW yang mengalami perlakuan buruk dari majikan. Naniek I Taufan menuliskan kisah nasib tak beruntung  seorang TKI

MATARAM.lombokjournal.com ~ Haris yang memilih melarikan diri dari rumah majikannya mengalami banyak hal tidak menyenangkan selama hampir tiga tahun menjadi TKI di negeri tersebut. 

Sebagai orang yang pernah hidup berlebihan saat ayahnya yang tinggal di Pulau Sumbawa kaya raya, ia pernah merasakan menjadi majikan. Namun, ketika usaha ayahnya terus surut, membuat ia memutuskan bekerja sebagai TKI demi kebahagiaan istri dan anak-anaknya. Ia pun rela saban hari diperintah untuk melakukan segudang aktivitas bekerja. Inilah kisah anak majikan yang akhirnya menjadi supir.

Perjalanan hidup manusia tidak selamanya berada di atas melainkan berputar. Dan ini pasti dialami oleh semua orang. Roda kehidupan itu akan terus berputar, hari ini susah besok atau ke depannya belum tentu susah terus namun bisa mendapat kesenangan. Demikian pula sebaliknya, hari ini senang besok dan selanjutnya belum tentu selalu senang, bisa jadi susah. Itulah yang dialami oleh Haris. Ia tinggal bersama orangtua yang berada dan memiliki banyak anak buah yang juga siap mengantarkan ia ke mana-mana. Lalu ketika ia bekerja di Riyadh Arab Saudi pada tahun 2012-2016  hal itu berbalik, Harislah yang mengantar anak-anak majikannya ke mana-mana. Ia menjadi supir pada sebuah keluarga berada di negeri Arab.

TKW yang dikabarkan hilang di Arab Saudi

Masa kecil Haris sangatlah bahagia. Ia dibesarkan dalam lingkungan berkecukupan dari ayah yang seorang pengusaha. Kehidupannya bersama kedua orang tua dan tiga saudaranya yang lain, jauh dari kekurangan. Bisa dibilang, semua hal yang diinginkannya bisa dibeli oleh ayahnya, pakaian, kendaraan hingga mobil dengan mudah bisa didapatkan. Saat kejayaan orang tuanya itu, ia nikmati sejak lahir hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).  Namun pada masa SMA, usaha ayahnya sedikit demi sedikit mulai surut. 

“Awalnya memang belum terasa karena ayah punya cukup banyak tabungan saat itu,” kata Haris sambil tersenyum. 

Di masa mulai surut usaha ayahnya, Haris dan saudara-saudaranya masih belum merasakan kekurangan karena tabungan ayahnya masih mampu menopang kehidupan ekonomi mereka. Tapi sejauh mana tabungan itu kuat menopang kebiasaan hidup mewah mereka sekeluarga dengan kejatuhan ekonomi yang semakin hari semakin parah, membuat ayahnya menyerah. “Tanah-tanah, mobil-mobil dan kendaraan lain serta rumah-rumah kami, mulai terjual satu persatu untuk menyambung kebutuhan sehari-hari, hingga tidak bersisa sama sekali,” ujarnya. 

BACA JUGA: Ini Juga Emansipasi, Suami Camat Kayangan Jadi Ketua TP PKK

Hanya dalam waktu lima tahun, harta mereka plus tabungan ayahnya, ludes untuk keperluan sehari-hari termasuk biaya sekolah mereka dan kuliah kakak sulungnya yang hidup mewah di perantauan. Kejatuhan itu terasa sangat memukul mereka. Kakak sulungnya itu pun akhirnya tidak melanjutkan kuliah sedangkan ia berhenti setelah lulus SMA dan dua adiknya hanya sampai tamat sekolah dasar karena memilih bekerja. Dari hasil penjualan aset ayahnya, mereka dibekali masing-masing uang yang diserahkan untuk dikelola sendiri-sendiri. Lagi-lagi, kebiasaan hidup enak menyeret uang tersebut sampai habis tak bersisa. Rani, kakak sulungnya menikah dan terpaksa harus bekerja banting tulang berjualan di pasar. Pekerjaan yang jauh dari basis kehidupan mereka. 

“Kak Rani orang yang gengsian itu akhirnya mau tidak mau memilih berjualan ikan di pasar tradisional,” katanya. 

Rani sendiri berujar bahwa untuk dapat makan sehari-hari, gengsi tidak bisa menyelesaikan masalah. Maka ia memilih dengan segala rasa malu yang harus ia lawan, berjualan di pasar. Haris sendiri setelah menikah tidak tahu harus berbuat apa. Sementara kedua adiknya yang hanya lulus SD itu, ikut bekas anak buah ayahnya bekerja apa saja ke sana kemari. 

Atas keinginan kembali hidup yang lebih baik, Haris pun memutuskan meninggalkan Pulau Sumbawa, berangkat ke Riyadh, setelah sebelumnya kena tipu perekrut tenaga kerja sehingga uang hasil pembagian dari penjualan aset ayahnya habis tak tersisa. Tahun 2010, setelah menjalankan karantina selama dua bulan di Jakarta dan membayar Rp 11 juta, tepatnya di bulan Desember, Haris berangkat ke Riyadh untuk menjadi seorang supir dari keluarga purnawirawan polisi di sana. 

Keluarga ini termasuk keluarga besar karena memiliki tujuh orang anak (4 laki-laki dan 3 perempuan). Mereka memiliki beberapa mobil dan Haris bertanggung jawab mengurus dua mobil dan menjadi supir untuk tiga anak perempuannya. Berbagai perilaku majikan dan anak-anaknya ini merepotkannya sejak pertama kali ia bekerja. Dua anaknya sekolah dan kuliah sedangkan satu anak lagi adalah seorang janda yang menurut Haris, “nakal”. 

“Ini yang paling bikin repot. Suka melanggar aturan keluarga senang pergi ke tempat hiburan bahkan hingga dini hari,” katanya. 

Hari-harinya bekerja sebagai supir selalu kena marah dan caci maki. Tidak jarang ia kena pukulan. Pasalnya, ia jadi tidak mengerti harus mengikuti aturan yang mana. Orang tua bilang anak-anak tidak boleh pulang dini hari sedangkan anak-anak memaksanya untuk mengantar hingga waktu yang tidak terbatas. 

“Ikut kata orang tua, anaknya yang kasar dan main pukul jika saya menolak. Ikut kata anaknya, orang tuanya yang menganiaya saya dan dikatakan melanggar aturan,” ujarnya. 

Yang lebih parah menurutnya, anak majikannya ini kerap kali menaikkan laki-laki di tengah jalan ke dalam mobilnya. 

“Nanti mereka masuk mall dan pulangnya dini hari. Saya harus menunggu di parkiran semalaman,” ujarnya.

Sudah capek mengurus anak majikan yang selalu keluar tanpa jeda, ia juga harus mengantar jemput kedua anak lainnya sampai ke acara jalan-jalan ke mall atau ke rumah kawannya. Jam kerja yang ditentukan sesuai kontrak, tidak lagi berlaku. Dengan gaji hanya sekitar Rp 2.5 juta, Haris bekerja siang malam, hampir 24 jam. 

“Jika ingin istirahat tidur sebentar saja, HP harus selalu di bawah telinga, karena jika ada telepon ia harus segera bangkit tidak ada alasan apa pun apalagi ngantuk dan istirahat,” katanya. 

Haris tinggal di bagian depan rumah tersebut dekat satpam. Ia sama sekali tidak diperbolehkan masuk rumah. Ia hanya bisa ketemu dengan pembantu rumah tangga yang orang Jawa Timur, saat mereka keluar untuk buang sampah. 

Haris merasa benar-benar tenaganya habis. Makan juga tidak teratur. Selama bekerja di sana, para pembantu rumah tangga dan supir serta satpam, diberi makanan sisa mereka. Karena sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan majikan yang makin hari makin sering memukulnya, ia pun melawan dan meminta berhenti bekerja saat kontrak kerjanya dua tahun berakhir. 

“Tapi majikan tidak mengizinkan saya berhenti, paspor, KTP dan semua surat-surat saya ditahan,” katanya. 

Mereka hanya berjanji saja, selalu bulan depan atau liburan sekolah ia baru diizinkan berhenti bekerja. Jika saja perlakuan mereka baik, kemungkinan Haris masih mau bertahan untuk bekerja, tapi mengingat buruknya perlakuan tersebut, ia memilih kabur dari rumah majikannya, setelah setahun tertahan. 

Suatu hari ia memberanikan diri melarikan diri dari rumah majikannya setelah bertengkar hebat melawan majikannya itu. Diam-diam ia lari meminta pertolongan pada perwakilan perusahaan yang “menjualnya” pada keluarga itu yang ada di Riyadh. Namun tidak diurus sama sekali. Ia diminta melapor pada polisi setempat (seperti Polsek). 

Sialnya, salah seorang anak majikannya yang seorang polisi malah memaki dan mengusirnya. Ia juga datang ke imigrasi untuk mengurus kepulangan, juga terdapat salah seorang kerabat majikannya. Pengurusan surat-suratnya dipersulit sedemikian rupa. 

BACA JUGA: Bau Nyale, Ini Kisah Drama Cinta Putri Mandalika

Maka luntang-lantunglah ia sampai akhirnya ia lari ke KJRI Riyadh. Tiba di sana, ia meminta perlindungan dan menceritakan semua permasalahannya serta ia menginformasikan bahwa masa kontraknya telah habis dan ia ingin kembali ke Indonesia.

“Sempat diurus oleh KJRI sampai mendatangi rumah majikan saya. Tapi perlakuan majikan saya pada staf KJRI yang mengantar saya untuk meminta surat-surat saya agar saya bisa pulang ke Indonesia, sangat kasar dan tidak menghargai. Kami malah dicaci maki dengan kata-kata tidak pantas,” katanya. 

Ia dan staf KJRI pun pulang dengan tangan hampa. Empat bulan ia tinggal di penampungan KJRI Riyadh menunggu agar semua surat-surat kepulangannya dapat diurus. Sampai akhirnya, Desember 2016, ia dapat kembali di tanah air. Haris bersyukur dapat kembali berkumpul dengan keluarganya dalam keadaan selamat mengingat terlalu banyak kisah sedih rekan-rekannya sesama TKI di luar negeri yang hingga saat ini tidak bisa pulang karena berbagai persoalan. Ia mengaku tidak berminat lagi bekerja di luar negeri. 

“Apa pun pekerjaan akan saya lakukan di kampung halaman ini, agar saya bisa berkumpul dengan anak dan istri,” katanya.***

 

Penulis: Nanik I TaufanEditor: misami
Exit mobile version