Indeks
Seni  

Cerita Pendek ; JAZZ, TROTOAR DAN POLISI-POLISI ITU

Cerita Kongso Sukoco

ilustrasi Cerita Pendek JAZZ, TROTOAR DAN POLISI-POLISI ITU / Mantra Ardhana : "Jumlahnya ada tujuh orang, tidak seperti waktu datang, sekarang badan polisi itu tampak makin gemuk, semua kelihatan berperut tambun"
Simpan Sebagai PDFPrint

Gun menganggap cerita Tse Un tak penting untuk didengarkan. Ia malah sibuk memeriksa pesan-pesan masuk di handphone yang selalu digenggamnya

lombokjournal.com ~ 

GUN TERPERANJAT sejenak, namun ia merasa bisa menangkap seluruh peristiwa yang jadi cerita itu dengan pikiran yang terang. Siang itu peluru-peluru mendesing kemudian membentur dan menembus kaca restoran. Tentu saja peluru-peluru melesat sangat cepat, tapi Gun masih sempat menghitungnya, jumlahnya tak lebih delapan belas butir. Begitu cepat, menembus kaca-kaca pintu restoran itu, tapi tidak pecah meski berlubang. Hanya di sekeliling lubang kaca itu tampak rengat.

Dan sama sekali sulit diduga, tiap peluru menerbangkan satu tubuh. Wow. Peluru-peluru melesat menuju restoran, tapi singkat cerita tubuh-tubuh itu berjatuhan di jalan raya di tengah lalu lalang kendaraan yang melaju kencang. Seketika pengendara menginjak pedal rem dalam-dalam sehingga suara rem kendaraan terdengar berdenyit susul menyusul. Peristiwa ini menyebabkan kekacauan di jalan raya. Semula timbul suara memaki dari pengendara. Setelah itu lebih mengerikan, susul menyusul suara keras benturan besi, pengendara kendaraan di belakang yang tak sempat mengerem menabrak yang ada di depannya. Disana sini mulai terdengar suara menjerit. Suara tabrakan itu susul menyusul. depan restoran yang berderet dengan toko-toko dan hotel. Orang-orang di dalam restoran, toko-toko dan hotel berhamburan keluar.

Gun menceritakan peristiwa Itu pada Tse Un, istrinya. Tapi Un mukanya tampak datar. Tak ada tanda-tanda Un tertarik untuk tahu lebih jauh, apalagi terperanjat. Tse Un sedikit pun tak bereaksi. Semula Gun menduga telah menyampaikan kabar yang dasyat. Sesaat kemudian ia jadi terperangah. Bahkan, sambil matanya menatap datar pada Gun, mulut Tse Un seperti mengumamkan irama musik. Bahkan tubuhnya bergerak perlahan, sambil matanya setengah terpejam, ia menggigit bibirnya. Tubuhnya bergerak memutar perlahan seperti terbawa irama musik.

Kalau sudah demikian, biasanya Gun memilih keluar menuju halaman depan, menarik nafas dalam-dalam, menulis status di akun medsosnya.

Tse Un pikirannya hanya tergoda spaghetti. Ia pernah menceritakan kelezatan spaghetti pada Gun dengan antusias
“Spaghetti paling klasik di Italia adalah aglio olio, yang dibuat hanya dengan bawang putih dan minyak zaitun.Walau aglio olio tidak punya saus sungguhan, kelezatannya justru bergantung dari kesederhanaannya,” kata Tse Un dengan antusias.
Ia mengucapkan itu mengutip apa yang diucapkan seorang Chef yang pernah dibacanya di sebuah media. Sebaliknya Gun menganggap cerita Tse Un tak penting untuk didengarkan. Ia malah sibuk memeriksa pesan-pesan masuk di handphone yang selalu digenggamnya.

Tse Un memesan semangkuk spaghetti dan sebotol kecil air mineral di kedai langganannya. Nyaris tiap malam ia mengunjungi kedai itu, dan ia betah duduk hingga berlangsung sampai larut malam.

Tse Un menikmati suara penyanyi tua yang menyanyikan lagu lama, bolehlah itu disebut sebagai jazz balada, jenis musik balada yang terpadu dengan unsur-unsur musik jazz. Tse Un terlena dominasi alunan piano yang mendayu-dayu. Selera itu mungkin diwarisi dari ayahnya, seperti yang sering ia dengar dari ibunya. Ayahnya baru beranjak saat pemilik kedai itu memberitahu tak ada lagi pengunjung datang.
Tse Un tak menjelaskan, apa hubungan lagu-lagu yang dilantunkan penyanyi tua itu dengan spaghetti. Sering ia mengatakan dengan ketus, banyak orang selalu ingin mengaitkan sesuatu agar semua hal bisa dihubung-hubungkan secara logis.

“Kalau kita jadi pergi, numpang kereta milik tetangga saja,” kata Tse Un kepada Gun.
.
Siapa yang memuntahkan peluru itu tidak penting. Gun waktu itu hanya berjarak tak lebih sepuluh atau lima belas meter dari restoran itu. Gun menyaksikan seluruh kejadian itu sangat dekat dengan matanya sendiri. Ia sempat terperanjat menyaksikan peristiwa yang pernah diceritakan pada isterinya, Tse Un. Saat peristiwa itu terjadi Gun sempat gugup dan menoleh sejenak. Namun di tengah suara hiruk pikuk, suara teriakan, suara orang mengerang kesakitan, dan orang yang berusaha memadamkan percikan api dari mobil yang mengepulkan asap hitam, Gun hanya menoleh sekilas kemudian melanjutkan kegiatannya.

Mobil polisi, jumlahnya sembilan, suara sirinenya meraung-raung, tapi kesulitan untuk mendekat ke restoran hotel itu. Polisi-polisi itu dengan cepat membuka pintu mobil dan membentuk barisan seperti siap menyergap dengan senjata laras panjang. Beberapa polisi dari dalam mobil itu berloncatan keluar sambil mengacungkan pistol yang digenggamnya. Gun sendiri tak mengerti, entah kenapa polisi-polisi itu menyasar restoran hotel itu.

Gun melemparkan kertas-kertas itu ke udara. Baginya polisi-polisi itu juga tidak penting. Sebenarnya ia ingin kertas-kertas itu dibawa angin dan terus terbang meninggi, menutupi awan. Sebenarnya ia tahu kertas-kertas itu akan kembali berhamburan di trotoar. Kertas-kertas itu akan disapu petugas kebersihan kota. O ya perihal kertas-kertas di trotoar itu Gun pernah mendiskusikan dengan Tse Un, sebab ia selalu menanyakan kenapa tidak ada hewan pemakan kertas. Atau lebih baik kertas-kertas diserahkan saja ke resepsionis hotel. Mereka bisa membagikannya pada tiap tamu hotel yang datang silih berganti.

Tse Un sempat menanyakan soal ini ke resepsionis hotel, tapi resepsionis berwajah pucat dan bertubuh gendut itu justru balik bertanya kenapa harus diberikan ke tamu-tamu hotel. Menurutnya, biasanya tiap tamu sudah sibuk membaca apa pun, pesan-pesan dari handphone, resep-resep tentang makanan lokal atau berita-berita kota, dari telpon selular yang digenggamnya.

“Gun, kalau kita bermimpi rumah besar, rasanya masih lama. Aku lebih suka meja makan yang bersih. Dapur dengan peralatan-peralatan masak yang praktis, supaya kamu mudah membuat sarapan, atau kalau sedang ingin kopi. Apalagi kalau suatu saat teman-temanmu mampir. Kita nikmati yang kita ingin. Sori, kadang-kadang aku sampai larut. Sebenarnya yang kuiinginkan hanya mendengar suara orang tua itu menyanyi,” kata Tse Yun.
Seperti biasa Gun membalas pesan atau menjulis status dari handphone yang digenggamnya.

Bayangkan kalau hampr seluruh sudut kotamu penuh dengan gambar-gambar iklan, Gun. mulai menulis status. Seharusnya kota ini hanya perlu pengurus, bukan walikota. Agar tak perlu banyak mengeluarkan biaya terlalu besar, belum lagi akibat buruk yang mengikuti. Tanpa walikota tetap saja warga kota itu bisa mengatur dirinya sendiri. Walikota dan jajarannya hanya menghabisi anggaran besar yang sebenarnya bisa untuk mengatasi pengangguran. Sebab walikota dan aparatnya itu membuat warga menderita kekurangan gizi dan hidupnya dihalangi banyak aturan. Padahal pasar tradisional yang tiba-tiba kebakaran atau rumah warga di kampung yang dimakan api, nyatanya petugas pemadam kebakaran selalu terlambat datang. Itu kesalahan walikota dan birokrasi di kota yang rakus.
Gun meloncat kesenangan membaca statusnya di medsos yang disukai banyak orang.

Ternyata polisi-polisi itu justru mabuk di restoran, dan melupakan apa yang mesti segera diurusnya.
“Jangan mempercayai siapa-siapa, termasuk polisi-polisi itu. Kamu mengerti yang kumaksud?” kata Gun pada Tse Un.
“Bukan, bukan itu yang kumaksud, Gun,” kata istrinya.
“Menurut kamu bagaimana,” kata Gun. “Menurutku kita tak harus masuk restoran atau menginap di hotel.”
“Siapa yang akan masuk ke restoran, siapa yang akan menginap di hotel…”sergah Tse Un.
“Dengar dulu Un aku tak pernah mengajak makan di restoran atau menginap di hotel.… Aku hanya mengajak siapa tahu bisa merubah pikiranmu, aku bercerita tentang kebenaran.”
“Gun, kau hanya tak pernah mau memahami orang, termasuk aku isterimu.”
“Kita hanya bicara untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain…”
Tse Un ingin membantah. Tapi tertahan karena terdengar dering panggilan dari handphone. Gun bergerak menjauh untuk menjawab panggilan. Tapi panggilan itu tampaknya terputus.
“Nanti kita lanjutkan Un….” kata Gun selintas, ia mengambil jaket yang menggeletak di kursi, kemudian ngeloyor pergi.

Tse Un melongo, mencoba berpikir tapi tak menemukan apa-apa.

Gun mencoba menghindar waktu sampai di tikungan, tapi mereka mengajaknya salaman. Jumlahnya empat orang, mereka memakai baju gamis, kalau tidak salah itu baju tradisional orang Pakistan. Gun merasa terkepung dan akhirnya mendengar salah satu dari mereka yang mengingatkan pentingnya sholat berjamaah. Gun menilai kepala mereka suka menganggap Tuhan terlalu membebani banyak tugas. Kadang-kadang jalan yang lengang dan senyap justru sering memberi banyak pelajaran.

Tapi bagaimana dengan Tse Un yang menghabiskan waktunya hanya untuk makan spaghetti, itu berlangsung lama. Bagaimana Tse Un menganggap bagian paling romantis dalam kehidupan mereka, ketika suatu malam ia membuka kamar dan berteriak pada Gun,”aku dataaannnggggg…..membawa ole-ole spaghetiiiii….”

Suatu malam dalam satu kesempatan Tse Un menemui Gun di trotoar itu.

“Begini saja Un, beri aku waktu sedikit lebih lama menunggu di trotoar ini. Bisa lama tapi mungkin saja hanya membutuhkan beberapa saat. Tapi kuharap kamu mengerti bahwa ini soal sangat penting. ini menyangkut pencurahan pikiran-pikiran untuk kepentingan yang sulit kujelaskan padamu. Sebab tujuanku agar orang-orang banyak mengetahui apa sebenarnya misi yang sedang kujalankan. Maaf, kamu agak sulit memahaminya, kira-kira seperti ini……,” Gun menjelaskan panjang lebar. Tse Un berkali-kali menggaruk kepalanya.

Tiba-tiba Gun tak bisa menahan kemarahannya.

“Ini soal pergaulan hidup yang memisahkan jaman lama dengan jaman yang membuat orang bisa saling sepakat untuk saling percaya. Sudahlah, waktu seseorang melarikan mobilnya dengan kecepatan yang tidak kau inginkan, kau selalu ingin ikut mengendalikan,” katanya setengah berteriak.
Gun merasa Tse Un tak pernah mempercayainya. Bahkan saat ia bercerita orang-orang itu berloncatan dari gedung-gedung bertingkat. Tubuh mereka melayang seperti boneka dari gabus. Bahkan waktu kaki mereka menyentuh aspal jalan, sedikitpun tidak lecet. Mereka meluncur, dan mendaratkan kakinya seperti kucing yang pandai memposisikan keseimbangan tubuhnya. Dan sekarang semua orang dari kamar hotel di lantai tinggi itu meloncat dari kamarnya. Dari tiap kamar bisa dua sampai tiga orang. Gun tak pernah mengetahui kenapa mereka melakukan itu.

“Itu tidak mudah, Un. Aku hampir tidak percaya, tapi apa yang akan kau katakan kalau itu benar-benar bisa dilihat dari jarak paling jauh empat meter. Kupikir tidak aneh, hanya kita belum mempunyai pengalaman sebelumnya, sehingga terasa tidak lazim. Kamu suka memotret kan, itu akan menjadi gambar yang indah. Orang-orang berloncatan dari lantai atas hotel. Kini aku mulai belajar untuk menerima kenyataan. Pengalaman baru memang mengejutkan, kau pasti juga terkejut,” kata Gun kepada Tse Yun.

Baru malam itu Tse Yun menangis. Ia sesenggukan disebabkan dadanya sesak seperti beban yang tak tertanggungkan. Bibirnya tergetar hebat, seolah hendak mengatakan sesuatu namun masih ditahannya. Sesaat kedua telapak tangannya berusaha menutupi wajah muram itu.

Baru malam itu Gun terharu. Tapi ia tak mengira situasi seperti itu terus berulang lagi di malam berikutnya. Tapi tetap saja Tse Un bungkam kenapa harus menangis tidak wajar. Berkali-kali ia menatap Gun dan ingin mengatakan sesuatu, sejenak ia membalikkan badan dan berlari ke kursi pojok dan meneruskan tangisnya sambil menundukkan kepala.

Malam berikutnya Gun menunggu, Tse Yun siap mengatakan sesuatu. .
“Seandainya ada tangga. Ya tangga yang tinggi sekali, aku akan segera memanjatnya,” kata Tse Un menggumam.
Tse Yun masih menangis.
“Aku akan menaiki tangga itu menuju ke bulan. Tak perlu persetujuanmu. Tidak sukar bagiku memulai di tempat baru, mungkin sendirian, tapi lebih baik daripada aku jadi kapiran seperti ini. Cerita tentang peristiwa atau kejadian akan bersusulan, kalau aku selamat akan banyak melewati cerita yang panjang. Bermalam-malam, berbulan-bulan, bisa jadi bertahun-tahun. Habis, untuk apa lagi kalau aku masih terus menghadapi ketidakpastian.”
Tse Un sesenggukan makin keras.
“Sejak kecil aku sering mendengar cerita tentang kuncup yang sedang mekar, binatang-binatang yang membuang kulit lamanya menggantikan dengan kulit baru yang lebih segar. Kekurangan manusia karena ia tidak memiliki kelebihan seperti tumbuhan atau binatang. Manusia hanya bisa berpikir meski itu membuatnya makin terjerumus. Seperti waktu kita masih kecil dan mengungkapkan cita-cita, seolah-olah semua peristiwa hidup bisa dirangkainya untuk sampai apa yang diinginkannya…..”

Tse Un tiba-tiba berhenti menangis. Mendung yang berhari-hari menutupi wajahnya tersingkir dalam sekejap. Gun hampir tak percaya, ia segera mendekat dan ingin membujuk Un. Pikirnya, ini kesempatan mengembalikan waktu seperti hari-hari sebelumnya. Sesuatu yang semula tak memberi harapan sekarang seperti memanggil dengan tangan terbuka. Selama berhari-hari Tse Yun menangis dan terus bungkam, kini ia seperti hendak menyampaikan sesuatu. Gun menunggu.
Waktu Tse Un mulai melangkah mendekatinya, Gun masih menunggu.
“Bagus Un. Ini sudah waktunya,” kata Gun pelan, ia sangat berharap..
Tanpa diduga, tiba-tiba Tse Yun berteriak. Suaranya keras sekali,
“Bajingaaaaannnnnnnn……!!!!!”

Gun tidak menduga kalau polisi-polisi itu masih ada di restoran. Jumlahnya ada tujuh orang, tidak seperti waktu datang, sekarang badan polisi itu tampak makin gemuk, semua kelihatan berperut tambun. Sementara yang lain tampak mengantuk, hanya dua orang kelihatan waspada sambil memainkan pistolnya. Mereka berada di sebuah restoran tanpa pengunjung, malah hanya ada satu orang mungkin pelayan, karena bajunya seperti umumnya dikenakan para pelayan restoran. Pelayan itu hanya duduk dengan wajah murung tapi tak bisa menyembunyikan raut ketegangan. Pandangannya yang tampak ketakutan ditujukan kepada ketujuh polisi itu, seolah-olah ia tak boleh terlambat menerima perintah. Memang dua polisi yang berjaga itu ekor matanya selalu mengawasi gerak-gerik pelayan.

Gun sudah tak sabar lagi. Kekesalannya tak bisa dbendung dengan alasan-alasan masuk akal. Ia ingin mengakhirinya. Ia melangkah masuk menuju polisi-polisi gendut itu, ia sudah memasang bom di sekujur tubuhnya. Tinggal memantik, bom itu bisa menghancurkan isi seluruh kota.

Mataram, 12 September 2016

Exit mobile version