Indeks

Proses Kreatif Whyper di Acara Microfest-nya Akar Pohon

Perjalanan proses kreatif Whyper bukanlah kebetulan, melainkan kelanjutan dari tradisi purba itu bahwa imaji mendahului narasi

Proses kreatif Whyper tidak berhenti pada kolase saja
Mengulik proses kreatif Lalu Wahyu Permana. Pada acara Microfest yang dihelat komunitas Akar Pohon Mataram, Jum’at (19/09/25) di Éclair Coffee / fOTO : Agus KS
Simpan Sebagai PDFPrint

Perjalanan proses kreatif Whyper bukanlah kebetulan, melainkan kelanjutan dari tradisi purba itu bahwa imaji mendahului narasi

Catatan Agus K Saputra

MATARAM.LombokJournal.com ~ Menarik sekali menyaksikan perbincangan Tara Febriani Khaerunnisa dalam Perupa Bicara yang (antara lain) mengulik proses kreatif Lalu Wahyu Permana. Pada acara Microfest yang dihelat komunitas Akar Pohon Mataram, Jum’at (19/09/25) di Éclair Coffee.

Microfest tahun ini memasuki tahun ketujuh, sekaligus tahun ketiga festival yang berangkat dari tema hereditas atau warisan. Kali ini Akar Pohon mengambil tajuk “Silangan”. 

Dengan empat buku yang terpilih: Taman Kate-Kate (Maria Dermout, 1988-1962), Manusia Bebas (Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), Orang-Orang Bloomington (Budi Dharma, 1937-2021), dan Siklus (Mohammad Diponegoro, 1928-1982).

Jejak Awal: Menggambar Sebelum Menulis

Ada sesuatu yang filosofis dalam fakta, dalam proses kreatif Lalu Wahyu Permana, yang lebih dikenal dengan nama Whyper, belajar menggambar sebelum ia mampu menulis huruf. Bagi banyak orang, menulis adalah pintu masuk ke dunia simbol, representasi, dan bahasa. Tetapi bagi Whyper, dalam proses kreatif itu jalannya berbelok lebih awal: ia memasuki semesta ekspresi melalui visual. Sejak kecil ia telah akrab dengan gambar Dinosaurus, bukan sekadar sebagai hiburan, tetapi sebagai cara menyusun dunia di dalam dirinya.

Fenomena ini mengingatkan kita pada sebuah pandangan dalam filsafat seni bahwa gambar, sebelum huruf, adalah bahasa pertama manusia. Gua-gua purba Lascaux di Prancis atau lukisan cadas di Sulawesi adalah bukti bahwa manusia lebih dahulu berbicara dengan gambar ketimbang kata. Dengan demikian, perjalanan proses kreatif Whyper bukanlah kebetulan, melainkan kelanjutan dari tradisi purba itu bahwa imaji mendahului narasi, dan visual sering kali lebih jujur daripada kata-kata.

Sejak SD hingga SMA, Whyper terus setia pada seni rupa, mengikuti lomba demi lomba. Media yang dipilihnya pun sederhana: crayon dan cat air. Kedua medium ini, dalam filsafat estetika, bisa dilihat sebagai bentuk medium yang “intim.” Crayon menuntut sentuhan langsung, kedekatan tangan dengan kertas. Cat air menuntut kelenturan, menerima aliran yang tak sepenuhnya bisa dikendalikan. Seolah sejak awal Whyper telah berlatih berdamai dengan medium yang menuntut kerjasama antara kehendak manusia dan sifat materialnya.

Transformasi: Dari Medium Tradisional ke Digital

Tahun 2017 menjadi momen penting: Whyper beralih ke media digital. Bagi sebagian orang, peralihan dari medium tradisional ke digital hanyalah persoalan teknis, persoalan alat. Namun secara filosofis, ini adalah peralihan ontologis. Dunia digital menggeser batas antara realitas dan imajinasi. Dengan digital, karya seni tidak lagi tunduk sepenuhnya pada hukum material—kertas yang robek, cat yang luntur —tetapi pada hukum algoritma.

Langkah Whyper bisa dipahami sebagai bentuk kesadaran zaman. Seni rupa tidak pernah statis; ia selalu bergerak mengikuti denyut teknologi dan budaya. 

Whyper melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar menyesuaikan diri: ia menjadikan digital sebagai lahan baru untuk menyemaikan imaji-imaji lamanya. Apa yang sebelumnya dikerjakan dengan crayon dan cat air, kini menemukan wujud baru dalam layar, piksel, dan perangkat lunak.

Peralihan itu bukan sekadar langkah adaptif, melainkan langkah eksistensial. 

Heidegger pernah menulis bahwa teknologi bukan sekadar alat, tetapi cara mengungkapkan dunia. Dengan memasuki media digital, Whyper sedang mengungkapkan ulang dunianya. Dunia yang semula cair dan lembut melalui cat air, kini ditata ulang melalui kolase digital yang kompleks.

Menjadi Profesional: Seni sebagai Jalan Hidup

Pada tahun 2020, Whyper resmi menapaki jalan sebagai seniman visual profesional. Momen ini penting untuk dilihat secara filosofis. Profesi bukan hanya status sosial atau ekonomi, tetapi juga komitmen eksistensial. 

Dengan menyatakan diri sebagai seniman profesional, Whyper menegaskan bahwa seni bukan sekadar hobi, bukan sekadar pelarian dari rutinitas, melainkan jalan hidup.

Dalam tradisi filsafat eksistensial, terutama Sartre, pilihan untuk menempuh jalan tertentu adalah peneggasan kebebasan. 

Dengan menjadi seniman, Whyper tidak hanya memilih pekerjaan, tetapi memilih makna bagi keberadaannya. Proyek-proyek nasional maupun internasional yang ia ikuti adalah bukti bahwa kebebasan itu bertemu dengan tanggung jawab. Ia bukan lagi sekadar menggambar untuk dirinya sendiri, tetapi juga bagi dunia yang lebih luas, dengan konsekuensi dan tantangan yang nyata.

Kolase sebagai Filosofi

Yang menarik, dalam karya digitalnya Whyper banyak menggunakan konsep kolase. Di sini, kita menemukan sisi filosofis yang lebih dalam. Kolase bukan sekadar teknik menyatukan potongan-potongan gambar. 

Kolase adalah pernyataan ontologis bahwa realitas itu sendiri tersusun dari fragmen-fragmen. Dunia bukanlah totalitas yang bulat dan tunggal, melainkan serpihan-serpihan yang, ketika digabungkan, membentuk makna.

Dalam proses kreatif itu ,Whyper memasuki semesta ekspresi melalui visual

Ketika Whyper merespon cerpen-cerpen Budi Dharma dalam buku Orang-Orang Bloomington, ia memilih tiga cerita: Yorick, Orez, dan Nyonya Elberhart. Pilihan ini bukan kebetulan. Ia memilih berdasarkan resonansi emosional: kesebalan, keunikan, dan kesedihan. Tiga emosi ini kemudian divisualkan melalui kolase. 

Filosofinya jelas: emosi manusia sendiri adalah kolase. Kita jarang mengalami emosi murni; marah bercampur dengan sedih, gembira bercampur dengan rindu.

Whyper pun tidak hanya menampilkan karakter utama, tetapi juga karakter sampingan, adegan kecil, detail minor. Semua itu dianggap penting. 

Pandangan ini memiliki landasan filosofis yang mirip dengan pemikiran strukturalisme: tidak ada elemen yang sepenuhnya bisa dipahami secara terpisah. Sebuah cerita hanya bisa dimengerti melalui relasi antarbagian, dan setiap bagian, sekecil apa pun, menopang keseluruhan. 

Dengan kata lain, kolase Whyper adalah bentuk visualisasi dari pandangan struktural: totalitas dibangun dari relasi fragmen.

Membaca Narasi, Menulis Visual

Proses kreatif Whyper dalam memvisualkan karya Budi Dharma menunjukkan hubungan yang intim antara teks dan gambar. Ia tidak menciptakan karakter-karakter secara bebas, melainkan berangkat dari deskripsi yang ditulis pengarang. 

Yorick divisualkan seperti tengkorak, Orez dengan mata besar sebelah dan tubuh besar, Nyonya Elberhart dengan rambut putih dan ekspresi penyabar.

Dalam filsafat hermeneutika, seni adalah bentuk interpretasi. Membaca adalah menafsirkan, dan menggambar adalah menafsirkan ulang. Whyper menjalani proses hermeneutis ganda: ia membaca teks Budi Dharma, menafsirkan makna emosionalnya, lalu menuliskannya ulang dalam bahasa visual. 

Dengan demikian, karya visualnya bukan sekadar ilustrasi, melainkan dialog. Ia membuka ruang percakapan antara literatur dan seni rupa, antara kata dan gambar, antara emosi dan bentuk.

Eksperimen dan Identitas

Proses kreatif Whyper tidak berhenti pada kolase saja. Ia terus mencoba teknik-teknik lain, style warna baru, tekstur yang beragam. Dari sini tampak kesadaran filosofis yang penting: identitas bukanlah sesuatu yang statis, melainkan proses yang terus berubah. 

Identitas seorang seniman tidak ditentukan oleh satu teknik atau satu gaya, melainkan oleh keberanian untuk terus bereksperimen.

Namun, yang menarik, setelah membaca cerpen-cerpen Budi Dharma, ia justru merasa sepakat dengan dirinya sendiri untuk menggunakan kolase. Artinya, eksperimen yang luas justru membuatnya menemukan titik temu yang lebih jernih. Filosofinya mirip dengan dialektika

Hegelian: melalui proses negasi dan eksplorasi, akhirnya seseorang menemukan sintesis baru. Dalam hal ini, kolase bukan sekadar teknik pilihan, melainkan hasil permenungan panjang terhadap perjalanan estetikanya.

Warna dan Tekstur: Kesadaran Estetis

Whyper menyadari ada kemiripan dalam penggunaan warna di karyanya. Filosofisnya, kesadaran ini menunjukkan bahwa setiap seniman, meskipun berusaha bereksperimen, selalu membawa jejak identitas yang khas. 

Warna adalah bahasa bawah sadar yang sering kali lebih jujur daripada konsep. Dalam setiap karya, warna yang dipilih seniman adalah semacam sidik jari estetik, tanda yang sulit dihapus meskipun teknik berganti.

Tekstur, bagi Whyper, juga menjadi ruang eksplorasi. Secara filosofis, tekstur adalah upaya untuk menghadirkan kedalaman dalam permukaan. Dunia tidak pernah hanya permukaan; selalu ada lapisan di bawahnya. Dengan mengutak-atik tekstur, Whyper seakan ingin mengatakan bahwa setiap realitas, termasuk realitas manusia, selalu berlapis dan kompleks.

Seni sebagai Kesadaran Diri dan Zaman

Akhirnya, proses kreatif Whyper bisa dipahami sebagai perjalanan kesadaran: kesadaran diri dan kesadaran zaman. Dari menggambar dinosaurus hingga proyek internasional, dari crayon ke digital, dari eksperimen luas hingga kolase yang reflektif. Ia menunjukkan bahwa seni adalah proses menemukan diri sekaligus menjawab tantangan zaman.

Seni, bagi Whyper, bukan hanya ekspresi personal, tetapi juga dialog dengan narasi besar manusia: literatur, teknologi, emosi, dan realitas. Dalam penemuan proses lreatif, ia meneguhkan pandangan filosofis, seni adalah jembatan antara individu dan dunia.

#Akuair-Ampenan, 20-09-2025

 

Exit mobile version