Indeks

Tepuk Tangan untuk Sang Doktor Hj. Siti Maryam Salahuddin

Pengabdian tanpa pamrih Doktor Hj. Siti Maryam perlu disambut tepuk tangan gemuruh

Jika ada cahaya yang terus menyala sepanjang bumi berputar, ialah Matahari, dan DR. Hj. Siti Maryam Salahuddin salah satu matahari yang perlu disambut tepuk tangan gemuruh / Foto: Niek
Simpan Sebagai PDFPrint

Jika ada cahaya yang terus menyala sepanjang bumi berputar, ialah Matahari, dan DR. Hj. Siti Maryam Salahuddin salah satu matahari yang perlu disambut tepuk tangan gemuruh

lombokjournal.com ~ Kalimat ini saya dedikasikan untuk mengenang mendiang DR. Hj. Siti Maryam Salahuddin yang wafat pada 18 Maret 2017 dalam usia 90 tahun. 

Ia memang telah pergi menghadap Sang Khalik, namun semangat dan dedikasinya yang tinggi bagi daerah dan bangsanya adalah spirit yang selamanya akan hidup dan menjadi teladan bagi generasi bangsa ini. 

Sebab, nyaris seluruh usianya, merupakan pengabdian tanpa pamrih. Tangan, mata, telinga, hati dan pikiran Siti Maryam tak pernah berhenti. Ia terus bekerja, belajar, meneliti dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial, hingga menjelang akhir hayatnya. 

Saya merasa sangat beruntung bisa mendapat banyak kesempatan mengobrol dengannya semasa Siti Maryam hidup. Tidak kurang dari 11 tahun (2006-2017) waktu yang saya habiskan untuk mencatat segala pengalaman hidup dan pengabdian perempuan yang sangat disegani di Nusa Tenggara Barat ini, mengingat   jasa-jasanya  yang   besar   terhadap ilmu pengetahuan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Hari-harinya hanya berpacu dengan karya-karya yang berguna. 

BACA JUGA: Arsitektur Rumah Tradisi di Karang Bajo, Bayan, KLU

Tidak sedikit pun waktu yang terbuang percuma sepanjang hidupnya. Penghargaannya terhadap waktu luar biasa.. Demi Masa, waktu bagi Siti Maryam, saya kira, adalah hal yang paling istimewa baginya.

Usia sepuh dan kondisi fisiknya yang terus menua, tampaknya tidak mampu mengalahkan semangatnya dalam berkarya bagi negeri ini. Saat menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Prof. DR. Moh. Mahfud MD yang berkesempatan menjadi pembicara dalam Seminar Nasional; Hukum dan Hukum Adat Dalam Ketatanegaraan RI, pada Februari 2010, menyampaikan apresiasi terhadap sosok Siti Maryam. Di hadapan peserta seminar tersebut, ia bercerita, bahwa suatu hari ia mendapat undangan dari Majelis Adat Dana Mbojo, untuk menjadi pembicara dalam seminar tersebut.

Setelah ia membaca undangan dan nama ketua majelis ini, ia pun menanyakan kepada staf MK, siapa gerangan orang yang bernama Hj. Siti Maryam Salahuddin tersebut. Dari staf MK inilah ia kemudian mendapat cerita tentang siapa dan bagaimana kiprah Siti Maryam selama ini. 

”Sudah beberapa bulan terakhir, MK tidak lagi turun ke daerah di akhir pekan. Namun, karena yang mengundang Bu Maryam, maka saya pun ada di sini saat ini,” ujar Prof. Mahfud penuh empati. 

Ia mengaku perlu  memenuhi   undangan ini,  karena apresiasinya terhadap apa yang  sudah  dilakukan  Siti Maryam bagi negeri ini meski usianya telah tua. 

”Orang sesepuh Beliau masih mau memikirkan bangsa ini,” ungkapnya.

Siti Maryam Sultan Salahuddin adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara, puteri dari Sultan Muhammad Salahuddin dengan permaisuri kedua –permaisuri pertama wafat–, Siti Aisyah, yang merupakan puteri Sultan Dompu terakhir, Sultan Sirajuddin. 

Dilahirkan sebagai seorang putri dari Kesultanan Bima, Siti Maryam menyimpan banyak kenangan masa kecilnya. Hidup di lingkungan istana jelas berbeda dengan rakyat biasa, namun puteri yang bergelar Ina Ka’u Mari ini tetap bersahaja. 

Ia mewarisi kecintaan  ayahandanya pada ilmu pengetahuan. Meski ia lahir dan hidup dalam lingkungan dan jaman yang membatasi kiprah perempuan, (dalam pembatasan yang ketat), paling sedikit ia berhasil memperjuangkan pendidikannya sendiri. 

Di tengah situasi perang kemerdekaan dan kemudian terjadinya pergolakan politik yang tak menentu, sekolahnya sempat tertunda. Siti Maryam putus sekolah karena perang. Meski kecewa dengan situasi ini, semangat kebangsaan ia nyalakan. 

Organisasi Rukun Wanita Bima yang digagas Hj Sitti Maryam

Siti Maryam yang lahir pada tanggal 13 Juni 1927, tidak ingin berdiam diri. Sembari menanti saat yang tepat untuk bisa bersekolah kembali (menanti perang usai), ia mendirikan organisasi Rukun Wanita Bima pada tanggal 11 September 1947. 

Inilah Organisasi Wanita pertama di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Organisasi ini memfasilitasi perempuan-perempuan Bima dalam bidang pendidikan agar tidak tertinggal. 

Organisasi Rukun Wanita tidak hanya berada di pusat kekuasaan Bima, tapi melebarkan sayapnya dengan membentuk cabang-cabang. 

Di desa-desa dibentuk pengurus ranting karena tujuan organisasi ini untuk kegiatan pemberdayaan perempuan. Harapannya untuk meningkatkan kesadaran dan keterampilan wanita di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan rumah tangga. Respon positif pun terus mengalir termasuk dari para wanita Arab, Melayu dan Cina yang merespon baik organisasi Rukun Wanita.

Kegiatan Rukun Wanita memfokuskan kegiatannya pada peningkatan kapasitas dan kualitas perempuan Bima, misalnya bidang pendidikan/keterampilan dengan melakukan usaha Pemberantasan Buta Huruf (PBH) bagi ibu-ibu, sekaligus membuka kursus menyulam, menjahit dan memasak. Siti Maryam dan pengurus Rukun Wanita Bima mendirikan Taman Bacaan (Taman Pustaka) yang diperuntukkan bagi masyarakat umum. 

Taman bacaan dan perpustakaan ini akhirnya menjadi cikal-bakal berdirinya Taman Perpustakaan Tingkat B Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bima. Untuk menumbuhkan kepercayaan diri perempuan Bima serta memiliki wawasan yang luas, diberikan keterampilan berpidato dan berdiskusi bagi para remaja puteri. 

Rukun Wanita sejak awal juga sangat memperhatikan kemajuan seni dan budaya Bima.

BACA JUGA: Teater Tradisi Cupak Gurantang di Ambang Punah

Selain itu, di masa yang sama, kepeduliannya pada kesehatan kaum perempuan terlihat ketika ia juga mendirikan Biro Konsultasi Kehamilan dan Klinik Bersalin di lingkungan Istana Kesultanan Bima di masa itu. 

Ia menilai wanita Bima juga masih belum maju di bidang kesehatan. Tingkat kematian ibu dan bayi yang sangat tinggi menjadi perhatiannya. Ia melihat belum adanya tenaga medis di Bima, menjadi salah satu penyebabnya.

Saat melahirkan, wanita Bima tidak dibantu oleh tenaga medis, melainkan melahirkan di dukun beranak yang sudah ada secara turun-temurun. Pola asuh dan kebersihan serta pengetahuan ibu-ibu hamil yang dinilainya masih sangat terbatas merupakan sebab lainnya. Kondisi ini membuatnya harus mengambil sikap untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak di Bima yang cukup memprihatinkan tersebut. 

Untuk mengatasi hal tersebut, muncullah gagasan darinya untuk mendirikan Rumah Bersalin pada tahun 1948. Selain pendirian rumah bersalin ia juga mendirikan Biro Konsultasi Kehamilan yang ditangani langsung oleh seorang dokter. Wadah ini dimaksudkan untuk membantu ibu-ibu hamil agar dapat menciptakan lingkungan yang sehat. Sehat baik secara fisik maupun sehat secara sosial kemasyarakatan. 

Program ini juga sekaligus mendorong dan membimbing masyarakat untuk berperilaku sehat.

Berdirinya Biro Konsultasi Kehamilan ini berangkat dari keprihatinannya, karena umumnya kehamilan wanita yang tidak pernah diperiksakan bisa meningkatkan angka kematian bagi ibu dan bayi. Siti Maryam meminta kepada Sultan agar diberikan sebuah rumah kosong di belakang istana untuk dijadikan Rumah Bersalin dan Biro Konsultasi Kehamilan. 

Dan ia bertindak sebagai salah seorang konsultannya. Dengan banyak bacaan dan referensi yang pernah dibacanya, ia tidak mengalami kesulitan untuk itu. Dan atas inisiatifnya, biro ini mendatangkan dokter, bidan dan mantri sebagai tenaga medis dan juga melatih beberapa wanita yang mau dan bisa menjalankan aktivitas Rumah Bersalin dan Biro Konsultasi Kehamilan. 

Bekerjasama dengan Pemerintah Pulau Sumbawa, biro ini mendatangkan dokter pertama di Bima bernama Dokter Nurija dari Bali. Selama sekitar dua tahun dokter ini menjalankan tugasnya membantu ibu-ibu hamil bersama dengan Siti Maryam dan rekan-rekannya. Peningkatan kesehatan ibu hamil mulai tampak. 

Wanita Bima mulai menunjukkan kepedulian lebih pada kehamilannya yang diperiksakan secara rutin. Biro Konsultasi Kehamilan banyak didatangi wanita hamil yang mendiskusikan masalah kehamilannya. Biro ini kelihatan sangat hidup. Rumah Bersalin juga mendapatkan pasien yang cukup banyak. Wanita Bima mulai menyadari arti pentingnya kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis untuk menghindari kematian ibu dan anak. 

Meski hari-harinya dipenuhi banyak kesibukan, tak membuat Siti Maryam lupa akan sekolahnya. Malah kerap ia melamun, kapan gerangan kata ”setuju” itu diberikan padanya. Orang tuanya memang melarangnya pergi jauh karena khawatir dengan situasi yang belum menentu kala itu. 

Ia berfikir, kalau saja ia terus di Bima, memang banyak yang bisa diperbuatnya setidaknya bagi para wanita, akan tetapi pengetahuannya tidak akan bertambah. Jika melanjutkan sekolah ia akan lebih mudah berhasil, dan makin banyak yang bisa diperbuatnya. 

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Restu dari orang tuanya untuk kembali melanjutkan sekolah itu akhirnya didapatnya atas kebaikan hati seorang presiden. 

Ia mengingat dengan jelas, pada tahun 1949, Presiden RI, Soekarno, berkunjung ke Bima. Hiruk-pikuk penyambutan Sang Presiden masih jelas diingatnya. Rakyat Bima berkumpul di sepanjang jalan menyaksikan iring-iringan pasukan berkuda dan kendaraan lain yang mengantar presiden menuju Istana Kesultanan Bima. Pada kesempatan pertama Siti Maryam dan seluruh saudaranya berkumpul menyambut Bung Karno. 

Obrolan santai antara Bung Karno dan keluarga Sultan rupanya menjadi pembuka jalan bagi Siti Maryam untuk mengutarakan keinginannya melanjutkan sekolah. Ia menanti betul saat-saat Sang Putera Sang Fajar ini mengalihkan pembicaraan pada masalah sekolah. Tunggu punya tunggu, akhirnya pertanyaan pertama Bung Karno pada keluarga Sultan adalah anugerah yang tengah dinanti Siti Maryam.

Bung Karno singgah di Istana Bima

“Apakah anak-anak ini masih bersekolah?” tanya Bung Karno sambil menatap Siti Maryam dan pertanyaan itu sekaligus mengarah pada Ayahandanya. Pertanyaan ini membuatnya melonjak kegirangan dan ia sigap langsung menjawab.

“Tidak lagi,” jawabnya. 

Presiden Soekarno kembali bertanya, ”Kenapa?” 

Spontan Siti Maryam menjawab dengan lugas.

“Karena anak perempuan tidak boleh bersekolah lagi kalau sudah dewasa,” ujar Siti Maryam kepada Presiden. 

“Siapa yang paling keras menentang agar kalian tidak bersekolah,” lanjut Bung Karno. 

Siti Maryam pun berbisik.

“Ibu,” katanya. Waktu itu orang tuanya langsung diceramahi soal pentingnya sekolah oleh Bung Karno. 

Siti Maryam tentu saja girang meski menerima kerlingan tidak menyenangkan dari ibunya. Pembicaraan setengah berbisik itu pun berlanjut. Antusiasme Siti Maryam pada pendidikan inilah yang tampaknya membuat Bung Karno memperhatikan Siti Maryam lebih dari yang lainnya. Sehingga Sang Presiden sempat berdialog khusus dengan Siti Maryam waktu itu. 

Nduk (panggilan anak perempuan dalam bahasa Jawa), nanti sore Bapak mau pidato di depan umum, Bapak sebaiknya ngomong apa?” tanya Bung Karno pada Siti Maryam. 

“Anak-anak perempuan jangan dipingit, anak-anak perempuan jangan dilarang bersekolah,” jawab Siti Maryam mantap. 

Alhasil, isi pidato Bung Karno sore itu antara lain adalah ”untuk mencapai kemajuan Bangsa, putera dan puteri Indonesia perlu berpendidikan tinggi, dan anak-anak perempuan jangan dipingit.” 

Siti Maryam mengingat benar kalimat Bung Karno ini. Gemuruh bangga di dada Siti Maryam, karena bahagia. Jalan sekolah telah terbuka baginya.

BACA JUGA: Penyelesaian Aset Gili Trawangan, NTB jadi Role Mode

Jakarta tahun 1951

Siti Maryam yang semula menggebu-gebu melanjutkan sekolah, tiba-tiba mendapat tawaran bekerja di Departemen Luar Negeri RI. Karena yang menawari Pak Pringgodigdo (Direktur Kabinet Presiden, waktu itu), ia pun coba mengikutinya. Tapi itu tidak berlangsung lama karena sekolahlah tujuan utamanya datang ke ibukota negara itu. 

Siti Maryam lalu mendaftarkan diri di SMAN Budi Utomo Jakarta. Tiga tahun bersekolah di sekolah ini, Siti Maryam pun lulus dengan cemerlang. Tahun 1953 ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 

Siti Maryam yang percaya diri dan berani ini, bahkan menjadi salah seorang pemimpin cabang organisasi mahasiswa di Universitas Indonesia. Masa-masa kuliah mendorongnya ikut ambil bagian dan aktif dalam gerakan mahasiswa yang bernama Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD) di tahun 1953-1956. Ia menjadi Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD) sebagai Dewan Pertimbangan merangkap Ketua Cabang Kebayoran Baru. Bersama GMD,  ia dan kawan-kawannya melakukan perbaikan terhadap sistim perpeloncoan yang konyol, setelah mendengar banyaknya keluhan dari mahasiswa baru.

GMD menginginkan jangan sampai mahasiswa baru jadi bulan-bulanan seniornya. Ia sendiri saat menjadi mahasiswa baru tidak mengalami perpeloncoan mengingat hubungannya dengan para senior yang cukup dekat.

Ia juga tetap aktif mengurus organisasi wanita dengan bergabung dalam PERWARI (Persatuan Wanita RI) Cabang Kebayoran Baru. Dan Rukun Wanita yang ia tinggalkan di Bima yang telah menjadi salah satu cabang Perwari tersebut tetap berjalan baik. Segala kegiatan yang dijalankan sambil kuliah ini, tidak  mengganggu  aktivitas perkuliahannya. Ia kemudian menyelesaikan sarjana mudanya pada tahun 1957. 

Ketika meraih gelar Sarjana Muda tersebut, ia berstatus pegawai di Kementerian Luar Negeri RI Jakarta. Sembari bekerja, ia melanjutkan kuliahnya untuk meraih sarjana penuh. Dan pada tahun 1960, Siti Maryam resmi menyandang sarjana penuh dari Fakultas Hukum dan Ilmu Pendidikan Masyarakat Universitas Indonesia. 

Kelulusan angkatan ini pun dirayakan dengan wisuda resmi dengan upacara kebesarannya untuk pertama kali yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia.  Beberapa  angkatan yang lulus sebelumnya, tidak melaksanakan acara wisuda resmi. Dan lagi-lagi Siti Maryam bertemu dengan Bung Karno yang mewisuda angkatan ini dengan resmi. 

Siti Maryam adalah warga Nusa Tenggara Barat pertama yang menjadi sarjana, di tahun 1960. Ini penting menjadi catatan keberhasilan besar Nusa Tenggara Barat, bahwa sarjana pertama yang dimilikinya adalah seorang perempuan, bernama Siti Maryam Salahuddin. Resmi menyandang gelar Sarjana Hukum, di tahun yang sama ia diangkat menjadi staf ahli Menteri Koordinator Kehakiman RI. Keberhasilannya lulus sebagai wisudawan angkatan pertama Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini seakan menjadi titik tolak emansipasi perempuan NTB. 

Di tahun 1964, Siti Maryam pulang kampung ke NTB untuk berlibur. Kepulangannya kali ini bukanlah kepulangan yang biasa. Karena dari sinilah, Siti Maryam diuji kecintaannya terhadap kampung halamannya. Siti Maryam menggunakan kesempatan melepas rindu pada kampung halamannya ini untuk bertemu dengan Gubernur NTB, yang akhirnya merubah jejak karir, pengabdian dan jalan hidupnya. 

Dalam masa cuti kali ini –bersama Putera Kahir (kakaknya) yang waktu itu sebagai Bupati Bima– ia diajak singgah ke Kantor Gubernur NTB untuk berkenalan dengan Gubernur R.A.A. Ruslan Cakraningrat. 

Seperti diketahui, NTB adalah provinsi muda yang baru terbentuk waktu itu. Oleh pihak Departemen (waktu itu Kementerian Dalam Negeri) ia memang sempat disarankan ikut membangun NTB. Kebetulan Menteri Dalam Negeri mengetahui bahwa Siti Maryam adalah orang asli NTB.

Perkenalan dengan Gubernur NTB berjalan hangat. Mengetahui Siti Maryam adalah sosok penting yang tengah berkarir di Jakarta, gubernur lalu menawarkannya untuk ikut membantunya menata Provinsi NTB yang baru saja lahir ini. Siti Maryam sempat terdiam manakala tawaran tersebut serius disampaikan gubernur kepadanya. 

Ia sempat bimbang memutuskannya. Karir yang telah dijejakinya di Jakarta memberikan peluang besar untuk bisa lebih maju, mengingat kala itu belum banyak Sarjana Hukum di Kementerian Kehakiman. Kesempatan dan peluang untuk menjadi pejabat tinggi di kementerian ini terbuka lebar bagi para ahli. 

Sementara tawaran Gubernur NTB, tak kalah penting baginya. Jika ia berkarir di NTB, maka yang ia bangun adalah daerahnya sendiri. Gubernur Ruslan bersikeras memintanya kembali ke NTB. Rayuan gubernur akhirnya membuat Siti Maryam luluh juga. 

Tak butuh waktu panjang untuk mengurus administrasi dan proses kepindahannya ke NTB. Saat memutuskan untuk menata karir di NTB, Siti Maryam bertekad mengabdi sepenuhnya di daerah kelahirannya. Tugas pertama yang diberikan kepadanya adalah sebagai Sekretaris Panitia MPRS Daerah Nusa Tenggara Barat di tahun 1964. 

Sejak itu berbagai jabatan dan penghargaan disematkan di pundaknya.  Karir birokrasi yang ditapakinya selama tahun 1964 hingga tahun 1987 dengan jabatan berturut-turut; sebagai Sekretaris Panitia Tetap MPRS Provinsi NTB (1964-1966), Pejabat Sementara Bupati Bima (1966), Direktur P.D. Tri Busana (1968-1969), Kepala Biro DPRD GR Provinsi NTB (1966-1968), Kepala Biro Desentralisasi dan Tata Hukum Kantor Gubernur Provinsi NTB (1969-1973), Kepala Direktorat Pemerintahan Umum (1973-1974), Asisten Administrasi dan Umum Setwilda Provinsi NTB (Asisten III) (1974-1985), Asisten Pemerintahan (Asisten I) 1985-1987.

Siti Maryam juga merangkap jabatan sebagai Dosen Tidak Tetap pada Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Mataram (APDN) di samping sebagai Dewan Pembina (1967-1987), Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram) (1978-1983), Dosen dan Ketua Jurusan Hukum Tata Usaha Negara  pada Fakultas Hukum Universitas 45 Mataram (1987-1992).

Siti Maryam aktif mengabdikan dirinya sebagai Pengurus (Ketua) Organisasi Wanita Pertiwi, Dharma Wanita Provinsi NTB, BKKNI, Palang Merah Indonesia (PMI), Penasehat DPD I Himpunan Wanita Karya NTB, 1984-1993, Penasehat DPD I MKGR, 1984-1993, Dewan Penasehat Partai Golkar 1972. Sebagai salah seorang perintis pembangunan keolahragaan di NTB, Siti Maryam mengemban tugas-tugas penting seperti menjadi Tim Manajer Cabang Atletik kontingen KONI ke Pesta Sukan Merdeka di Brunei Darussalam tahun 1985, Ketua Umum Pengda PBSI, PERWOSI, Ketua Pengda PASI NTB sampai 1992.

Ketika menjadi Asisten Gubernur di tahun 1974, ia menjadi  satu-satunya Asisten Gubernur perempuan dan yang pertama di Indonesia. Siti Maryam melesat jauh dari jamannya, meninggalkan kegundahan dan kepasrahan perempuan, membuktikan bahwa kemauan keras dan cita-citalah yang akan mengubah sejarah hidup seseorang.

Karya yang merupakan warisan dari dedikasinya dalam mengabdi tanpa pamrih, meninggalkan jejak-jejak yang hingga kini masih dirasakan. Atas prakarsanya, pada tahun 1966, bandara Sultan Muhammad Salahuddin yang sebelumnya terbengkalai, ia aktifkan kembali. Ia berjuang keras agar bandara ini bisa beroperasi kembali. Cerita bermula, ketika Siti Maryam pada tahun 1964 mulai bertugas di Mataram, sering bolak-balik Bima-Mataram untuk keperluan berbagai tugas dinas. 

Ketika bertugas ke Bima dan Sumbawa ia selalu menumpang kapal kecil, dari Pelabuhan Haji Lombok Timur menuju Pelabuhan Alas Sumbawa dan itu memakan waktu yang lama. Dari Mataram menuju Bima, melalui jalan darat menempuh perjalanan lebih kurang 24 jam. Setelah tiba di pelabuhan Alas ia kembali harus naik bus. 

Perjalanan panjang yang sambung menyambung melewati jalanan yang rusak parah. Naik turun bus-bus kecil dari Mataram-Labuhan Haji Lombok Timur, kemudian naik kapal menuju Pelabuhan Alas Sumbawa lalu naik bus lagi menuju Bima. 

Belum lagi, sebelum mencapai kapal kecil penyeberangan Labuhan Haji Lombok Timur menuju Pelabuhan Alas, harus berjalan kaki di atas tanah becek berlumpur menuju perahu baru kemudian naik ke atas kapal. 

Akses menuju ke Pulau Sumbawa sangat sulit kala itu. Satu-satunya akses transportasi hanya dengan naik kapal laut dan bus dari satu tempat ke tempat lainnya. Bus yang layak juga tidak banyak kala itu, hanya satu-dua saja. Selebihnya masyarakat lebih banyak menggunakan truk terbuka atau truk modifikasi layaknya bus, namun dengan kondisi  penumpang yang duduk berdesakan dan bertumpuk-tumpuk tanpa bangku-bangku. Manusia dan hasil bumi serta hewan peliharaan tidak jarang diangkut bersamaan.

Untuk memenuhi kebutuhan transportasi dari Sumbawa menuju Dompu dan Bima, masyarakat juga masih ada yang menggunakan kuda.

 Mobil-mobil angkutan yang jumlahnya tidak banyak juga harus melewati jalan-jalan yang rusak dan tidak terawat. Hatta itu jalan negara. Pembangunan infrastruktur jalan di pulau ini kala itu belum tersentuh dengan serius. Jalan raya yang ada adalah jalan peninggalan Belanda. 

Sebagai provinsi berusia muda, Pemerintah Daerah NTB, belum mampu sepenuhnya membenahi kebutuhan transportasi ini. Konsentrasi pembangunan masih sebatas hal-hal yang bersifat prioritas saja. Jalan berliku dan tanjakan serta turunan yang tajam de-ngan kondisi jalan yang rusak parah berkerikil itu membuat Siti Maryam mesti mencari cara untuk memajukan daerahnya.

Keadaan ini sangat menghambat tugas-tugas dinasnya, karena itu menjadi pemikiran serius. Sebenarnya bukan hanya tugas kantor dan kenyamanannya sendiri yang dipikirkannya, ia juga berpikir perkembangan masyarakat di Pulau Sumbawa. Masyarakat di Pulau Sumbawa menjadi lambat berkembang bila akses transportasi masih sulit. Setelah memikirkan hal ini dengan cermat, Siti Maryam yang baru dua tahun bertugas di NTB (tahun 1966) mengusulkan kepada Gubernur R.A.A Ruslan Cakraningrat, agar mengusahakan Bandar Udara di Bima (yang sekarang bernama Bandara Sultan Muhammad Salahuddin) bisa diaktifkan kembali. 

Usulan ini disampaikan karena ia telah membaca dan mengetahui bahwa dalam Rencana Pembangunan Semesta Berencana Republik Indonesia, Kalimantan akan segera diberikan empat buah pesawat perintis untuk membuka akses transportasi antardaerah. 

Karena itu diusulkannya kepada gubernur, agar NTB bisa diberikan dua pesawat serupa untuk membuka akses transportasi ke Pulau Sumbawa. Usulan ini bukannya tanpa alasan mengingat di Bima telah ada lapangan udara.

Rupanya usulannya diterima baik oleh gubernur, yang kemudian membuat surat pengantar yang harus dibawanya ke Jakarta di Kantor Pusat Merpati yang saat itu baru beroperasi. Kebetulan saat itu ada pesawat yang mendarat di Mataram dan ia ikut penerbangan menuju Jakarta, membawa harapan melalui surat gubernur di genggamannya. 

Pesawat yang ditumpanginya adalah pesawat kecil jenis capung yang isinya hanya tiga orang; Pilot, Co Pilot dan Siti Maryam. 

“Untuk masuk ke dalam pesawat, melewati sayap karena tidak punya tangga,” ujarnya.

Sesampai di Kantor Merpati Airlines Jakarta, dengan percaya diri ia melangkahkan kaki menuju Kantor Besar Merpati. 

Kebetulan salah seorang Direktur Merpati, yaitu Direktur Komersilnya adalah kawannya. Berbekal surat dari Gubernur NTB, dengan sigap ia pun melobi Merpati agar mau membuka akses NTB dengan satu atau dua pesawat. 

Rupanya gayung bersambut, pihak Merpati bergerak sangat cepat dan langsung melakukan survey ke Bima NTB. Akhirnya Merpati menyetujui dengan memberikan dua pesawat jenis Porter Pilatus kecil berisi enam penumpang, rute Mataram-Bima pulang pergi. 

Untuk itu, serta-merta lapangan udara harus disiapkan. Maka, Siti Maryam yang waktu itu masih bertugas di Bima mengerahkan 10.000 tenaga kerja masyarakat dari tiga Kecamatan sekitar bandara yakni Kecamatan Belo, Kecamatan Woha dan Kecamatan Monta untuk bergotong-royong membersihkan dan meratakan lapangan terbang bekas peninggalan Jepang yang dulu bernama Pali Belo (sekarang bernama Bandar Udara Sultan Muhammad Salahuddin). Dalam waktu beberapa hari saja, lapangan terbang ini sudah bersih dan siap didarati. 

Waktu itu Merpati belum mempunyai banyak pilot yang bisa ditugaskan di NTB. Karenanya pilotnya diambil dari Angkatan Laut yang bekerja secara sukarela. Pihak Merpati menitipkan pesan, agar melayani segala kebutuhan pilot tersebut dengan baik karena mereka bekerja sukarela. 

“Senangkan hati mereka dan berikan fasilitas agar mereka mau terus terbang,” ujar pihak Merpati kala itu. 

Dengan senang hati Siti Maryam pun memenuhi permintaan pihak Merpati. Baginya, tidak ada salahnya menyenangkan hati pilot tersebut, karena mereka berjasa bagi NTB. 

Tugas Pemerintah Daerah terutama Pemerintah Kabupaten Bima adalah menjaga frekuensi dan fasilitas penerbangan. Sedangkan tugas Siti Maryam adalah menjaga konsistensi semangat kerja yang tinggi dan kerjasama yang tulus terutama dengan pilot yang bekerja sukarela ini.

Hubungan baik terus dijalinnya dengan pilot-pilot tersebut. Keakraban makin terasa di antara mereka. Sambutan baik dan hangat serta perlakuan yang bersahabat dari Siti Maryam rupanya meninggalkan kesan bagi tiga pilot yang secara bergantian terbang melayani rute penerbangan NTB tersebut. 

Setelah beberapa lama, pesawat yang tadinya tak bernama itu kemudian memiliki nama yang membuatnya kaget. Suatu hari, ketika pesawat tersebut baru kembali dari Jakarta, ia menyaksikan di badan pesawat tertulis sebuah nama yang membuatnya terharu dan bertanya-tanya. Dan pesawat itu bernama “Puteri Mari”. 

Puteri Mari adalah gelar bangsawan Siti Maryam. Entah siapa yang memberi nama, hingga akhir hayatnya ia tidak tahu. Sejak itulah terbuka akses transportasi udara Mataram-Sumbawa-Bima.

Sejak itu ia menapaki karirnya di birokrasi, dan di tahun 1974 menjadi  satu-satunya Asisten Gubernur perempuan dan yang pertama di Indonesia. Siti Maryam melesat jauh dari jamannya,  meninggalkan kegundahan dan kepasrahan perempuan, membuktikan bahwa kemauan keras dan cita-citalah yang akan mengubah sejarah hidup seseorang. Kemauannya dan jiwa yang keras untuk maju membuatnya mampu menjejak karir dengan mulus. Sebagai birokrat, ia banyak dipuji. 

Siti Maryam adalah satu dari sedikit birokrat dan tokoh di NTB yang selalu terbiasa berpikir dengan konsep. Ia setia pada satu dinamika yang telah ia  tekuni  sejak usia mudanya dengan intelektualitas dan pikiran-pikirannya yang bernas. 

Dalam beberapa hal menyangkut sosiologi budaya NTB, khususnya Bima, ia adalah ”kamus hidup” yang harus dieksplorasi. Konsep pemikiran yang fundamental darinya jangan sampai hilang begitu saja. Harus ada yang mengambil tongkat estafet darinya untuk melanjutkan. 

”Cara pandangnya yang multidimensi yang menghormati multikulturalisme, haruslah ada yang mengembangkannya,” kata Adhar Hakim, mantan wartawan dan juga mantan Kepala Ombusman RI Perwakilan NTB. 

Di mata Drs. HL. Serinata, mantan Gubernur NTB, Siti Maryam yang kala itu satu-satunya pejabat Pemerintah Daerah perempuan yang senior adalah birokrat yang istimewa.  Selain karena ia sebagai seorang perempuan dengan langkah-langkahnya yang maju dalam menjalankan tugas sebagai pejabat daerah, Siti Maryam selalu mematuhi setiap aturan yang berlaku dengan mengedepankan sisi humanisme. 

“Dalam menjalankan tugas birokrasinya, saya menilai beliau adalah sosok yang cekatan dan tegas yang berjalan pada koridor aturan yang berlaku. Saya mengenalnya sebagai pejabat yang rendah hati dan sederhana. Sikapnya terhadap bawahannya adalah sikap yang sewajarnya, sikap seorang biasa. Beliau tidak membawa asal usulnya sebagai anak Raja,” kata Serinata.

Tahun 1994, Presiden RI Soeharto, menganugerahkannya penghargaan sebagai Lanjut Usia Teladan. Pilihan ini tak berlebihan untuk dirinya. Penghargaan lain yang diterimanya juga dari Pemerintah RI adalah Anugerah Seni tahun 2003 atas jasa membina, melestarikan dan mengembangkan seni-budaya di NTB khususnya daerah Bima yang diterima pada Kongres Kebudayaan Nasional di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Selain sebagai pelaku sejarah, Siti Maryam, memiliki karir birokrasi yang cemerlang. Ia adalah Tokoh yang mumpuni dipandang dari sisi manapun. Ia juga memiliki kapasitas dan integritas serta intelektualitas yang sangat mengagumkan. 

Aktivitas dan perjuangannya dalam banyak hal bagi kemajuan daerah ini, telah ia mulai sejak masa kepemimpinan Gubernur NTB   yang pertama,   R.A.A   Ruslan   Cakraningrat, menyusul Wasita Kusumah hingga H. Gatot Suherman, saat ia aktif sebagai birokrat. Aktivitas itu tidak berhenti manakala ia pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil, melainkan berlanjut hingga daerah ini berganti Gubernur. 

Nama dan berita tentang aktivitas positifnya, masih terus terdengar di masa daerah ini dipimpin oleh Gubernur Drs. Warsito, Drs. Harun Al-Rasyid, Drs. HL. Serinata hingga di masa kepemimpinan TGH. M. Zainul Majdi, MA., ia masih setia menyumbangkan pikiran dan tetap aktif dalam kegiatan, kebudayaan dan sosial kemasyarakatan sampai tutup usia. Karena itu pula, mantan Gubernur NTB, Drs. HL. Serinata menyebutnya sebagai ”sesuatu yang langka” yang dipunyai NTB. 

“Tidak banyak sosok seperti beliau yang mau mendedikasikan dirinya bagi kepentingan orang banyak hingga usia tuanya,” ujarnya. 

Mantan Gubernur NTB, TGH. M. Zainul Majdi, MA., juga menyematkan apresiasi yang tinggi terhadap Siti Maryam. 

“Sebagai perempuan, Beliau adalah tokoh yang patut diteladani oleh generasi sekarang dan masa depan.  Beliau tidak sekedar birokrat belaka. Bukan PNS semata yang terjebak pada rutinitas administratif saja. Beliau berorganisasi. Beliau terjun dalam kegiatan sosial-budaya. Ia pun bertindak dan banyak menelorkan gagasan-gagasan  untuk  kemajuan  NTB  khususnya  dan  bahkan  Indonesia. Boleh dibilang ia adalah salah satu tokoh perempuan di negeri ini yang berpikir maju dan mau bertindak,” Majdi. 

Begitu pula dengan mantan Wakil Gubernur NTB, Ir. H. Badrul Munir, MM., yang juga mengungkapkan kekagumannya atas segala aktivitas yang dilakukan Siti Maryam dalam membangun Nusa Tenggara Barat. 

Di matanya, selain sebagai pelaku sejarah, Siti Maryam, memiliki karir birokrasi yang cemerlang. Ia adalah Tokoh yang mumpuni dipandang dari sisi manapun. Ia juga memiliki kapasitas dan integritas serta intelektualitas yang sangat mengagumkan. 

Perhatian Siti Maryam juga tertuju pada penyelamatan naskah-naskah kuno. Ketertarikan yang besar terhadap masalah kearsipan ini, terutama naskah-naskah kuno tampaknya merupakan warisan langsung leluhurnya, Sultan Abdul Hamid (Sultan ke VIII) yang pada awal abad ke 17 telah mentransliterasi naskah Nurul Mubin beraksara Arab ke aksara Latin. Demikian juga halnya dengan ayahandanya, Sultan Muhammad Salahuddin, yang memberi perhatian besar pada masalah dokumentasi Kerajaan Bima. Menurut Henri Chambert-Loir, seorang filolog asal Perancis, sepanjang penelitian yang pernah dilakukannya di Indonesia, Kerajaan Bima merupakan satu-satunya Kerajaan di Indonesia yang telah melakukan dokumentasi yang terbilang lengkap yang dapat dibaca lewat naskah-naskah peninggalannya. 

Dalam hal dokumentasi, Kerajaan Bima tidak hanya tertuang mengenai urusan pemerintahan atau hal lainnya layaknya kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, melainkan mendokumentasikan segala peristiwa yang terjadi dalam wilayahnya. Baik itu peristiwa hukum, kejadian alam, hubungan sosial kemasyarakatan, hubungan pemerintah dengan rakyat dan sebagainya dengan lengkap. 

”Catatan-catatan yang dibuat oleh Kerajaan Bima masa lampau, bisa dikatakan seperti koran jaman sekarang, semacam sebuah pemberitaan,” kata Henri. 

Dan naskah-naskah inilah yang akhirnya juga selamat dari kepunahan karena perhatian yang diberikan Siti Maryam. Dengan pertimbangan untuk menyelamatkan arsip-arsip Kesultanan Bima yang tidak terawat praktis sejak Sultan Muhammad Salahuddin wafat, sebagai pewaris Kesultanan Bima, dengan sukarela ia menyerahkan arsip-arsip tersebut kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada tahun 1980. 

Arsip-arsip yang diserahkannya adalah semua arsip Kesultanan Bima dari masa sebelum kemerdekaan yang merupakan arsip tentang pemerintahan dari masa Sultan Ibrahim hingga Sultan Muhammad Salahuddin.

Ketika menjadi Anggota DPR RI, tahun 1997, ia menghibahkan lima koleksinya kepada Bayt Al Quran dan Museum Istiqlal Jakarta. Dua di antara peninggalan bersejarah ini adalah naskah Ilmu Fiqh beraksara Arab tulisan tangan yang usianya mencapai lebih dari 100 tahun. 

Juga sebuah Al Quran yang disebut La Lino, yang berusia lebih dari 200 tahun yang ditulis tangan oleh Syeh Subur, Imam Istana Bima pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Muhammad Syah (1731-1748).

Perhatiannya yang besar terhadap kearsipan ini membuatnya dekat dengan kalangan Badan Arsip Nasional. Di tengah belum apresiatifnya masyarakat terhadap kearsipan, justru perhatian itu tak pernah putus dari Siti Maryam hingga saat ini. 

Museum Kebudayaan SAMPARAJA

Kesehariannya adalah bicara tentang kearsipan. Hal inilah yang membuat Djoko Utomo, mantan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang mengenalnya dengan baik,  kemudian menjulukinya dengan sebuah motto minuman ringan: ”kapan dan di mana saja” untuk perhatian tak terbatas Siti Maryam bagi kearsipan. 

Di mana saja ia berada dan kapan pun itu, ia selalu bicara tentang kearsipan. Di mana-mana yang ia bicarakan adalah masalah arsip. Di seminar-seminar, di pertemuan-pertemuan bahkan di meja makan, ia bicara tentang naskah dan arsip. Bisa dikatakan, sangat sedikit yang sepertinya. 

”Berdasarkan pengamatan dan pemantauan Badan Arsip Nasional secara intensif, semua pihak mengakui kepedulian besar Beliau di bidang kearsipan, baik sebagai pejabat maupun perorangan,” ujar Djoko. 

Hal inilah yang membuat ia akhirnya menjadi salah seorang tokoh arsip perempuan Indonesia yang dianugerahi penghargaan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sebagai ”Perempuan Indonesia Peduli Arsip”, pada tahun 2009. 

Bersama 12 perempuan lainnya, Siti Maryam dinilai memiliki jasa, peran, komitmen, dedikasi dan integritas yang luar biasa dalam bidang kearsipan serta kontribusinya melalui aktualisasi nilai kearsipan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kecintaannya akan naskah kuno membuatnya bertindak cepat menyelamatkan naskah-naskah kuno berharga yang paling dicari oleh para filolog dengan mendirikan Museum Samparaja Bima yang merupakan museum pribadi. Museum ini menggambarkan betapa Siti Maryam telah menjadi penyelamat peninggalan-peninggalan sejarah kebudayaan Bima.

Kisah berdirinya Museum Kebudayaan Samparaja Bima ini, berawal dari ”rasa malu” Siti Maryam akibat teguran dari Pangeran Bernhard dari Negeri Belanda. 

Suatu hari, di tahun 1984.

Nusa Tenggara Barat mendapat kabar akan kedatangan tamu penting dari Negeri Belanda, Pangeran Bernhard, suami dari Ratu Yuliana. Pangeran Bernhard tengah melakukan perjalanan keliling dunia dalam menjalankan misinya sebagai Ketua Organisasi Pelindung Satwa Dunia. Kedatangan pasangan orang penting Belanda itu ke NTB sebenarnya bagian dari kunjungannya ke Pulau Komodo. 

Sebelum bertolak ke Pulau Komodo untuk menjalankan misi ini, mereka singgah di Mataram dan Bima. Sebelum menuju Pulau Komodo, Pangeran Bernhard singgah sesaat di Bima dan dari Bima bertolak menuju Pulau Komodo.

Karena Pangeran Bernhard akan singgah di Bima maka Gubernur NTB meminta Siti Maryam yang kala itu sebagai Asisten III Gubernur, untuk memamerkan benda-benda pusaka peninggalan Kesultanan Bima. Persiapan pun dilakukan dengan sebaik-baiknya. Namun ada yang terasa kurang. Dari banyak peninggalan Kesultanan Bima yang hendak dipamerkan, ada satu yang belum ditemukan yakni, Buku Besar Catatan-Catatan Kesultanan Bima yang disebut Bo’ Sangaji Kai. Bo’ Sangaji Kai merupakan kumpulan naskah yang dicatat oleh juru tulis istana Kesultanan Bima dari masa ke masa tentang segala peristiwa yang terjadi selama kurun waktu sejak abad 17 hingga abad 19, di pemerintahan turun temurun Kesultanan Bima. 

Naskah berukuran 53,5 x 37cm ini boleh dikatakan merupakan naskah utama Kerajaan Bima yang memuat catatan-catatan peristiwa di Kerajaan Bima terutama kegiatan pemerintahan Adat yang mempunyai struktur dan tugas serta kebijakan-kebijakan terkait hubungan dengan kerajaan-kerajaan dan daerah lain. 

Termasuk pengaturan kewargaan, persawahan, kelautan, serta hukum Adat yang berlandaskan Hukum Islam, dalam naskah catatan yang bertuliskan dalam huruf Arab dengan Bahasa Melayu. Dalam Bo’ juga tertulis urutan silsilah raja-raja yang pernah memerintah Bima sejak zaman pra Islam secara turun-temurun.

Bo’ Sangaji Kai yang merupakan peninggalan paling penting dan paling berharga itu tidak diketahui keberadaannya.

Begitulah. Maka ia pun harus menemukan Buku Besar tersebut. Setelah dilakukan pencarian dan membongkar semua arsip peninggalan Kesultanan Bima, catatan berharga itu akhirnya ditemukan di rumah salah seorang warga Bima dalam keadaan nyaris rusak. 

”Saya menemukannya dalam keadaan yang compang-camping dan menyedihkan,” ujar Siti Maryam. 

Penemuan buku itu sangat melegakan, karena akhirnya bisa melengkapi benda-benda berharga peninggalan Kesultanan Bima yang akan dipamerkan saat kunjungan Pangeran Bernhard.

Siti Maryam mengisahkan bahwa ketika Pangeran Bernhard menyaksikan pameran tersebut, ia sempat kaget dan terhenyak manakala sorot matanya tertuju pada sebuah buku besar yang disebut Bo’ Sangaji Kai. Pangeran Bernhard fokus membolak-balik naskah tersebut dan kebetulan sekali, Pangeran Benhard saat berkunjung ke Bima waktu itu didampingi oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia yang juga sejarawan, yang mampu membaca naskah tersebut dengan baik. Mendengar demikian berharganya isi Bo’ Sangaji Kai, Pangeran Bernhard langsung bertanya pada Siti Maryam, apakah Bo’ Sangaji Kai memiliki foto kopinya? Siti Maryam terdiam. Jangankan foto kopinya, naskahnya saja nyaris hilang dan diketemukan dalam keadaan yang tidak terpelihara. Diamnya Siti Maryam, telah mampu ditangkap artinya oleh Pangeran Bernhard.

 ”Jika naskah ini hilang, maka hilanglah sejarahmu,” ungkap Pangeran Bernhard kala itu. 

Kalimat yang masih terus diingatnya ini menurut Siti Maryam, sangat memukulnya. 

Ia sadar bahwa selama ini telah menyia-siakan sebuah warisan leluhurnya yang sangat berharga itu. Alangkah malunya Siti Maryam, menyadari dirinya dinilai tidak memperhatikan peninggalan berharga leluhurnya.

Untuk menutupi rasa malu dan perasaan tidak enak karena sebagai keturunan Kesultanan Bima ternyata ia tak bisa memelihara naskah-naskah tersebut. Ia dihujani banyak pertanyaan seputar hal ini. Beberapa pertanyaan diakuinya membuat ia kaget dan tersadar akan betapa pentingnya naskah-naskah peninggalan Kesultanan Bima tersebut. Sebuah pertanyaan kembali dilontarkan Pangeran Bernhard tentang bagaimana cara ia menyimpan naskah-naskah berharga tersebut.

”Di lemari,” kata Siti Maryam yang spontan menjawab. 

Padahal katanya, waktu itu perlakuan terhadap naskah-naskah ini tidaklah demikian. Tapi ia mengaku jawaban yang diberikannya itu hanya ingin menyenangkan Pangeran Bernhard. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan padanya, dirasanya terus memojokkannya.

Namun ia merasa sangat beruntung, menerima teguran Pangeran Bernhard. 

Karena inilah titik awal, akhirnya ia mulai serius mengurus peninggalan nenek moyangnya. Sejak itu, ia membuat foto kopi naskah Bo’ Sangaji Kai, naskah-naskah yang sudah kececeran di lemari-lemari, di laci-laci dan di loteng-loteng. Ternyata arsip dan naskah-naskah Kesultanan Bima masih tersimpan di berbagai tempat dalam keadaan carut-marut, sehingga ia terus mencari dan menemukannya. 

Untuk dapat memelihara, menyelamatkan sekaligus merawat naskah-naskah dan peninggalan bersejarah Kesultanan Bima lainnya, Siti Maryam kemudian mendirikan Yayasan Museum Kebudayaan Samparaja Bima, sebagai cikal-bakal pendirian Museum Kebudayaan Samparaja Bima, museum pribadinya yang telah terdaftar dalam buku “Khasanah Naskah Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia World Guide To Indonesia Collection”. 

Saat itu sebagai Asisten III Gubernur, ia juga tengah gencar melakukan pembenahan terhadap kearsipan daerah di Mataram. Naskah-naskah tersebut, ia bawa ke Mataram untuk dibersihkan satu per satu kemudian dibawanya ke Arsip Nasional RI untuk dilaminasi dan diawetkan agar terhindar dari kepunahan.

Di saat yang sama, ia kedatangan tamu dua filolog ternama di Indonesia, yang berkunjung ke rumahnya yakni DR. Eti Mulyadi dan Prof. DR. Akhadiati Ikram. Keduanya adalah dosen senior dan Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (waktu itu) yang  mendengar bahwa tengah ada upaya penyelamatan naskah-naskah kuno Bima. Keduanya mendapat kabar bahwa satu-satunya yang menyimpan dan memiliki naskah kuno Bima adalah Siti Maryam.

Ketika diperlihatkan naskah-naskah kuno Bima yang tengah dibersihkan dan dipelajari itu, kedua filolog ini takjub bukan main, kata Siti Maryam. Bagi dunia filologi, naskah kuno adalah benda paling berharga. Suka cita dua filolog ini tidak dapat disembunyikan, lanjutnya, karena makin banyak fakta-fakta sejarah yang akan terungkap dari naskah-naskah peninggalan Kesultanan Bima. 

Tentu dua filolog itu membayangkan akan bisa lebih luas lagi mengungkap sejarah kebudayaan dan peradaban, adat istiadat serta peristiwa yang terjadi di Bima masa lampau. Akan diketahui pula siapa saja yang pernah membuat hubungan diplomatik dengan Bima, negara mana yang pernah datang, pergolakan politik seperti apa yang pernah terjadi, peristiwa apa saja yang terjadi dan sebagainya. Saat itu juga, penemuan naskah kuno Bima yang terselamatkan itu menjadi perbincangan menarik di kalangan filolog. Karena sebelumnya, keberadaan naskah-naskah ini apalagi dalam jumlah yang banyak, tidak pernah diketahui.

“Eti Mulyadi segera mengirim surat kepada salah seorang filolog asal Perancis, Prof. Henri Chambert-Loir, yang mengabarkan temuan naskah tersebut,” cerita Siti Maryam. 

Sambil berkelakar, kenang Siti Maryam, Eti berkata kalau Henri hanya melihat satu dua naskah kuno Bima, sedangkan mereka melihat dua peti naskah. Dan sekarang ada di hadapan mereka.

Naskah Bo’ inilah yang membuat Siti Maryam akhirnya diundang ke Belanda untuk mengikuti Simposium Internasional Bahasa Asia Tenggara di Leiden, 1986. Pulang dari Belanda ia lalu berkonsultasi dengan Dirjen Permuseuman Depdikbud RI di Jakarta untuk kelanjutan pemeliharaan naskah-naskah ini. 

Hasilnya, ia disarankan mendirikan bukan hanya museum naskah kuno, tapi museum yang lengkap mengoleksi benda-benda budaya bersejarah miliknya.

”Barang ini sudah jadi milik Bangsa Indonesia, bukan hanya milik orang Bima,” ungkapnya.

Ia adalah sedikit dari pewaris kesultanan yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi ilmuwan dan filolog untuk meneliti naskah-naskah kuno peninggalan Bima. 

Di banyak tempat, para peneliti merasa kesulitan memperoleh naskah-naskah kuno yang asli sebagai bahan penelitiannya. Kesulitan tersebut bisa mencair manakala mereka membayar dengan sejumlah uang. Ini terjadi ketika naskah tersebut telah berada pada kolektor-kolektor yang tak begitu saja bersedia melepas naskah tersebut. 

Ada juga sebagian pewaris kerajaan yang menyimpan naskah kuno dan menganggap bahwa pusaka tersebut harus dipelihara bahkan dikeramatkan, sehingga tak diperkenankan disentuh demi alasan menjaga bentuk fisiknya dari kepunahan. Tak mudah bagi para peneliti mendekati apalagi mempelajari peninggalan bersejarah. 

Tapi Siti Maryam mempunyai pandangan lain, ia berpendapat bahwa sejarah yang terkandung dalam naskah-naskah kuno milik Kesultanan Bima adalah sejarah yang harus diketahui orang banyak. Karena dalam sejarah itu terkandung berbagai macam ilmu pengetahuan yang pernah dipelajari generasi bangsa Indonesia masa lampau.

Sejak memutuskan untuk memelihara dan mempelajari naskah-naskah kuno peninggalan Kesultanan Bima, Siti Maryam larut dalam kegiatan penyelamatan manuskrip-manuskrip bersejarah itu. Ia menghabiskan banyak waktu untuk mencari dan mengumpulkan kembali potongan-potongan naskah tersebut di berbagai tempat. 

Tangan dingin Siti Maryam membenahinya dengan sabar, tekun dan telaten. Ia kumpulkan lembaran, potongan, sobekan bahkan sisa-sisa naskah-naskah lusuh tersebut dari satu ruang ke ruang lain, dari satu sudut ke sudut lain Istana Kesultanan Bima yang kala itu tidak lagi berfungsi karena pemerintahan menjadi Swatantra bukan Swapraja lagi. 

Ia menelusuri segala bentuk naskah yang masih bisa diselamatkan, mendatangi pihak-pihak yang kira-kira menyimpan naskah kuno untuk mendapatkan kepastian tentang cerita sejarah yang lebih lengkap. Usahanya tak sia-sia, salah satu naskah tersebut masih tersimpan di rumah salah seorang keturunan Gelarang Maria Kecamatan Wawo pada tahun 1989. Lembar demi lembar naskah yang kondisinya sudah memburuk itu dirawatnya. Ia juga merapikan naskah Al-Quran lama 30 juz yang belum diketahui tahun pembuatannya itu yang ditemukan dalam keadaan berantakan. Ia menyimpan naskah Al Quran yang kertasnya sudah sangat rapuh itu dan halamannya tidak beraturan dengan dibungkus kertas koran yang kemudian ia ikat dengan tali rafia. Naskah-naskah yang rusak dimakan usia itu salah satunya Al Quran tulisan tangan yang berusia 200-an tahun bernama La Lino. Ia menemukannya di tahun 1980 dengan susunan surat yang kacau-balau. 

”Kalau saja tidak cepat diselamatkan, pastilah dalam waktu setahun kemudian La Lino akan hancur tak berbekas,” ujarnya. 

Dari naskah Museum Kebudayaan Samparaja yang sudah dialihbahasa dalam Huruf Latin (karena naskah asli tertulis dalam aksara Arab berbahasa Melayu) telah diterbitkan pula satu buku berjudul Bo’ Sangaji Kai (Catatan-catatan Kerajaan Bima) setebal 642 halaman yang disusunnya bersama Prof. Henri Chambert-Loir, ahli Filologi Perancis dari Lembaga Kebudayaan Perancis EFEO (Ecole Française d’Extrême-Orient). Naskah yang telah dibukukan ini merupakan arsip terpenting dari sejarah Kerajaan Bima, di antara berbagai jenis ”BO” (catatan) yang lainnya. Buku ini merupakan naskah yang telah diakui oleh Pemerintah RI sebagai dokumen Nusantara seri XVIII. Kerjasama ini berlangsung selama lima tahun hingga akhirnya karya besar ini (Bo’ Sangaji Kai) diluncurkan pada 3 Februari 2000 di Perpustakaan Nasional RI Jakarta.

 Peran Siti Maryam dalam proses pengungkapan dan penyusunan Bo’ Sangaji Kai, menurut Henri sangatlah penting. Karena meski tertulis dalam Bahasa Melayu, naskah-naskah ini sangat terpengaruh dengan Bahasa Mbojo (Bima). 

”Dan Bu Maryamlah kunci yang bisa dengan detil mencernanya,” ujar Henri. 

Termasuk juga dalam masa analisis nama, tempat, gelar dan jabatan dalam Kerajaan Bima, peran Siti Maryamlah yang dianggap besar untuk mengidentifikasi dengan tepat, mengingat Henri tidak menguasai hal ini dengan detil. Di mata Henri, selama mengenal Siti Maryam terutama dalam hubungan kerjasama sebagai peneliti, Siti Maryam adalah sosok yang tekun dan telaten. Masa lalunya sebagai keturunan Sultan Bima membuatnya mengerti banyak tentang adat istiadat Bima, dan inilah salah satu hal yang sangat membantu selama proses tersebut. Bima telah menjadi bagian dari dirinya. 

Tanggung jawabnya itu telah mendorongnya belajar ilmu pernaskahan, sebab ia merasa makin tak bisa berbuat banyak kalau hanya berhenti mengotak-atik naskah-naskah kuno di rumah atau museum pribadinya. Di usia lanjutnya 80 tahun, yang seharusnya dimanfaatkan untuk menikmati masa pensiunnya, malah dimanfaatkannya untuk melanjutkan studi S3-nya ke Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung pada tahun 2008, dengan konsentrasi Ilmu Filologi. 

Kegiatan ”kuliah senja” yang dilakukannya untuk mendalami ilmu filologi secara akademis, karena kecintaannya pada naskah-naskah kuno. Selain itu guna mempelajari lebih jauh ratusan naskah kuno peninggalan Kesultanan Bima yang hampir saja punah. Dan di tangan Siti Maryam,  dokumen dan sejarah Kesultanan Bima akhirnya terselamatkan. 

Menurut Suryadi, seorang Filolog dan dosen di Universitas Leiden, Belanda, Siti Maryam sangat educated, seperti cerminan nenek moyangnya, Sultan Abdul Hamid, salah seorang dari dinasti Kesultanan Bima yang sangat terpelajar dan berwawasan luas. Ini terbukti dari banyaknya naskah yang dihasilkan selama jaman pemerintahan Sultan Abdul Hamid (1773-1817). 

Di Indonesia, lanjut Suryadi, perempuan (dan juga kebanyakan lelaki) seusia Siti Maryam umumnya sudah “menyerah” dalam hidup ini, dalam arti hanya merengek ke anak-anak, minta “balas” jasa kepada mereka. Tapi Siti Maryam semacam deviant (dalam artian positif) dari tradisi budaya seperti itu. Ia masih gigih menuntut ilmu, dan sepertinya tidak mau tinggal diam. Selalu ada yang ia pikirkan, selalu ada yang ingin ia perbuat. 

“Beliau (Siti Maryam) seperti tak menyia-nyiakan waktu, walau sudah tua dan sepuh. Semangat Beliau sangat berkobar-kobar. Perhatiannya kepada bidang budaya dan sejarah sangat besar. Ini yang membuat beliau tetap punya pikiran baik, tidak pikun seperti dialami oleh banyak orang Indonesia seusia Beliau,” kesan  Suryadi.

Waktu bertemu di Leiden tahun 2008, Suryadi masih menangkap semangat Siti Maryam tetap hidup. Saat itu, sambil membolak-balik buku di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal Landen Volkenkunde), walau udara masih dingin, Siti Maryam ingin berdiskusi terus dengannya dan pustakawan KITLV.

Daya pikirnya tak pernah berhenti bekerja. Berbagai hal yang menjadi tanggung jawabnya, jarang dilimpahkan kepada orang lain. Siti Maryam menjadi inspirator banyak orang. Henri Chambert Loir, pernah mengungkapkan kekagumannya akan sosoknya. 

“Ia adalah kasus yang unik dalam berbagai hal, tekun dan  telaten,” ujar Henri. 

Keseriusan terhadap pelestarian manuskrip bersejarah, membuatnya kembali di bangku kuliah pada usia 80 tahun. Siti Maryam tidak main-main selama menjalani “kuliah senjanya” ini. Lebih kurang tiga tahun, ia bolak-balik Mataram-Bandung mengikuti perkuliahan dengan tekun. Tubuh tuanya masih terus memancarkan semangat, sorot matanya selalu berbinar manakala bicara tentang pendidikan. Semangat sekolah yang sejak kanak-kanak ada dalam dirinya masih terus menyala. Long Life Education, bukan slogan baginya, melainkan itulah dirinya. Seluruh waktu yang dimilikinya ia abdikan untuk hal-hal yang berguna sebesar-besarnya bagi dirinya dan orang lain. Ia menghargai seluruh proses kehidupannya.

“Selama masih mampu, kapan pun dan di mana pun, saya akan terus mengejar ilmu. Ilmu pengetahuan itu tidak terbatas, saya sungguh sangat menikmatinya,” katanya pada sejumlah wartawan usai mengikuti upacara wisuda.

Hari itu, Selasa, 23 November 2010, Gedung Graha Sanusi Hardjadinata, Kampus Universitas Padjadjaran, Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung, bergemuruh oleh tepuk tangan panjang seisi gedung. Begitu juga dengan seluruh Guru Besar Universitas Padjajaran yang hadir saat digelarnya prosesi Wisuda Unpad lulusan Gelombang I Tahun Akademik 2010/2011 untuk sesi I, memberi standing applaus bagi salah seorang wisudawannya.

Tepuk tangan meriah untuk Sang Doktor itu mengiringi langkah pelan Siti Maryam Salahuddin menaiki tangga menuju panggung wisuda. 

Sang Rektor, Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA., telah siap memindahkan tali toga sekaligus menandakan nenek 83 tahun itu resmi menyandang gelar Doktor bidang Filologi pada Fakultas Sastra. Ucapan selamat sebagai wisudawan Doktor tertua (saat wisuda) dengan IPK 3,44, tak lupa disampaikan secara khusus oleh Rektor, saat memberi sambutan terbuka pada seluruh hadirin.  

“Seluruh Civitas Akademika Universitas Padjajaran  Bandung, memberikan apresiasi yang serius bagi Ibu Siti Maryam,” ujar Weny Widyowati, Kepala UPT Humas Universitas Padjajaran Bandung (waktu itu). 

Penghargaan yang diberikan salah satu universitas terkemuka di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1957, ini ditujukan atas kegigihan dan tekad yang luar biasa dari perempuan penuh semangat ini dalam memperjuangkan pendidikannya hingga usia sepuh.

 “Kami semua salut pada Beliau. Ini di luar kebiasaan orang-orang kita (Indonesia). Ini sangat membanggakan bagi kami,” tambah Weny. 

Karena itulah, selama Siti Maryam mengikuti perkuliahan sekitar tiga tahun di universitas ini, Unpad memberikan perhatian yang lebih padanya. Begitu juga saat sidang promosi gelar Doktornya, Humas Unpad melakukan liputan khusus untuk website resmi universitas ini selama jalannya sidang tersebut. 

Siti Maryam memang telah tiada. Namun karya dan semangatnya harus terus meregenerasi bangsa ini untuk melahirkan Siti Maryam-Siti Maryam lainnya, yang penuh semangat dan dedikasi yang tinggi bagi kemajuan bangsa ini khususnya perempuan Indonesia. Keseluruhan karyanya adalah inspirasi yang tak pernah usai. ***

 

 

Exit mobile version