Indeks
Opini, Seni  

Teater Hitam Putih dan Artaud: Pertunjukan ‘Doa Chairil’ SFNLabs

Salah satu adegan 'Doa Chairil', pertunjukan teater sastra SFNLabs di Gedung Tertutup Taman Budaya NTB, Jum'at (22/07/22) / Foto: Asta
Simpan Sebagai PDFPrint

SFNLabs menampilkan pertunjukan teater ‘Doa Chairil’ sutradara Syamsul Fajri Nurawat, di gedung teater tertutup Taman Budaya NTB, dalam pentas sastra Taman Budaya NTB 2022, Jum’at (22/07/22)

MATARAM.lombokjournal.com ~ Syamsul Fajri yang karib disapa Jabo adalah sutradara dan aktor teater kelahiran Mataram yang menyelesaikan studi keseniannya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung – kini Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI). 

Dalam praktik kesenian teater pasca pulang dari Bandung Jabo memiliki semangat berbeda dibanding pelaku teater lain di kota Mataram. 

Ia menyukai teater eksperimental. Sebuah teater yang lekat dengan beberapa tokoh besar dunia salah satunya Antonin Artaud. 

awaran berbeda yang membuat Jabo menjadi lain tercermin dalam pertunjukan ‘Doa Chairil’ pada Jum’at  (22/07) malam. Dari pilihan pengadeganan yang tak hanya minim dialog bahkan ada yang tanpa dialog. 

BACA JUGA: 50 Tahun Teater Imago, dari Anak-anak hingga Emak-emak Bahagia

Selain itu, Jabo tak membuat jeda adegan dengan pergantian lampu atau pergantian setting sebagaimana umum dalam teater melainkan menggunakan tokoh. Tokoh yang dipakai yakni seseorang mengenakan kostum wisuda sarjana dengan riasan wajah putih pekat layaknya aktor pantomim sambil memegang besi berbentuk segitiga kecil berfungsi sebagai bebunyian. 

Jabo dalam strategi pengadeganan lebih banyak menampilkan gerakan dan bunyi yang berasosiasi pada simbol-simbol tertentu semisal kemuraman, kesunyian, ketidakberdayaan dan kesedihan. 

Pun dalam lakon ‘Doa Chairil’ kali ini. Suasana suram semakin kentara dengan warna minimalis dengan hanya memakai dua warna dominan yakni hitam dan putih. Warna yang membawa impresi kita melayang jauh menuju cakrawala lama di mana si tokoh Chairil Anwar hidup dan mengembara di jalan-jalan ibu kota. 

Jabo tengah melukis gambar potret dan panggung sebagai kanvasnya. Ia memilih warna minimal yakni hitam dan putih. Warna keramat itu bertugas membawa penonton pada citra masa lalu, masa yang sama saat ‘si gajah’ Hapsah bercinta dengan lelakinya yakni binatang jalang dari Medan. 

Citra muram dengan membebaskan batas panggung dan membuat gambar adegan yang kaya simbol mengingatkan penulis pada sosok Artaud. 

Untuk diketahui Artaud adalah tokoh teater dunia yang dalam praktik keseniannya berusaha mengganti konsep teater klasik ‘borjuis’ dengan konsep yang ia namakan ‘Teater Kejam’, sebuah proyek teater eksperimental yang sangat berpengaruh terhadap teater avant-garde abad 20. 

Dalam dua buku terkenalnya Artaud mengatakan bahwa dirinya percaya peradaban telah mengubah orang menjadi makhluk sakit dan tertindas. Karenanya teater harus membebaskan manusia dari penindasan

Artaud mengusulkan dihapusnya penghalang antara aktor dan penonton dan menciptakan pertunjukan yang mencakup pengucapan mantra-mantra, suara rintihan, teriakan, efek cahaya yang menggetarkan dan tata panggung ganjil. Semua itu diyakini Artaud dapat dipakai meruntuhkan pikiran dan logika penonton agar masuk ke dalam dunia yang telah berantakan.

Sebagimana semangat tersebut Jabo memulai pertunjukannya tidak dari panggung melainkan dari bangku penonton. Para aktor duduk menyebar di antara penonton lain sehingga nyaris tak bisa dibedakan antara aktor dan penonton.  

Naskah yang diadaptasi Jabo dari puisi Chairil Anwar berjudul doa. Puisi tersebut bercerita tentang seorang anak manusia yang tengah pasrah di tengah gejolak kehidupan yang begitu mengganggu kestabilan hidupnya. Bila tak bisa lagi berpaling ke mana-mana maka “Tuhanku, di pintu-Mu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling” ucap salah seorang aktor dengan nada sendu dan dingin. Ia tak hanya sedang gelisah melainkan tengah pasrah. 

Chairil diperankan oleh beberapa aktor dengan karakter tertentu. Yang menarik adalah salah seorang aktor yang pada salah satu adegan berjalan horizontal membelah panggung dengan tatapan tajam lurus ke depan sembari sesekali menghisap rokoknya. Adegan tersebut mengingatkan kita pada foto si ‘Binatang Jalang’ yang paling populer, di mana ia tengah memegang rokok yang nyaris tandas.

Pertunjukan yang tak terlalu panjang tersebut juga mengingatkan pada tempat suci puja puji ritual agama. Bilamana puja-puji dilantunkan pada Tuhan, berharap hari depan makin gemilang. 

Di antara puja-puji itu seseorang tengah duduk dan berucap lirih “Tuhanku, dalam termangu aku masih menyebut nama-Mu. Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh. CayaMu panas suci, tinggal kerlip lilin di kelam sunyi.”

Kepada penulis Jabo mengatakan sedang pada fase yang mirip dengan yang dialami si aku di dalam puisi doa. Karena itu, pertunjukan tersebut sekaligus menjadi doa, menjadi ikrar Jabo dan para pemain menuju hari depan yang lebih baik. 

BACA JUGA: Teater Tradisi Cupak Gerantang di Ambang Punah

Memakai bendera SFNLabs kelompok Jabo tak tampil sendiri, malam itu ada pula penampilan kelompok Rabu Langit dari Lombok Timur yang membawa lakon yang diadaptasi dari puisi WS Rendra. 

SFNLabs sendiri adalah kelompok teater yang didirikan Jabo guna menjadi wadah belajar bersama bagi pelaku teater di kota Mataram. 

Selain wadah berbagi pengetahuan SFNLabs dalam praktik berkesenian selalu menekankan eksperimental sebagai cara mereka mencari kemungkinan bentuk baru dalam dunia seni pertunjukan teater. ***

 

 

Exit mobile version