Indeks

Tarif Perdagangan dan Dampak Perang Dagang

Kanada dan Meksiko menegaskan mereka akan menanggapi tarif AS dengan tindakan mereka sendiri

Trump menangguhkan ancaman tarif tinggi terhadap Meksiko dan Kanada
ilustrasi; tarif itu diberlakukan juga untuk menyeimbangkan defisit perdagangan / Foto aks
Simpan Sebagai PDFPrint

Dalam kampanyenya Trump mengancam akan mengenakan tarif hingga 60 persen pada produk China

Catata Agus K Saputra

lombokjournal.com ~ Ada dua gebrakan kebijakan ekonomi diurai Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS) yang resmi dilantik dan menjabat pada 20 Januari 2025. Apa saja?

Pertama, tarif perdagangan untuk Kanada dan Meksiko mulai 1 Februari 2025. 

Trump menindaklanjuti ancaman ini sebagaimana disampaikan saat kampanye untuk mengenakan pajak 25 persen terhadap terhadap barang dari Kanada dan Meksiko.

BACA JUGA : Rencana Pembangunan NTB Harus Sesuai Arahan Pemerintah Pusat

Dikutip dari BBC, Jumat (31/01/25), keputusan pemberlakuan tarif ini disampaikan olehnya kepada wartawan di Ruang Oval, Gedung Putih, Washington DC. 

Dia mengatakan langkah pemberian tarif perdagangan itu untuk mengatasi pekerja migran tidak berdokumen dan obat fentanil yang melintasi perbatasan AS secara serampangan.

Di sisi lain, tarif itu diberlakukan juga untuk menyeimbangkan defisit perdagangan dengan negara-negara tetangga. Selama ini defisit dagang AS dengan Kanada dan Meksiko cukup besar. 

Kanada dan Meksiko telah mengatakan mereka akan menanggapi tarif AS dengan tindakan mereka sendiri. Mereka juga akan berusaha meyakinkan AS soal tindakan memperketat perbatasan sesuai sesuai dengan keinginan Trump.

Namun demikian, Trump Kembali membuat “heboh”. Menangguhkan ancaman tarif tinggi terhadap Meksiko dan Kanada pada hari Senin (03/02). Dengan menyetujui penundaan selama 30 hari sebagai imbalan atas konsesi dalam penegakan hukum perbatasan dan kejahatan dengan kedua negara tetangga tersebut.

Sementara itu, tarif AS terhadap China tetap akan diberlakukan segera. Dengan kata lain, tidak ada kesepakatan serupa dengan China, yang masih akan menghadapi tarif sebesar 10 persen mulai pukul 12:01 pagi waktu setempat pada hari Selasa (05/02). 

BACA JUGA : Program MBG Harus Ada Kesamaan Pandangan

Selama kampanye pemilihan presiden, Trump mengancam akan mengenakan tarif hingga 60 persen pada produk China.

Tarif merupakan pajak impor atas barang yang diproduksi di luar negeri. Secara teori, menganakan pajak atas barang yang masuk ke suatu negara berarti orang cenderung tidak akan membelinya karena harganya menjadi lebih mahal. 

Tujuannya agar mereka membeli produk lokal yang lebih murah, tentu saja kebijakan ini diharapkan akan meningkatkan ekonomi suatu negara (detikFinance, 31-01-2025: 10.11Wib) 

China menyebut fentanil sebagai masalah domestik AS dan berencana menggugat tarif ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) serta mengambil tindakan balasan lainnya. Namun, China juga tetap membuka peluang untuk bernegosiasi.

Trump juga menyiratkan pada hari Minggu (02/02) bahwa Uni Eropa (UE) bisa menjadi target berikutnya, meskipun ia tidak menyebutkan kapan.

Kedua, mengenakan tarif 25 persen pada impor baja dan aluminium ke AS. Ini menjadi perang barunya ke global terlebih kedua logam tersebut merupakan komponen vital dalam berbagai industri termasuk ransportasi, konstruksi, dan pengemasan.

“Pada dasarnya kami akan mengenakan tarif 25 persen tanpa pengecualian pada semua aluminium dan baja,” kata Trump saat menandatangani perintah eksekutif dikutip dari Financial Post, Selasa (11/02/25).

AS kemungkinan besar menjadi pemenang terbesar dari tarif perdagangan ini. Data resmi menunjukkan impor impor baja AS telah menurun secara substansial selama dekade terakhir atau berkurang 35 persen antara tahun 2014-2024, meskipun ada kenaikan tahunan sebesar 2,5 persen menjadi 26,2 juta metrik ton tahun lalu.

Banyak yang mengaitkan hal ini dengan tarif yang diberlakukan Trump. Impor aluminium AS telah meningkat 14 persen selama dekade terakhir, dengan ekspor logam AS meningkat secara progresif sejak 2020.

“Pada awalnya, ini dapat merusak permintaan. Dalam jangka panjang, kita dapat melihat investasi masuk,” kata Analis di konsultan harga komoditas CRU, James Campbell dikutip dari CNBC (detikFinanace, 11-02-2025: 08.15 Wib).

Pendapat Ekonom Dunia

Ekonom Italia Marco Buti menilai, strategi tarif Trump ini diterapkan secara “tidak konsisten” dan hanya memicu respons tertentu dari sekutu-sekutu AS.

“Apa yang telah Trump peroleh sejauh ini dari negara-negara yang diancam [Kanada dan Meksiko] sebagai konsesi sepihak, sebagian besar bersifat simbolis,” kata Buti, mantan direktur jenderal urusan ekonomi dan keuangan di Komisi Eropa, kepada DW.

Ia mengatakan bahwa langkah-langkah baru yang diusahakan oleh Meksiko dan Kanada di perbatasan, tidak akan cukup untuk menghentikan aliran fentanil yang mematikan atau bahkan menghentikan imigran ilegal untuk masuk ke AS.

“[Tarif Trump] menciptakan ketidakpastian ekonomi secara global dan itu akan sangat merugikan pertumbuhan dan kemakmuran,” tambah Buti.

BACA JUGA : Situasi Tak Menentu, Pentingnya Memahami VUCA

Selain mendorong ekonomi Kanada dan Meksiko ke dalam resesi, ancaman tarif Trump diperkirakan akan akan meningkatkan inflasi AS lebih dari satu poin persentase, yang berpotensi menyebabkan Federal Reserve menahan atau menaikkan suku bunga.

Tarif ini juga dapat mengganggu rantai pasokan produksi yang sudah mapan antara Kanada, AS, dan Meksiko, terutama di sektor otomotif.

Produksi mobil di Amerika Utara sangat terintegrasi, dengan suku cadang kendaraan melintasi perbatasan beberapa kali selama proses produksi. Tarif di setiap tahap dapat meningkatkan harga kendaraan secara signifikan.

“Trump sangat berpandangan lama,” kata Rolf Langhammer, peneliti di Kiel Institute for the World Economy (IfW-Kiel), kepada DW. “Dia berpikir bahwa tarif akan melindungi industri dalam negeri dan bahwa pendapatan dari tarif akan memungkinkan dia untuk memangkas pajak.”

Namun, Langhammer mencatat, saat ini tarif hanya menyumbang 2% dari pendapatan pemerintah federal AS. Angka itu jauh dibandingkan dengan hampir 60% yang berasal dari pajak penghasilan dan pajak perusahaan.

Dampak Global

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewaspadai dampak kebijakan Presiden AS yang memiliki pengaruh besar terhadap ekonomi global. 

“Tidak hanya menerapkan tarif untuk Kanada, China, serta Meksiko, tetapi juga yang terbaru, yang terbaru untuk untuk baja dan aluminium yang akan dikenakan dengan tarif 25 persen. Ini pasti akan mempengaruhi secara besar dalam hal rantai pasok, selain prospek ekonomi global,” kata Sri Mulyani dalam acara Mandiri Investment Forum di Fairmont Jakarta (detikFinance, 11-2-2025: 13.39 Wib).

Sri Mulyani menyoroti pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi akan melemah oleh berbagai lembaga dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF) hingga Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

”Ini adalah saat di mana semua pemimpin serta negara harus terus berpikir terbuka dan berhati-hati saat membuat policy,” tuturnya.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan, secara tidak langsung Indonesia tidak akan akan mendapat manfaat maupun kerugian akibat meningkatnya tensi perang dagang global. Akan tetapi, dinamika perekonomian ini berpotensi memengaruhi nilai tukar rupiah.

Pada titik tertentu, Wijayanto menilai, Foreign Direct Investment (FDI) atau nilai transaksi investasi langsung terjadi lintas batas negara dalam periode waktu tertentu, akan terhambat.

“Dinamika ekonomi global berpotensi membuat nilai tukar Rp dan harga komoditas global tidak stabil, serta aliran FDI dan portfolio investment terhambat; hal ini akan berdampak bagi ekonomi, ” kata Wijayanto kepada detikcom, Minggu (02/02/25).

Ia mengatakan, hal krusial yang akan terjadi akibat perang dagang ini ketika pemerintah Indonesia hendak hendak melakukan refinancing atau proses penggantian pinjaman yang sudah ada dengan pinjaman baru.

“Yang paling krusial, ini terjadi di saat kita perlu melakukan refinancing utang dan menerbitkan utang baru sebesar Rp 1.575 triliun di tahun 2025 dan nilai yang hampir sama di tahun 2026,” terangya.

Akibatnya, kata Wijayanto, Indonesia kemungkinan harus menaikkan suku bunga. Bahkan, ia menilai adanya kemungkinan terburuk, yakni terjadi reversal, di mana asing justru melepas Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Indonesia tidak akan mendapatkan manfaat ataupun mudharat langsung dari perang dagang tersebut. Tetapi dinamika ekonomi global berpotensi membuat nilai tukar Rp dan harga komoditas global tidak stabil, serta aliran FDI dan portfolio investment terhambat, hal ini akan berdampak bagi ekonomi kita.

“Kita kemungkinan harus menaikkan suku bunga; bahkan kemungkinan terburuk adalah terjadi reversal, di mana asing justru melepas SBN dan SRBI, boro-boro menambah kepemilikan,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal mengatakan, pengenaan tarif impor AS pada Kanada dan Meksiko dianggap cukup mengejutkan sejumlah pihak. Pasalnya, pada periode era kepemimpinan pertamanya, Trump sempat menggandeng Kanada dan Meksiko untuk menekan impor produk China ke AS.

Meski begitu, keputusan Trump dinilai terbaca lantaran pada masa kampanye presiden 2024 lalu, ia berkomitmen untuk menaikkan tarif terhadap tiga negara tersebut. Ia menduga, langkah itu diambil untuk menekan defisit perdagangan akibat banjirnya produk impor Kanada dan Meksiko.

“Defisit dengan Meksiko malah meningkat, dengan Vietnam meningkat, dengan Kanada meningkat. Nah jadi pada botom line-nya adalah Trump ini ingin menyasar pada negara-negara yang berkontribusi terhadap peningkatan trade defisit yang mana sekarang bukan hanya China,” kata Faisal kepada detikcom  (02-02-2025: 19.30 Wib)

 

Faisal menilai, kondisi ini bisa menjadi peluang bagi produk ekspor Indonesia untuk lebih bersaing. Apalagi, Indonesia tidak masuk sebagai negara utama yang dikenakan kenaikan tarif impor AS.

Di sisi lain, produk impor Indonesia ke AS memiliki kemiripan dengan Vietnam. Faisal menduga, ke depan AS juga akan memberlakukan hal yang sama pada produk-produk impor Vietnam dengan kenaikan tarifnya.

Namun begitu, Faisal menekankan kewaspadaan pemerintah. Pasalnya, tidak menutup kemungkinan AS juga akan menaikkan tarif impor untuk Indonesia. Apalagi, Indonesia merupakan pengguna fasilitas Penyedia Sistem Komunitas (CSP).

Seandainya telat diantisipasi, Faisal menilai industri tekstil seperti pakaian jadi dan alas kaki akan terdampak. Pada titik tertentu, imbas ini akan mendorong terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tersebut.

Penutup

Perang dagang adalah konflik ekonomi antara dua atau lebih negara yang melibatkan pembatasan perdagangan internasional, seperti tarif impor yang tinggi, kuota impor, dan pembatasan investasi. Perang dagang dapat timbul sebagai respons terhadap ketidakadilan perdagangan atau dalam upaya melindungi industri domestik.

Untuk mengatasi perang dagang, diperlukan pendekatan yang kooperatif dan berorientasi pada solusi, yang melibatkan negosiasi diplomatik, kerja sama internasional, dan komitmen untuk membangun sistem perdagangan internasional yang adil dan inklusif. 

Dengan mengatasi hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional, negara-negara dapat menciptakan lingkungan perdagangan yang stabil dan berkelanjutan, yang menguntungkan semua pihak yang terlibat.***

#Akuair-Ampenan, 18-02-2025

 

Exit mobile version