Parpol Harus Capai Parliamentary Threshold untuk ke Parlemen

Parliamentary threshold merupakan acuan yang digunakan pemerintah Indonesia untuk menentukan apakah partai politik (Parpol) berhak masuk ke parlemen

MATARAM.LombokJournal.com ~ Dalam Pemilu 2024, istilah “parliamentary threshold” sering disebut karena berkaitan dengan penetapan partai politik (Parpol) di kursi DPR RI. Tetapi, apa sebenarnya parliamentary threshold?

BACA JUGA : Mahkamah Konstitusi (MK) Memutuskan Ambang Batas Parlemen 4 persen Diubah

Mahkamah Konstitusi

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, syarat memenuhi parliamentary threshold atau ambang batas parlemen sebesar 4 persen agar Parpolk melaju ke Parlemen konstitusional hanya jika berlaku pada Pemilu 2024. Ke depan, sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029 syarat tersebut harus diubah.

MK menyatakan bahwa ambang batas tersebut tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

Pengertian Parliamentary Threshold

Secara umum, parliamentary threshold adalah acuan yang digunakan pemerintah Indonesia untuk menentukan apakah Parpol berhak masuk ke parlemen. Sejak Pemilu 2009, parliamentary threshold telah menjadi instrumen untuk menyederhanakan keberadaan Parpol.

BACA JUGA : Rumput Laut di Teluk Ekas Jadi Fokus Kunjungan Menko Marves RI

Syarat Parliamentary Threshold

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 mengatur syarat Parpol . Peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 4 persen secara nasional untuk dapat berpartisipasi dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR. Partai yang tidak memenuhi ambang batas tidak akan disertakan dalam penghitungan perolehan kursi DPR di setiap daerah pemilihan.

Ilustrasi Perhitungan Suara dengan Acuan Parliamentary Threshold

Dalam ilustrasi perhitungan suara, partai yang lolos ambang batas parlemen nasional secara otomatis lolos masuk parlemen daerah. Sebaliknya, jika tidak lolos ambang batas parlemen nasional, maka tidak lolos untuk DPRD kabupaten/kota. Jika suara partai politik di suatu daerah pemilihan cukup untuk mendapatkan kursi di DPR, tetapi tidak mencapai 4 persen secara nasional, partai tersebut dianggap gugur.

BACA JUGA : Caleg Pendatang Baru Dapil Pulau Lombok Melenggang ke Senayan

Kunci Partai Politik ke Parlemen

Parliamentary threshold menjadi kunci dalam menentukan keberlanjutan partai politik di parlemen. Dengan aturan yang jelas, Pemilu 2024 akan mempertimbangkan partai politik yang dapat memenuhi ambang batas untuk aktif di tingkat nasional dan daerah. Semoga penjelasan ini memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai peran dan syarat parliamentary threshold. ***

 




Parpol Pendatang Baru, Sulit Dapat Dukungan di Pemilu 2024

Parpol pendatang baru butuh kerja extra ordinary, Mi6 prediksi Pemilu 2024 di NTB menjadi sangat sulit bagi parpol pendatang baru

MATARAM.LombokJournal.com ~ Pemilu 2024 tidak akan mudah bagi partai politik pendatang baru. Kursi DPR RI dari NTB diyakini masih akan digenggam oleh partai pemegang parlementary threshold saat ini. 

Sementara partai pendatang baru, ajang pertarungan mereka diyakini hanya di level DPRD kabupaten dan DPRD Provinsi.

Prediksi peroleh kursi itu disampaikan Direktur Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6, Bambang Mei Finarwanto, di Mataram, Senin (13/02/23).

BACA JUGA: Prediksi MI16, 50 Persen Petahana DPD RI Dapil NTB Bakal Out

Parpol baru hanya bisa berebut kursi DPRD Provinsi/Kabupaten

“Masyarakat sekarang sudah semakin dewasa dalam menilai partai politik. Pemilih sudah cerdas. Pemilu 2024 akan menjadi sangat sulit bagi partai pendatang baru, apalagi untuk partai yang fakir investasi sosial,” kata Bambang Mei.

Mantan ekskutif Walhi NTB dua periode yang karib disapa Didu ini menegaskan, partai politik pendatang baru yang meraih dukungan hanya mengandalkan nama besar dari tokohnya, akan terjebak romantisme masa lalu.

Jika tidak mengimbanginya dengan kerja mesin partai yang masif dan luar biasa.

Didu menilai, kini ada parpol pendatang baru target tinggi, sebetulnya mudah dinilai oleh publik. 

Sebagai sebuah wacana sah-sah saja. Namun, khalayak sudah punya kalkulasi tersendiri, terhadap apa yang realistis dan yang bombastis.

“Partai baru jelas membutuhkan kerja-kerja mesin partai yang benar-benar extra ordinary. Dan sudah sangat jelas, butuh sumber daya untuk memastikan hal tersebut,” ujar Didu.

Investasi sosial menjadi pembeda yang jelas antara partai politik pendatang baru dengan yang lebih dulu eksis. 

Kalau ada investasi sosial dari partai pendatang baru, pastilah dimulai baru-baru saja. 

Sementara partai yang telah lebih dulu eksis, telah melakukannya dalam jangka waktu yang lama, dan menjangkau masyarakat luas.

Menurutnya, dalam konteks politik, tak akan ada investasi sosial yang sia-sia. Parpoli dengan tokohnya yang lebih banyak berbuat untuk masyarakat, akan mendulang insentif elektoral yang lebih besar dibanding partai yang baru.

Apalagi bagi partai yang hanya baru akan melakukan investasi sosial.

BACA JUGA: Pemilu 2023, Mengadopsi Kecanggihan Teknologi, Analisis Mi16

Didu menilai, perebutan kursi DPR RI pada Pemilu 2024 tak akan banyak kejutan. Sebanyak delapan kursi DPR RI di Pulau Lombok dan tiga kursi DPR RI di Pulau Sumbawa, masih akan digenggam Parpol yang lolos ambang batas parlemen pada pemilu lalu.

“Kalaupun ada pergeseran, saya kira, pergeserannya pada figur. Tapi pemilik kursi masih akan milik partai yang sama,” kata Didu.

Sebagaimana diketahui, delapan kursi DPR RI dari Dapil Pulau Lombok saat ini menjadi milik Partai Gerindra, Golkar, PKS, PDIP, PPP, Demokrat, PKB, dan NasDem. Tiga kursi Dapil Pulau Sumbawa milik Gerindra, PKS, dan PAN. 

Partai-partai tersebut adalah partai yang lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019.

“Jika kini ada 17 parpol yang telah dinyatakan lolos menjadi peserta Pemilu 2024, dan tidak ada penambahan kursi DPR RI dari Dapil Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, lalu kursi yang mana lagi yang akan diambil parpol pendatang baru?” tandas Didu.

Meski begitu, Didu tak ingin membunuh harapan. Apalagi jika memperhitungkan Pemilu 2024 akan didominasi pemilih muda. 

KPU sudah memprediksi, Pemilu serentak dua tahun mendatang itu akan ada 107 juta pemilih muda dengan rentang usia 17-40 tahun. Jumlah tersebut setara dengan 53-55 persen pemilih.

Parpol yang lolos ambang batas parlemen juga menyadari hal tersebut. Sehingga mereka juga sudah mulai menggarap para pemilih muda bukan hanya saat ini. 

Hal yang sama, partai politik yang lama juga sudah selangkah lebih maju dibanding partai pendatang baru.

Karena itu, gelanggang partai pendatang baru pada Pemilu 2024 sesunggunya bukan pada perebutan kursi DPR RI dari Dapil Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. 

Namun, dia menilai parpol baru akan banyak memberi kejutan pada level perebutan kursi DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota.

“Untuk partai pendatang baru, menempatkan kadernya di DPRD kabupaten/kota, atau di DPRD provinsi tentu akan menjadi sebuah cara terbaik untuk eksis dan menyiapkan investasi sosial yang lebih masif,” katanya.

Efek Ekor Jas

Di sisi lain, Didu menanggapi kemungkinan partai pendatang baru akan mendapatkan efek ekor jas atau coat-tail effect saat mereka ikut berdiri pada barisan partai yang mencalonkan kandidat presiden yang potensial memenangi kontestasi. 

Apalagi, Pemilu Legislatif juga digelar berbarengan dengan Pemilu Presiden pada 14 Februari 2024.

Menurutnya, coat-tail effect selama ini memang terbukti mampu memberi kontribusi berupa insentif elektoral bagi partai politik. Namun, tak semua partai bisa mendapatkan hal tersebut meski mencalonkan figur yang sama di Pilpres.

BACA JUGA: Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor Berbasis Aplikasi di NTB

Contoh pada Pilpres 2019, Joko Widodo yang merupakan kandidat yang paling poluler dan dicalonkan oleh banyak partai politik. Tidak semua partai politik yang mencalonkan Jokowi tersebut mendapatkan efek ekor jas. 

Terbukti, empat partai politik pendukung Jokowi yakni PSI, Perindo, Hanura, dan PBB, tidak lolos parlementary threshold.

Begitu pada parpol  yang mencalonkan Prabowo Subianto sebagai presiden. Efek ekor jas jelas menjadi milik Partai Gerindra. 

Sementara partai pendukung lainnya, meski mendapatkan efek namun efeknya sangat kecil.

“Hal yang sama masih akan terjadi dalam Pemilu 2024. Efek ekor jas, masih akan menjadi pemilik partai pengusung utama, bukan partai pendukung. Publikasi sejumlah survei sudah menunjukkan gejala tersebut,” kata Didu.

Karena itu, cara terbaik mendapatkan dukungan dari para pemilih dalam Pemilu 2024 bagi partai pendatang baru adalah dengan menggerakkan mesin partai secara massif. 

Bukan sebaliknya, belum apa-apa tapi malah mempertontonkan saling sikut sesama elite partai.

“Kalau belum apa-apa sibuk berkelahi, sudah pasti ada sisi yang hilang. Dan akan menjadi celaka, jika yang hilang itu adalah bilangan yang besar,” katanya. ***