Jenis kekerasan seksual merupakan perbuatan baik verbal, nonfisik, fisik, bahkan yang dilakukan melalui teknologi informasi dan komunikasi
LombokJournal.com ~ Peristiwa kekerasan seksual masih kerap terjadi di sekitar kita, di berbagai lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan.
Korban kekerasan seksual tentu adalah kaum perempuan, misalnya mahasiswi. Seperti dilakukan dosen berinisial EDH, pengajar di Universitas Siliwangi (Unsil), Jawa Barat baru-baru ini. Padahal ia tercatat sudah menjalani profesi pendidik selama 30 tahun.
Sudah banyak laporan dari mahasiswi lain, dosen tersebut sering bertindak tidak senonoh.
Namun kita tidak membahas kasus pendidik yang menodai citra perguruan tinggi itu.
Tapi yang hendak kita bicarakan, bagaimana kita memahami apa yang dimaksud ‘kekerasan seksual itu’?
Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Indonesia telah dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), dengan menerbitkan buku Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Tinggi.
Ini merupakan komitmen serius untuk memastikan terpenuhinya hak dasar atas pendidikan bagi seluruh warga negara.
Kekerasan Seksual didefinisikan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi (alat vital) seseorang.
Penyebabnya, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik.
Termasuk mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.
“Ketimpangan Relasi Kuasa dan/atau Gender”?
Menurut Komnas Perempuan (2017), “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender” adalah sebuah keadaan terlapor menyalahgunakan sumber daya pengetahuan, ekonomi dan/ atau penerimaan masyarakat atau status sosialnya untuk mengendalikan korban.
Jenis kekerasan, termasuk juga kekerasan seksual berdasarkan jenisnya, dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual yang dilakukan secara:
verbal,
nonfisik,
fisik, dan
daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi
Contoh bentuk kekerasan seksual selain pemerkosaan, perbuatan-perbuatan di bawah ini termasuk kekerasan seksual;
berperilaku atau mengutarakan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan penampilan fisik, tubuh ataupun identitas gender orang lain (misal: lelucon seksis, siulan, dan memandang bagian tubuh orang lain);
menyentuh, mengusap, meraba, memegang, dan/atau menggosokkan bagian tubuh pada area pribadi seseorang;
mengirimkan lelucon, foto, video, audio atau materi lainnya yang bernuansa seksual tanpa persetujuan penerimanya dan/atau meskipun penerima materi sudah menegur pelaku;
menguntit, mengambil, dan menyebarkan informasi pribadi termasuk gambar seseorang tanpa persetujuan orang tersebut;
memberi hukuman atau perintah yang bernuansa seksual kepada orang lain (seperti saat penerimaan siswa atau mahasiswa baru, saat pembelajaran di kelas atau kuliah jarak jauh, dalam pergaulan sehari-hari, dan sebagainya);
mengintip orang yang sedang berpakaian;
membuka pakaian seseorang tanpa izin orang tersebut;
membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam seseorang untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang sudah tidak disetujui oleh orang tersebut;
memaksakan orang untuk melakukan aktivitas seksual atau melakukan percobaan pemerkosaan; dan
melakukan perbuatan lainnya yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.
Kata kunci yang menjadi indikator suatu kekerasan adalah paksaan. Kegiatan apa pun yang mengandung paksaan adalah kekerasan.***
sumber: Kemendikbudristek
Kekerasan Seksual di Kampus Nodai Citra Perguruan Tinggi
Para tenaga pendidik yang melakukan kekerasan seksual sebagaimana di Unsil itu tidak bisa ditoleransi
LombokJournal.com ~Kekerasan seksual yang dilakukan dosen berinisial EDH, mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi (Unsil), Jawa Barat, mendapat perhatian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlundungan Anak (KemenPPPA).
Seperti diberitakan media nasional, Dosen yang mengajar lebih dari 30 tahun di Unsil yang kerap menjadi dosen pembimbing skripsi mahasiswa itu banyak diketahui punya perilaku genit pada mahasiswi.
KemenPPA menilai, kejadian kekerasan seksual yang dilakukan oleh para tenaga pendidik sebagaimana di Unsil itu menodai citra perguruan tinggi. secara tegas tidak menoleransi kelakuan itu.
“Kemen PPPA sesuai dengan komitmen kita bersama mengutuk keras terjadinya kekerasan seksual yang masih terjadi di lingkup Perguruan Tinggi Itu sangat menodai citra dunia pendidikan,” kata Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kemen PPPA, Minggu (12/02/23).
Menurutnya, keluarga memberikan kepercayaan kepada tenaga pendidik untuk memberikan pendidikan formal kepada anak-anak mereka.
Namun kelakuan para oknum tenaga pendidik masih saja terus memakan korban dari para anak-anak didiknya.
Melalui tim SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak), pihak KemenPPP langsung melakukan koordinasi dengan Unit Layanan yakni UPTD PPA Provinsi Jawa Barat. Tim memastikan kondisi korban serta mempersiapkan pendampingan kepada korban sesuai kebutuhannya, khususnya pendampingan psikologis.
“Apresiasi setinggi-tingginya kepada korban yang telah berani melaporkan kasus kekerasan seksual yang telah dialaminya. Tentunya juga kerja cepat dari seluruh pihak, khususnya Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Siliwangi yang langsung mendampingi korban setelah melakukan pelaporan tersebut,” jelas Ratna.
KemenPPPA juga menekankan pentingnya seluruh perguruan tinggi menunjukkan komitmennya untuk menghapus segala tindak dan bentuk kekerasan seksual di kampus.
Yakni mengimplementasikan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbudristek PPKS).
“Tegasnya, implementasi Permendikbudristek PPKS di lingkungan kampus akan mencegah kejadian kekerasan seksual terulang. Karena mengatur langkah-langakh penting dan perlu guna mencegah dan menangani kekerasan seksual. Pentingnya menciptakan lingkungan perguruan tinggi yang aman dari kekerasan seksual akan mendukung terciptanya generasi muda yang berkualitas,” tambah Ratna.
Makin maraknya kasus-kasus yang muncul di Perguruan Tinggi, Ratna berharap kiranya semua pihak semakin gencar melakukan sosialisasi Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Undang-Undang ini menjadi harapan besar dalam penuntasan kasus kekerasan seksual. Karena UU ini memuat point penting mulai dari jenis tindak pidana, hukuman bagi pelaku hingga perlindungan bagi korban.
Ratna mengajak semua perempuan yang mengalami kasus kekerasan seksualberani bicara dan mengungkap yang dialaminya.
Untuk memudahkan aksesibilitas kepada korban atau siapa saja yang melihat, dan mendengar adanya kekerasan dapat melaporkan kasusnya melalui call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dan WhatsApp 08111 129 129.***
Kekerasan Seksual yang Jadi Sorotan Publik
Peristiwa kekerasan seksual juga terjadi di lingkungan pendidikan bahkan ada kejadian di lingkungan kantor Kementerian
LombokJournal.com ~ Kaum perempuan yang sering kali menjadi korban kasus kekerasan seksual, yang kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Komnas Perempuan mencatat, selama Januari hingga November 2022 menerima 3.014 laporan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas, dan 899 kasus di ranah personal.
Hadirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan bulan April 2022 membawa angin segar, yang berkontribusi pada keberanian dan kepercayaan korban untuk melaporkan kasusnya.
Namun masih cukup banyak kasus kekerasan seksual sepanjang 2022 ini.
Seperti dikutip dari Beautynesia ada beberapa kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang menjadi sorotan publik Indonesia sepanjang tahun 2022.
Pria cium anak di bawah umur di Gresik, Jawa Timur
Ini kasus pelecehan seksual yang bikin netizen geram, viral di media sosial potongan video dari rekaman CCTV yang memperlihatkan seorang pria mencium anak di bawah umur di Gresik. Ini terjadi bulan Juni 2022.
Polisi setempat pernah mengatakan, kejadian tersebut bukanlah pelecehan , ini mendapat kritik dan kecaman.
Rekaman CCTV yang beredar di media sosial berdurasi 1 menit 58 detik. Seorang pria memakai kemeja putih dan celana coklat, duduk di sebuah toko, ia sedang membeli minuman.
Datang seorang perempuan dewasa bersama seorang anak perempuan. Ketika perempuan dewasa masuk ke toko, sang anak yang mengenakan jilbab coklat menunggu di luar, di dekat pria yang duduk itu.
Terlihat pria itu tampak sedang mengawasi keadaan sekitar, lalu ia menarik tangan anak perempuan untuk mendekat ke arahnya. Situasi yang sepi dan tidak ada yang memperhatikan, pria itu lalu memeluk tubuh anak perempuan dan menciumnya.
Setelah dicium pria itu, sang anak perempuan nampak mengusap mulutnya dengan wajah bingung. Tak puas, pria tersebut kembali mencium perempuan di bawah umur itu lalu pergi meninggalkan toko.
Diketahui aksi dugaan pelecehan seksual tersebut terjadi di Desa Mriyunan, Sidayu, Gresik.
Pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, Buchori (49) akhirnya diamankan polisi pada Kamis (23/06/22) malam. Usai melakukan penyelidikan terhadap rekaman CCTV dan memeriksa beberapa saksi, pihak Satreskrim Polres Gresik bekerja sama dengan Polda Jatim, menangkap pelaku. Kepada polisi, Buchori menyebut aksinya karena nafsu birahinya meningkat usai empat tahun menduda.
Buchori mengaku baru pertama kali melakukan pencabulan. Namun ia memang memiliki niat melampiaskan nafsunya ketika melihat korban yang berusia 12 tahun.
Masih ingat kasus pencabulan santriwati di Jombang yang sempat bikin geger masyarakat Indonesia?
Setelah beberapa kali gagal ditangkap, MSAT alias Mas Bechi, pelaku pencabulan terhadap santriwati di Jombang, akhirnya menyerahkan diri kepada polisi pada awal Juli 2022 lalu sekitar pukul 23:00 WIB.
MSAT telah ditetapkan menjadi tersangka sejak 2 tahun lalu setelah menjadi DPO selama 6 bulan atas dugaan pencabulan terhadap santriwati.
Kasus pencabulan Mas Bechi terhadap santriwati ini telah dilakukan sejak 2017. Pada 2018, ada santri yang berani melapor ke Polres Jombang. Laporan ini atas dugaan pencabulan, persetubuhan hingga kekerasan seksual pada tiga santriwati, seperti dilansir dari detikJatim.
Pada Oktober 2019 Polres Jombang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan. Ini karena pelapor dianggap tidak memiliki bukti lengkap.
Usai penolakan laporan korban karena tak cukup bukti, akhirnya korban lain pun melaporkan MSAT ke Polres Jombang. Laporan ini juga dilakukan pada tahun 2019.
Hingga akhirnya Januari 2020, penyidikan kasus ini resmi diambil alih Polda Jatim.
Korban pencabulandan pemerkosaan Mas Bechi buka suara. Sambil terisak, para korban menceritakan kisah pilu yang mereka alami.
Ada dua korban yang berani bersuara dan membeberkan aksi keji yang dilakukan Mas Bechi. Pengakuan tersebut disampaikan melalui wawancara dengan CNNIndonesia TV pada Maret 2020 lalu.
Terungkap, Mas Bechi tidak hanya melakukan aksi pencabulan dan pemerkosaan, namun ia juga menyekap hingga menghajar korban.
Korban pertama mengaku sempat menjalin hubungan asmara dengan Mas Bechi dan berjalan selama 5 tahun. Ketika korban berusia 15 tahun, ia mengaku dicabuli untuk pertama kalinya.
Di tahun keempat menjalani hubungan, korban ingin berpisah dengan Mas Bechi. Namun, ia malah dipaksa, diancam hingga dihajar oleh MSAT.
Korban pun sempat mencari perlindungan untuk melepaskan diri dari Mas Bechi. Namun, upaya tersebut diketahui Mas Bechi.
Ia kemudian dijemput paksa oleh orang suruhan Mas Bechi dan dibawa ke sebuah tempat yang disebut Puri. Di sana, ia dihajar dan diperkosa oleh Mas Bechi.
Kabar terbaru, pelaku pencabulan yang menjadi terdakwa, Moch Subchi Azal Tzani (MSAT) alias Mas Bechi (42) divonis 7 tahun penjara.
Mas Bechi terbukti bersalah dalam kasus perbuatan cabul terhadap santriwati. Namun, vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya, yaitu 16 tahun pidana penjara.
Nama motivator Julianto Eka Putra, jadi sorotan pada pertengahan Juli 2022 lalu. Julianto Eka Putra (JE) menjadi tersangka kasus kekerasan seksual terhadap siswi di SMA SPI Kota Batu, Malang, di mana ia merupakan pendiri sekolah terkenal tersebut.
Kasus ini sebenarnya sudah bergulir cukup lama, mencuat pada akhir Mei 2021. Butuh waktu sekitar 67 hari sebelum akhirnya Julianto Eka Putra ditetapkan sebagai tersangka, yaitu pada 5 Agustus 2021 lalu. Setelah hampir satu tahun ditetapkan sebagai tersangka, motivator Julianto Eka Putra akhirnya resmi ditahan pada Senin (11/07/22).
Julianto Eka Putra mendirikan SMA SPI dengan tujuan untuk membantu anak-anak yatim piatu dan kurang mampu dalam bidang pendidikan.
Namun siapa sangka, tersimpan cerita kelam di dalamnya. Diduga belasan siswi menjadi korban kekerasan seksual Julianto Eka Putra.
Dari belasan korban, ada dua korban yang berani bersuara dan membeberkan aksi keji Julianto Eka Putra terhadap mereka. Salah seorang korban, mengaku masuk ke sekolah SPI karena berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ia berharap dengan mengenyam pendidikan di sekolah SPI, bisa membuat masa depannya cerah.
Tragedi bermula ketika ia duduk di bangku kelas 2 SMA. Saat itu ia masih berusia 16 tahun. Ia baru saja mengikuti sebuah perlombaan, kemudian ia dibawa oleh Julianto Eka Putra ke sebuah bukit. Di situ, ia diberi motivasi oleh pria yang kerap disapa Ko Jul tersebut.
Saya dimotivasi oleh JE, si JE bilang kalau ‘kamu itu anak yang punya potensi, kamu mau nggak Koko didik untuk bisa menjadi seorang leader?'” ungkap salah seorang korban kepada Karen Pooroe, dilansir dari YouTube CokroTV, jum’at (08/07).
Pria yang akrab disapa Ko Jul itu meminta korban untuk menganggapnya sebagai sosok ayah atau kakak. Pria tersebut juga berpesan jika korban ingin sukses, maka ia harus menuruti apa perkataan dirinya.
Setelahnya, aksi pelecehan seksual terjadi. Korban mengaku dipeluk, dicium, hingga dipaksa berhubungan badan. Julianto Eka Putra mengancam korban agar tidak memberi tahu siapapun soal kejadian tersebut. Korban pun ketakutan dan tidak berani melawan.
Jika ia tidak menurut, ia akan dimaki-maki bahkan dipukul. Korban mengaku kekerasan seksual yang diterimanya berlangsung hingga ia lulus dari sekolah SPI. Tak hanya itu, korban mengaku juga disuruh bekerja oleh Julianto Eka Putra. Namun, ia tidak digaji.
Pada bulan September 2022 lalu, Julianto Eka Putra divonis penjara 12 tahun. Ia terbukti melakukan tindakan kekerasan seksual hingga pemerkosaan terhadap siswanya.
Pemerkosaan Siswi SD di Medan oleh Kepsek dan Tukang Sapu Sekolah
Heboh di media sosial soal seorang siswi SD di Medan diduga diperkosa oleh kepala sekolah dan tukang sapu. Kasus ini menjadi viral setelah orangtua korban, melaporkan kejadian tersebut ke pengacara kondang Hotman Paris Hutapea pada September 2022 lalu.
Melalui video yang diunggah Hotman di akun Instagramnya, @hotmanparisofficial, ia menjelaskan, ada seorang anak perempuan berusia 10 tahun yang diduga diperkosa oleh beberapa orang.
“Ada satu kasus, ini lah anak kecil, cewek umur 10 tahun yang diduga diperkosa oleh berbagai orang. Oleh oknum pimpin sekolah, pimpinan administrasi bahkan tukang sapu dari sekolah tersebut ikut diduga memperkosa anak kecil ini,” kata Hotman.
bu dari korban, kemudian menceritakan kronologi kejadian yang dialami sang anak. Diduga sang anak diperkosa oleh beberapa orang di gudang sekolah. Awalnya, sang anak diberi serbuk putih oleh tukang sapu.
“Anak saya dibawa ke gudang, awalnya anak saya dikasih serbuk putih sama tukang sapu. Setelah habis, mulutnya dilakban, kakinya diikat, setelah itu digendong dibawa ke gudang,” tuturnya kepada Hotman.
Di dalam gudang tersebut dceritakan, sudah ada kepala sekolah yang menunggu. Setelah itu, korban diduga diperkosa secara bergilir oleh kepala sekolah dan tukang sapu sekolah.
“Pimpinan masuk dan terjadi lah pelecehan. Iya diperkosa bergantian,” tuturnya.
Kasus ini disebut sudah dilaporkan ke Polrestabes Medan dan sudah ditarik ke Polda Sumut. Hotman Paris mengatakan laporan pemerkosaan ini bernomor 1769 tanggal 10 September 2021.
“Bapak Kapolda Sumatera Utara tolong segera kasus ini mendapat perhatian,” sebut Hotman Paris.
Pemerkosaan Pegawai Kemenkop
Kasus pemerkosaan yang dilakukan oknum pegawai negeri sipil atau Aparatur Sipil Negara (ASN) terhadap pegawai honorer di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) bikin publik geger.
Dugaan kasus asusila ini terjadi pada 2019 silam, namun kembali mencuat usai korban berinisial ND kembali membuka kasusnya. Mengajukan praperadilan atas keputusan penghentian kasus oleh Polresta Bogor pada 2020.
Di tahun 2019, polisi mendapat aduan dari ayah korban dengan isi aduan terkait tindakan asusila yang dialami ND. Terduga asusila yang berjumlah 4 orang sempat ditahan dengan dugaan tindak asusila selama 21 hari oleh pihak Polres Kota Bogor, Februari 2020.
Satu bulan setelahnya, polisi menghentikan penyelidikan kasus usai pelaku dan korban disebut telah berdamai.
Pelecehan diduga terjadi pada 5-6 Desember 2019 saat Kemenkop melakukan kegiatan di luar kantor yang diikuti oleh Bidang Kepegawaian. Korban berinisial ND menjadi salah satu pesertanya.
Pada 5 Desember 2019, usai kegiatan, sekitar pukul 23.30 WIB, ND beserta tujuh orang lainnya makan di sebuah restoran. Pada 6 Desember 2019, sekitar pukul 04.00 WIB, ND kembali ke hotel.
“Setelah kembali ke hotel terjadi dugaan tindak asusila oleh empat orang, W, Z, MF, dan N, terhadap ND di dalam kamar di sebuah hotel di Bogor,” ungkap Sekretaris Kemenkop UKM, Arif Rahman Hakim di Kemenkop UKM, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (24/10).
Kemudian pada 20 Desember 2019, Arif mengatakan orangtua korban yang juga pegawai di Kemenkop melaporkan adanya pelecehan seksual yang dialami anaknya. Usai mendapat laporan itu, pihaknya langsung memberikan pendampingan kepada ND.
Pada 30 Desember 2019, bidang kepegawaian melakukan pemanggilan kepada dua pelaku. Pada 1 Januari 2020, Polres Bogor mulai melakukan penyelidikan dengan memanggil empat terduga pelaku.
Pada 13 Februari 2020, empat terduga pelaku ditahan selama 21 hari oleh Polres Bogor Kota. Pada 14 Februari 2020, Kemenkop memberikan sanksi pemutusan kontrak kepada pelaku MF dan N yang berstatus non-ASN. Sedangkan W dan Z diberi sanksi turun jabatan dari kelas jabatan 7 ke kelas jabatan 3.
Di bulan Maret, pelaku diproses dan ditangguhkan dari tahanan serta diwajibkan lapor 2 kali seminggu. Arif mengatakan kasus tersebut selesai dengan mediasi antara korban dengan pelaku. Kemudian, pada 13 April 2020, korban ND menikah dengan pelaku Z.
“Setelah tercapai kesepakatan antara keluarga korban dan pelaku untuk diselesaikan secara kekeluargaan, pihak kepolisian terbitkan SP3,” katanya.
Adanya kesepakatan damai tersebut dibantah oleh pihak korban. Tim Advokasi dan Komunikasi Publik Kasus Korban Pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan UKM (TAKON Kemenkop) mewakili pihak keluarga membantah klaim yang disampaikan Kemenkop UKM.
Koordinator TAKON Kemenkop, Kustiah Hasim, mengatakan kakak korban menyebut klaim fakta tersebut tak berdasar kebenaran alias bohong.
Kustiah memaparkan, ide terkait pernikahan pelaku dengan korban didorong oleh pihak kepolisian, bukan dari keluarga atau orangtua korban.
Pernikahan inilah yang akhirnya menjadi dasar penerbitan SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan oleh Polresta Bogor. Padahal, menurut Kustiah, pihak keluarga korban tidak pernah mengetahui perihal SP3 tersebut.
Selain itu, pihak keluarga juga membantah soal pengunduran diri korban. Justru, kakak korban menanyakan alasan mengapa korban tidak diperpanjang masa kerjanya alias tidak dipekerjakan lagi di Kemenkop UKM.
Wakapolresta Bogor Kota AKBP Ferdy Irawan menjelaskan soal kasus pelecehan seksual di Kemenkop UKM. Dia menjelaskan alasan penyelidikan kasus tersebut disetop. Kasus sempat diproses dan para pelaku sempat ditahan Mapolresta Bogor Kota pada Februari 2020.
Namun kemudian, kata Ferdy, pihak korban dan keluarga datang ke Polresta Bogor Kota pada Maret 2020 untuk mencabut laporan. Dia mengatakan kedua pihak sudah berdamai dan pelaku akan menikahi korban sebagai bentuk pertanggungjawaban.
“Kemudian Maret 2020 itu datanglah korban dengan keluarganya membawa surat pencabutan laporan dan perdamaian yang sudah ditandatangani oleh para pihak, pelapor maupun terlapor, terus dengan juga menunjukkan ternyata mereka sudah sepakat akan melakukan pernikahan,” sebut Ferdy, dikutip dari detikNews.
Ferdy mengatakan pernikahan antara pelaku dan korban merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Ia membantah jika polisi dituding mendorong pernikahan itu dijadikan alat untuk membebaskan pelaku dari jeratan hukum.
Pada November 2022 lalu, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki memecat dua PNS pelaku kasus dugaan kekerasan seksual di Kemenkop UKM. Keputusan ini merupakan hasil penelusuran tim independen.
“Setelah melalui suatu proses koordinasi dengan BKN, Kemen PPPA, KASN, dan juga hasil penelusuran Tim Independen, kami putuskan memberikan sanksi disiplin berupa pemecatan kepada pelaku kekerasan seksual kepada dua PNS atas nama ZPA dan WA,” ujar Teten dalam konfrensi pers di kantor Kemenkop UKM, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (28/11/22), dilansir dari detikNews.
Sementara untuk pelaku berinisial EW tak ikut dipecat namun dikenakan sanksi penurunan jabatan. Pelaku lainnya, berinisial MM diberikan sanksi pemutusan kontrak kerja. ***