Indeks

Program Seeing is Believing dari SCB Cegah Kebutaan

Wagub NTB, H Muhammad Amin launching program Seeing is Believing di SDN 11 Mataram, Kota Mataram, NTB, Kamis (12/10) (Foto: Dok Humas NTB).
Simpan Sebagai PDFPrint

SCB, Fred Hollows, Upayakan Reduksi Kerusakan Mata 550 ribu anak di NTB

launching Seeing is Believing

MATARAM.lombokjournal.com — Program kesehatan mata yang akan berjalan hingga tahun 2020 ini, menargetkan menekan angka kebutaan anak, low vision, dan kerusakan mata pada anak dengan sasaran sekitar 550 ribu anak usia Sekolah Dasar di NTB.

Di NTB, program akan menyasar 550 ribu anak SD di lima Kabupaten/Kota, yakni Kota Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Sumbawa Barat.

“Program ini akan berlangsung hingga 2020 mendatang,” kata Country Head Brand Marketing SCB Indonesia, Rosalinda Hoesin, Kamis (12/10), usai launching program di SDN 11 Mataram, Kota Mataram, NTB.

Seremoni launching dihadiri Wakil Gubernur NTB, Muhammad Amin, Kepala Dinas Kesehatan NTB, Nurhandini Eka Dewi, Wail Walikota Mataram, Mohan Roliskana, dan National Program Coordinator FHF Indonesia, Courtney Saville.

Rosalinda menjelaskan, program Seeing is Believing merupakan inisiatif global Standard Chartered Bank untuk mencegah kebutaan di komunitas-komunitas di mana Bank beroperasi.

Program ini menurutnya, telah berhasil mengumpulkan dana sebesar USD95 juta dan menyentuh sedikitnya 150,3 juta penerima bantuan di 30an negara, termasuk Indonesia.

National Program Coordinator FHF Indonesia, Courtney Saville mengatakan, FHF mengimplementasikan program seeing is believing di NTB dengan menyasar sekitar 3.500 Sekolah Dasar di lima daerah Kabupaten dan Kota.

“Sasaran program adalah 550 ribu anak SD serta 3.500 guru hingga 2020. Selama program ini kami juga akan memberikan pelatihan kepada tenaga kesehatan serta menyediakan peralatan screening mata untuk 97 unit Puskesmas di NTB,” kata Courtney.

Menurutnya, program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya kebutaan dan cacat penglihatan pada anak.

Gangguan penglihatan seperti kebutaan dan low vision akan berpengaruh terhadap proses belajar dan tumbuh kembang anak yang kurang maksimal. Lebih jauh, hal ini juga akan berdampak pada perilaku dan mempengaruhi partisipasi mereka dalam aktivitas fisik dan sosial.

“Program ini memastikan bahwa anak-anak akan memperoleh kesempatan yang sama untuk pendidikan dan tidak akan ada seorang pun anak yang tertinggal, karena gangguan penglihatan,” katanya.

Courtney menjelaskan, selain di Indonesia, program yang sama juga dilakukan FHF di Vietnam, Filipina, Bangladesh, Nepal, dan China.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, Nurhandini Eka Dewi mengatakan, prevalensi angka kebutaan di NTB masih tinggi dan menjadi urutan kedua tertinggi di Indonesia yakni berkisar 4 persen,  di saat angka rerata nasional hanya 2,8 persen.

Untuk resiko gangguan penglihatan pada anak usia SD, menurut Nurhandini, sekitar 10 persen anak SD di NTB mengalami gangguan penglihatan atau low vision.

“Berdasarkan survay di beberapa sampel SD, itu 10 persen anak SD di NTB mengalami gangguan penglihatan dan membutuhkan kacamata. Penyebabnya ada salah cara membaca, kurang cahaya, dan juga ada pengaruh penggunaan gadget, selain kelainan bawaan lainnya,” kata Nurhandini.

Ia menjelaskan, dalam program ini SCB bersama FHF juga akan memfasilitasi Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Mataram dengan perangkat optik berkualitas dengan harga yang terjangkau.

“Salah satu masalah orang untuk memakai kacamata kan soal harga. Nah dalam program ini akan dibantu kacamata murah,” katanya.

Seremoni launching program seeing is believing di Mataram, juga dirangkai dengan pembagian kacamata gratis untuk 100 siswa SDN 11 Mataram, dan juga pemeriksaan mata untuk seluruh siswa di sekolah itu.

AYA

 

Exit mobile version