Indeks
Opini  

Mutasi ‘Tanpa Pamrih’, Benarkah?

Profesionalisme Birokrasi demi meningkatkan pelayanan publik; masih jauh panggang dari api.
Simpan Sebagai PDFPrint

Setelah Tim Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap BUpati Klaten, Sri Hartini yang kesandung skandal suap terkait mutasi pejabat di akhir tahun 2016, Kepala Daerah yang terbiasa main dalam ‘mutasi haram’ di berbagai tempat di Indonesia mulai menangkap sinyal tanda bahaya. Tapi masih adakah penempatan jabatan, apalagi di posisi jabatan strategis, tanpa ‘kontribusi’ bagi Kepala Daerah?

lombokjournal.com

Ada ungkapan umum, korupsi atau suap dalam penempatan jabatan tercium baunya seperti kentut.  Dan seperti halnya kentut, meski baunya menyengat namun tak pernah jelas wujudnya.  Dugaan-dugaan pun berseliweran, meski dengan indikasi meyakinkan, tapi membuktikan siapa sumber bau kentut bukanlah mudah.

Dalam kasus suap jabatan, biasanya menggunakan seseorang yang menjadi perantara pengumpulan uang yang akan diberikan kepada Kepala Daerah agar yang bersangkutan mendapat jabatan yang diinginkan.  Di Kabupaten Klaten, putra Sri Hartini yang saat ini Ketua Komisi IV DPRD Klaten, Andi Purnomo, diduga menjadi perantara dan pengepul para pihak yang ingin mendapatkan jabatan ‘haram’.

Belum bisa dipastikan apa peranan Andi dalam kasus yang telah mentersangkakan ibunya itu. Meski demikian, Andi juga (diduga), selain sebagai penghubung, ia juga mengambil keuntungan dengan memesan proyek kepada pihak yang ‘membeli’ jabatan itu. Sekali mengayuh, keuntungan ganda langsung direngkuh.

Bupati Klaten, Sri Hartini – suaminya yang juga mantan Bupati Klaten juga kesandung korupsi – memang sedang kejatuhan sial. Sebab umumnya Kepala Daerah – mulai gubernur hingga bupati/walikota – di berbagai daerah banyak bersinggungan dengan pejabat yang ingin memuluskan posisinya dengan dengan jalan‎ menyuap. Sebagian besar Kepala Daerah itu hanya belum ketabrak nasib sial.

Tapi bau kentut itu sudah tercium. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menengarai ada kejanggalan dalam proses mutasi pejabat dalam penataan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) berdasarkan PP No 18/2016 tentang Perangkat Daerah. Diduga kuat banyak terjadi di luar Jawa.

Penataan yang diharapkan merampingkan organisasi birokrasi daerah hingga 25 persen itu, dan itu menghemat belanja pegawai, membuat pejabat eselon II ingin bertahan di posisinya atau justru memburu jabatan-jabatan strategis.

Tapi pengakuan seorang yang pernah ditawari masuk eselon IV di satu kabupaten di provinsi NTB itu mengindikasikan, soal bayar uang jabatan itu sudah lama berlangsung. Bahkan dilingkungan birokrasi, hal itu malah dianggap sebagai kewajaran. “Masa untuk jadi kasubag saja harus setor sampai 15 juta, untuk apa. Dua tahun lagi saya juga pensiun,” cerita seorang aparatur yang sudah lebih 30 tahun mengabdi sebagai ASN di pemkab.

Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Lombok Utara, Ardianto, SH, kepada wartawan mengatakan, ia berharap KPK tidak hanya memantau Kabupaten Klaten tapi semua daerah yang menurutnya soal suap mutasi jabatan hal yang dianggap lumrah. Tentu ia tak secara langsung mengatakan, di KLU soal suap itu dianggap sebagai kewajaran.

Gubernur NTB, DR M Zainul Majdi, berharap tak ada transaksi  dalam mutasi di lingkungan birokrasi Provinsi NTB yang berlangsung, Selasa (3/1) lalu. Tak perlu berprasangka kalau gubernur hanya ‘berharap’ tapi tidak ‘memberi jaminan’ benar-benar tak ada suap.

Hal sama juga diungkapkan Wakil Walikota Mataram, Mohan Roliskana, setelah berlangsung mutasi 868 ASN di Pemkot Mataram (Jum,at, 30/12), “Saya sangat mengharamkan hal seperti itu,” kata Mohan.

Masyarakat mengerti bahwa transaksi langsung dalam proses mutasi merupakan tindakan ceroboh dan bebal. Sebab kasus Bupati Klaten, Sri Hartini, sudah mensinyalkan tanda bahaya bagi Kepala Daerah lain di seluruh Indonesia. Pihak KPK sendiri mengisyaratkan sudah memperoleh data tentang Kepala Daerah yang menjalankan mutasi haram.

Khusus di seluruh daerah NTB, kita berharap sudah saatnya praktik dagang jabatan itu diakhiri. Meski kita tak bisa menghindar, kepentingan politik selalu menyertai mutasi. Tentu yang dimaksud dalam kepentingan politik itu termasuk penguasaan sumber daya daerah.

Memang tak mudah berharap bahwa mjutasi jabatan benar-benar tanpa pamrih. Semata-mata mengutamakan profesionalisme birokrasi untuk meningkatkan pelayanan publik. Masyarakat hanya bisa berharap meski masih jauh panggang dari api.

REDAKSI

 

 

 

..

 

 

Exit mobile version